Menjadi perempuan yang bekerja, bukan sesuatu yang mudah. Sejak tahun 2012, Saya sudah mulai bekerja. Pada saat itu Saya bekerja di sebuah ritel ternama sebagai salah satu Sales, selama kurang lebih empat tahun.Â
Mayoritas divisi kami saat itu berisi para perempuan, dari mulai yang single sampai sudah berkeluarga ataupun punya anak.Â
Empat tahun Saya lalui, banyak pembelajaran dan kenangan. Rekan kerja dan senior banyak yang baik hati, namun ada juga yang manis di depan tetapi di belakang malah menjelek-jelekan. Sebagai sesama perempuan, tidak semua saling mendukung. Masih ada saja yang suka dan ingin menjatuhkan, persaingannya kadang tidak sehat.Â
Selama empat tahun, Saya juga belajar bahwa seorang perempuan yang sudah menikah dan bekerja maka job nya double. Banyak yang mengeluhkan jika mereka mengalami kendala dalam membagi waktu, pekerjaan rumah menguras tenaga dan emosi. Jarang ada suami yang berinisiatif membantu.Â
Bisa dibayangkan ya, lelah dan letih seorang perempuan saat harus bekerja di rumah serta di kantor. Jika tidak bekerja, selalu saja ada nyinyiran "malas" enggak mau bantu Suami dan dianggap sebelah mata di lingkungan keluarga besar.
Namun jika bekerja terlalu fokus dan mengabaiakan tugas sebagai seoranga perempuan yang menikah, maka di salahkan dan di jadikan bahan omongan juga.Â
Bekerja di ritel itu kan shifting, Saya yang masih single saja sering merasa kelelahan karena jadwal tidur acak-acakan. Dapat di bayangkan ya para istri atau Ibu yang harus bekerja di ritel lelah nya seperti apa.Â
Jika berbicara gaji, para pekerja di ritel bergaji besar dan sesuai dengan effort yang di keluarkan meskipun pandangan masyarakat masih sering meremehkan pekerjaan tersebut. Mayoritas hanya akan menganggap pekerjaan tersebut sama seperti pelayan toko, tidak pandang posisi atau jabatannya apa. Padahal kami di sana di latih dengan profesional. Ada banyak beauty class kemudian pelatihan customer relation.
Setelah merasa khatam dan karir yang mentok enggak naik-naik level, Saya memutuskan untuk resign. Saya mencoba mencari pekerjaan perempuan yang lebih cocok, saat itu Saya berfikir bahwa pekerjaan kantoran akan lebih cocok bagi perempuan. Saya pun melamar-lamar ke berbagai office, alhamdulillah di terima pada sebuah perusahaan Syariah. Rasanya memang beda, jam kerja kantoran (08:00-17:00 WIB) Sesekali lembur sampai jam 8 atau 9 malam.Â
Hidup terasa lebih teratur, tidak terlalu lelah secara fisik. Hanya saja budaya sikut-sikutan lebih kuat, kemudian ada saja alasan saat pekerja perempuan berprestasi tetap menemukan kesulitan untuk naik jabatan secara cepat. Selalu dianggap kurang kompeten dan khawatir saat menikah kami mengalami penurunan kinerja.Â
Ketika tahun 2018 Saya menikah, benar Saya mengalami hal-hal yang dulu rekan-rekan Saya alami. Kelelahan membagi waktu untuk pekerjaan Rumah dan kantor mulai Saya rasakan, saat ada promosi Jabatan Saya dianggap sebelah mata saja. Kesal ya, namun bagaimana lagi? Saya hanya mencoba mengkomunikasikan kepada suami, memohon kerjasamanya dalam membagi tugas di rumah alias Saya minta di bantu.Â