Pada zaman saya kecil, hampir pada setiap pagi yang cerah, biasanya disetiap sudut rumah di hampir seluruh perkampungan di Manggarai, selalu diselimuti oleh ramah tamah, cerita hidup, dan tawa hangat yang selalu membawa suatu kebahagian. Mengahadirkan berbagai jenis  semangat  yang disuguhkan dalam bermacam - macam cerita seputar kehidupan  dan siap  menyongsong hari yang mungkin akan berakhir melelahkan.
Meskipun tuan rumah biasanya hanya menyajikan jamuan  'kopi paiit', namun ketika diseduh, rasa secangkir kopi paiit itu tetaplah nikmat, sebab senyuman dan  tawa " haha hae to" yang mengikuti begitu banyak ' ganda',  selalu menghadirkan suasana yang begitu manis. Kini tradisi yang penuh keindahan nan esensial itu, berubah menjadi  gemuruh yang tak pernah diduga sebelumnya. Para cendikiawan dan kaum intlek menyebutnya sebagai Era Digitalisasi.
Seolah membawa angin topan yang tak terkira, digitalisasi ternyata adalah juga sebuah pedang bermata dua. Selain mengusung  visi misi menghadirkan  segala kemudahan, digitalisasi secara membabibuta  ternyata juga masuk membawa arus deras  nan berbahaya yang siap menerpa, mengikis serta menggerogoti inti kehidupan sosial dan budaya Manggarai, khususnya budaya Lejong. Sebuah kebiasaan bertamu yang kaya akan nilai dan keakraban.
Pada awalnya, Lejong adalah jalan menuju kebersamaan, tempat berbagi pengalaman dan impian yang tumbuh dalam perbincangan hangat. Namun, hadirnya digitalisasi memperkenalkan bukan hanya teknologi, tetapi juga gangguan yang merubah esensi Lejong itu sendiri.
Sekarang, setiap pertemuan tak lagi memikat dengan cerita kehidupan sehari-hari yang mendalam, melainkan terjerat dalam permainan tak berujung, menebak nomor togel. Mimpi yang dulu menjadi kisah pribadi, kini harus disandingkan dengan hitungan angka, mengubah budaya warisan menjadi arena tebak-menebak yang kehilangan makna. Orang tua, anak mudah, semuanya cakap dan lihai dalam memecahkn  berbagai macam rumus togel. Seketika menyulap diri menjadi seorang spekulan handal dalam hal analisa 'pasar'. Saking ulungnya, setiap pasaran memiliki rumusan tersendiri. Tentu dengan segala bentuk cocoklogi sederhana yang muncul begitu saja di kepala
Jika zaman dahulu tabungan  BANK dibuat untuk tujuan  bermanfaat dan bernilai tambah, misalnya untuk mengirimkan kebahagiaan kepada keluarga, uang pendidikan kepada anak diperantauan, atau orang dirumah bagi mereka yang job proyek diluar desa asal, kini tereduksi menjadi sarana untuk mengirimkan budget tambahan skincare ke admin slot cantik, mulus, bening nan aduhai. Padahal kita tak pernah tahu  apakah disana mereka benaran wanita atau malahan 'waria' alias wanita pria. Ada yang berdomisili di Kambodia, Taiwan, China sampai Hongkong. Dan mereka semua, berafiliasi dan dipimpin langsung oleh seorang kakek gondrong berambut putih dengan mata bercahaya. Ia biasa dipanggil "ZEUS".
Kecintaan terhadap orang terkasih kini beralih menjadi ketergantungan pada mesin berputar, kemunculan 'Mega Win' yang semu, merenggut keharmonisan dan keutuhan keluarga. Pertengkaran, pertikaian dalam keluarga bahkan berujung perceraian, tidak jarang disebabkan oleh kebiasaan berjudi.
Dampak ekonomi terasa menyakitkan, dengan uang yang seharusnya digunakan untuk kebutuhan pokok, kini terperangkap dalam ruang angka dan simbol yang  alih - alih menghadirkan "Sedekah" malah hanya berakhir dengan kerugian. Pertentangan, tumbuh seiring penurunan ekonomi, menciptakan spiral kehancuran yang merambah ke seluruh lapisan  masyarakat.
Judi, yang pada awalnya terlihat sepele, kini menjadi biang kerok penyebab kemiskinan dan pertengkaran yang mengguncang fondasi keluarga. Kehilangan uang bukan lagi sekadar statistik ekonomi, melainkan pukulan moral dan emosional yang menghantui setiap rumah tangga.
Begitu mudahnya akses masuk ke dunia perjudian, seiring dengan hilangnya tradisi Lejong, mengekspos celah kelemahan dalam masyarakat. Sebuah tradisi yang dulu menjadi ciri khas kehidupan bersama, kini terkoyak oleh ketidakmampuan menahan godaan digital.
Dalam guratan pahit ini, perubahan budaya dan kerusakan yang diakibatkannya memanggil kita untuk merenung. Manggarai, yang dulu dikenal dengan keramahan dan kebersamaan, kini berada dalam bayang-bayang kekacauan. Kita ditantang untuk menyelamatkan warisan kita sebelum jaringan angka-angka itu menggantikan jalinan kehidupan sosial dan budaya kita yang berharga.