Yang ada justru sikap mengkambinghitamkan pihak-pihak tertentu. Dalam hal ini yang menjadi sasarannya adalah dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu.
Dakwah ini dinyatakan sebagai salah satu biang keladi runtuhnya Daulah ‘Utsmaniyyah. Padahal kalau mereka mau jujur dan mempelajari dengan seksama bahwa Daulah ‘Utsmaniyyah telah hilang kekuatan dan wibawanya sejak jauh hari sebelum kelahiran Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu.
Disebutkan Asy-Syaikh Dr. Shalih bin Abdullah Al-‘Ubud dalam disertasi doktoralnya yang berjudul ‘Aqidatu Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab wa Atsaruha fil ‘Alam Al-Islami (Aqidah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Serta Pengaruhnya Dalam Dunia Islam): “Bahwa Daulah ‘Utsmaniyyah secara menyeluruh sejak awal abad ke-12 H -yaitu sejak jauh hari sebelum munculnya dakwah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab- telah lemah, bahkan secara de facto (kenyataan) dinyatakan fi hukmiz zawal (dihukumi/ dianggap tidak ada).
Banyak penguasanya yang telah tunduk bertekuk lutut di hadapan beberapa negara kafir pada waktu itu, baik negara-negara Eropa Barat maupun Eropa Timur. Hal itu ditandai dengan adanya penanda-tanganan Perjanjian Damai Karlpetes di wilayah Tenggara Zagreb (ibukota Croatia sekarang, red.)
dekat Sungai Danube pada tahun 1110 H, bertepatan dengan 1699 M [5] dengan Pemerintahan Rusia.
Peristiwa ini terjadi pada masa pemerintahan Sultan Mushthafa II. Hal itu merupakan bukti resmi kelemahan mereka untuk melindungi negaranya dari kekuatan negara-negara Nashara yang memusuhi Islam dan kaum muslimin.
Akibat kelemahan tersebut, negara-negara Eropa (Barat) berambisi untuk melemahkan Daulah ‘Utsmaniyyah secara menyeluruh. Barat menggelari penguasa Dinasti ‘Utsmani pada waktu itu sebagai penguasa yang sedang sakit.
Kemudian Barat sepakat untuk mulai membagi-bagi ‘warisan’ dari penguasa Dinasti ‘Utsmani ini kepada negara-negara kafir yang bersekutu dengan mereka pada waktu itu. Namun terjadi perselisihan di antara mereka tentang rincian hak masing-masing negara sekutu dari ‘warisan’ tersebut. Perselisihan yang terjadi antara mereka itu menyebabkan tertundanya makar peruntuhan total Daulah ‘Utsmaniyyah dalam beberapa waktu lamanya.
Secara kenyataan, Penguasa Dinasti ‘Utsmaniyyah tidak lagi memiliki kekuasaan dan wewenang apapun dalam pemerintahan. Kekuasaan dan wewenang pada waktu itu justru ada pada beberapa menterinya yang kebanyakan mereka adalah unsur-unsur asing dari Eropa dan dari kalangan Yahudi yang menampakkan keislaman, dan terdiri pula dari orang-orang yang silau dan kagum terhadap kafir Nashara. [6] Akibat dari ini semua, muncul sejumlah pemberontakan, kerusuhan, atau pembunuhan. Bahkan sebagian menteri dan penguasa di daerah melakukan gerakan revolusi dengan membentuk pemerintahan-pemerintahan kecil. [7]
Muhammad Kamal Jam’ah berkata dalam kitabnya Al-Intisyar: “Di kala itu, istana negara dan para menteri serta orang-orang penting negara telah dipenuhi dengan wanita-wanita tawanan perang, yang ternyata wanita-wanita asing tersebut berfungsi sebagai mata-mata dalam gerakan spionase yang dilancarkan negara-negara kafir terhadap Daulah ‘Utsmaniyyah.”
Keadaan Daulah ‘Utsmaniyyah sebagaimana tersebut di atas semakin diperlemah dengan adanya perselisihan-perselisihan yang terjadi baik di dalam maupun di luar negeri dan adanya gerakan-gerakan separatis dari daerah-daerah kekuasaannya yang ingin melepaskan diri dari Daulah (lihat At-Tarikh…, Al-‘Ajlani, hal. 47) sehingga pada akhirnya Daulah ‘Utsmaniyyah terpaksa meninggalkan kekuasaannya di negeri Yaman disebabkan adanya revolusi para pimpinan Shan’a melawan mereka. Hingga kemudian terpaksa pula mereka hengkang dari Al-Ahsa` disebabkan revolusi perlawanan dari pimpinan Bani Khalid, Barak bin Gharir serta para pengikutnya pada tahun 1080 H. (lihat ‘Unwanul Majd fi Tarikh Najd, karya Ibnu Bisyr) –sekian keterangan Asy-Syaikh Shalih Al-‘Ubud