Di era digitalisasi yang serba sat-set, rupanya muncul tren gaya hidup slow living. Kok bisa ada tren ini? Jika menilik dari pengalaman pribadi, hampir 11 tahun bekerja. Dengan rincian 4 tahun bekerja di kota Bogor, sesuai tempat tinggal kemudian sisanya bekerja di Jakarta (walaupun sempat full tinggal di Jakarta 5 tahun) Sisanya dijalani dengan pulang-pergi naik KRL commuter line & TJ (TransJakarta). Setiap hari menghabiskan waktu di jalan sekitar 3-4 jam, dari gambaran ini pasti sudah kebayang bakalan jadi remaja jompo yang mudah kelelahan.
Belum lagi tren kerja setelah pandemi melanda, rasanya 24 jam lumrah buat terus bahas pekerjaan. Kadang-kadang meeting dari jam 8 malam sampai jam 10 malam, belum lagi revisian huah. Kebayang kalau hal kayak gini dijalani puluhan tahun, sudah pasti akan hadir rasa jenuh dan stres berlebih. Sebagai manusia yang berusaha mencari solusi, maka terciptalah tren Slow Living.Â
Lalu, apa yang dimaksud dengan slow living? Â Secara pengertian slow living merupakan sebuah pola pikir di mana seseorang menentukan gaya hidup yang lebih berharga dan sejalan dengan apa yang paling di hargai dalam hidup. Gaya hidup satu ini lebih berfokus pada kualitas dibandingkan dengan kuantitas. Bukan hanya sekadar mengejar keseimbangan ya, lebih pada meningkatkan kenyamanan.Â
Pertanyaan yang muncul, apa bisa menjalani slow living di kota besar? Kemungkinannya kecil sekali mengingat sebagai seorang karyawati sudah pasti harus mengikuti rules di dunia kerja. Solusinya gimana? Ada beberapa pilihan, misalnya : Tetap bekerja sambil menyisihkan sebagian penghasilan untuk menabung & investasi tentunya punya target tahun kapan akan pindah ke daerah yang dirasa cocok untuk menjalani kehidupan slow living. Atau mengambil langkah menjadi freelancer/remote worker sambil menjalani kehidupan slow living di daerah yang diinginkan, opsi terakhir memiliki usaha sendiri yang mulai berkembang alias maju di daerah yang bisa menerapkan slow living.Â
Sukabumi Jadi Kota Pilihan Untuk Jalani Slow Living
Beberapa kali liburan ke Bandung dan sempat terpikir kalau kota Bandung bisa dijadikan tempat untuk memulai hidup slow living, namun ketika survey harga rumah, tanah di sana ternyata harganya sudah lumayan wah juga. Pastinya ingin tempat tinggal nyaman yang sesuai sama kemampuan dompet juga. Jadi, saya urungkan niatan tersebut karena harus realistis juga.Â
Pas liburan ke Sukabumi tempat kelahiran mama yang kebetulan Sukabumi kabupaten & cenderung masih sangat desa banget di sana saya merasa lebih realistis untuk menjalani gaya hidup slow living. Udara masih sangat bersih, sawah dan kebun terbentang luas, terpenting harga sawah, tanah dan rumah masih cukup masuk akal dan ramah di kantong.Â
Sehari di Sukabumi, tepatnya daerah Cipeuteuy Gunung Bentang sangat membuat saya merasa nyaman. Waktu berjalan terasa lebih lama, enjoy menikmati momen, bisa kerjain kerjaan secara remote, sapaan hangat dari para tetangga pun masih ada. Hanya saja, ada sih beberapa oknum yang jiwa kepo nya bergelora nanya mulu kaya watrawan hehehe tapi masih bisa dihitung jari dan bisa teratasi dengan aman tanpa bikin naik pitam.Â
Namanya mau menjalankan gaya hidup slow living, risetnya tidak cukup sehari dong. Maka, saya putuskan untuk tinggal di Cipeuteuy Gunung Bentang sampai dengan 8 hari. Warga di sana mayoritas bekerja sebagai petani sambil jadi peternak, ada juga yang jadi PNS hingga kuli. Anak muda rata-rata bekerja di kota : Bekasi, Jakarta, Tangerang dan beberapa jadi TKI di daerah Taiwan dan Timur Tengah. Namun ada juga muda-mudi yang fokus menjalani pertanian keluarga, berdagang dan berternak.Â
Jadi secara demografi memang di dominasi sama anak-anak usia balita-sekolah, sedikit muda-mudi, usia produktif pun hanya ada sekian persen dan sisanya menjelang lansia. Lapangan pekerjaan di sana memang masih agak jarang. Sektor pertanian yang luas pun terbatas, secara mayoritas setiap keluarga memiliki sawah, kebun dan peternakan buat keseharian. Sayuran, lauk-pauk bisa diambil dari area lahan masing-masing. Uang cash tidak beredar secara berlebihan seperti di perkotaan, musim panen jadi momen mereka punya banyak uang cash atau kiriman dari anak-anak yang kerja di kota pun bisa membuat para orangtua pegang uang cash.Â
Bukan berarti mereka kekurangan dan miskin ya. Memang kebanyakan uang mereka simpan di bank, atau pegang secukupnya saja. Lebih fokus ke kebutuhan harian dan mereka tetap membeli makanan di warung atau pedagang yang keliling. Hanya tidak se-royal orang-orang perkotaan yang sehari bisa ngopi di cafe berkali-kali atau jajan makanan fancy (walaupun ini tidak berlaku pada semua orang perkotaan) Pastinya balik lagi sama gaya hidup setiap orang.Â
Warga desa Cipeuteuy pun sudah memiliki elektronik memadai, bahkan kendaraan seperti motor dan mobil mereka miliki. Mobil kebanyakan untuk mengangkut hasil panen yang kemudian di jual ke pasar atau ke perkotaan. Budaya jalan kaki kalau bepergian jarak dekat masih lumah juga.
Sekitar tahun 2021 sampai 2023 awal, Mama dan bapak memang tinggal di Sukabumi. Mereka menjalani kehidupan slow living. Saya dan kedua adik sesekali menginap sambil membesuk mereka berdua. Di halaman rumah, ada banyak sekali tanaman untuk di olah sehari-hari, sawah tertanam padi dan area kebun tertanam kacang tanah serta beberapa pepohonan berukuran besar.Â
Bangun tidur sebelum adzan subuh, menyalakan tungku sambil merebus air putih untuk menyeduh susu/teh. Sholat subuh, memetik sayuran, memotong sayuran dan mengeluarkan lauk yang sudah di marinasi dari kulkas. Memberi makan ayam peliharaan, membuka jendela dan pagi pun tiba. Rasanya sangat santai, namun tetap produktif. Sekitar pukul 07.00 pagi mama dan bapak lanjut berkebun hingga pukul 11.30 WIB setelah itu membersihkan badan untuk sholat dzuhur. Lanjut mengurusi kolam ikan, ayam dan mengangkat jemuran. Setelah ashar pergi mengaji ke majelis taklim dan bersosialisasi sama warga desa.Â
Tau-tau senja tiba, makan bersama sebelum maghrib dan lanjut menjalankan ibadah. Usai isya, nonton sebentar lalu bersiap untuk tidur. Sungguh hidup yang seimbang, penuh ketenangan dan tidak lelah di perjalanan. Mungkin bagi sebagian orang rutinitas seperti ini akan terasa membosankan. Waktu berjalan lebih lambat, namun bagiku yang sudah cukup penat sama kecepatan di kota rasanya seperti angin surga. Beneran refresh sejenak.
Untuk kebutuhan harian tidak ada kesulitan, namun jika musim kemarau tiba. Air bersih memang agak sulit diperoleh, syukurnya saat ini sudah masuk PAM ke area tempat mama besar. Kebetulan kami ada rumah juga di sana, kebun dan sawah. Jadi semisal memasuki usia 45 tahunan atau sekitar 14 tahun kedepan, saya akan berpindah tempat tinggal di sana. Untuk saat ini saya harus bersabar sambil memperbanyak bekal. Tentunya saat tinggal di sana saya akan membuka usaha juga supaya tetap produktif serta menghasilkan. Rencana nya ingin sambil terus nulis blog, artikel, ngonten dan mengelola usaha serta perkebunan dari lahan yang sudah ada atau semoga nambah luas ya kebunnya.
Persiapan Untuk Menerapkan Gaya Hidup Slow LivingÂ
Nah, supaya tidak jet-lag atau kaget untuk memulai kehidupan slow living ada baiknya sobat mulai :Â
Memulai Hari dengan Lebih Tenang & Tidak Teburu-buru
Dari sekarang, coba biasakan untuk bangun tepat waktu dan hindari buru-buru dalam memulai hari. Tenangkan diri, mulai dari hal-hal mendasar secara bertahap sambil tidak melupakan sarapan. Jika pagi hari dijalani dengan penuh ketenangan dan ras syukur, jika memungkinkan coba olahraga sekitar 10 menit sebelum bersiap berangkat ngantor atau memulai pekerjaan. Hal-hal tersebut akan menimbulkan rasa bahagia serta semangat nyata. Pastinya bakalan bikin makin produktif dan sehat.Â
Membuat Batasan & Berani Berkata TidakÂ
Dalam beberapa hal, sudah sepatutnya menciptakan batasan-batasan yang tidak bisa dilanggar oleh siapapun. Hal ini akan mengurangi tekanan dalam diri dan menghadirkan rasa aman serta nyaman. Jangan takut buat berkata tidak ataupun menolak sesuatu yang memang dirasa melewati batas. Contohnya : Seharian sudah bekerja lalu ada rekan kerja ngajak makan malam di mall, padahal hari itu sobat kompasianers punya agenda mau makan malam bareng keluarga di rumah. Maka, tidak apa-apa lho kasih penolakan dan memberi penjelasan bahwa ada acara keluarga. Tidak perlu merasa tidak enak, karena tentunya acara keluarga lebih penting bila dilihat dari skala prioritas.Â
Mampu Beradaptasi dengan Lingkungan & SituasiÂ
Belajar untuk mampu beradaptasi dengan lingkungan serta situasi terkini. Jadi pandai menempatkan diri, ini penting sekali. Nanti saat akan berbaur dengan warga desa, pastinya bisa bersikap sesuai adat-istiadat dan budaya berlaku. Sehingga tidak dicibir sebagai orang yang kaku atau tidak mampu beradaptasi.
Membiasakan Diri Tidak Terbawa Arus FOMO
Sebelum terjun ke gaya hidup slow living, pastikan sobat terbiasa menjalani kehidupan sederhana. Sesuai kemampuan, menghindari diri dari prilaku lebih besar pasak dari pada tiang dan tidak latah terbawa arus FOMO (Fear of Missing Out). Supaya tidak mudah terbawa arus FOMO, batasi penggunaan social media, kurangi durasi scrolling dan punya pendirian teguh serta ingat sama tujuan hidup.Â
Saat seseorang memiliki tujuan hidup yang jelas, pastinya menjadi sosok yang memiliki pendirian teguh, tidak mudah goyah. Untuk mencapai sebuah tujuan diperlukan kesungguhan serta fokus. Yuk lebih semangat menggapai tujuan dan impian dengan cara lebih teguh pendirian, tekun dalam keseharian dan hindari stress berlebihan supaya mental tetap terjaga. Saat mental sehat, bisa berpikir lebih jernih dan tidak asal ambil keputusan.Â
Jadi, gimana? Masih tertarik buat menerapkan gaya hidup slow living di Sukabumi? Atau ada kota lain yang sobat incar? Apapun itu pastinya jadi sebuah keputusan terbaik dengan segala riset dan pemikiran mendalam sebelum menetapkan. Sambil menunggu masanya tiba, mari jalani slow living versi penduduk perkotaan supaya bisa menjalani hidup lebih bermankna dan tetap dekat terikat dengan keluarga dan sahabat tersayang. Sehat jasmani dan rohani pun perlu diupayakan dengan menjalani cara hidup slow living. Yuk bisa bertahap belajar terapkan pola hidup slow living & semakin produktif serta profesional dengan sagala amanah yang diemban.
Disclaimer, beberapa opini ini tentunya tidak mewakili milyaran manusia di muka bumi ya. Harap bijak mengambil hal-hal yang dirasa baik serta menfaat saja. Terima kasih sudah berkenan membaca & memberikan reaksi, have a nice day.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H