Mohon tunggu...
Nabila Ayu Mirandini
Nabila Ayu Mirandini Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Mahasiswa S1 Administrasi Publik di Universitas Negeri Yogyakarta

full-time college student, part-time cat lover

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Cabut Sampai Akarnya: Perangi Diskriminasi Berlapis dengan Kebijakan Berbasis Perspektif GEDSI

23 Maret 2023   19:30 Diperbarui: 23 Maret 2023   19:59 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image by macrovector on freepik


Menjadi perempuan memang tidak pernah mudah. Beban yang harus ditanggung di kedua pundak seorang perempuan bukan hanya sebatas tentang dirinya melainkan berbagai kombinasi antara ekspektasi, budaya stigmatisasi, patriarkis, dan misoginistik yang mengakar. Dinilai terlalu mementingkan emosi, mudah digoda, menjadi warga kelas dua yang sering kali dipandang sebelah mata adalah pil pahit yang harus ditelan bulat-bulat oleh kaum perempuan. Padahal di dalam dasar negara pun sudah tercantum bahwa keadilan adalah milik semua warga negara tanpa terkecuali. 

Menjadi perempuan sudah cukup sulit. Bayangkan jika ditambah dengan kenyataan bahwa seorang perempuan merupakan bagian dari kelompok rentan disabilitas atau memiliki penampilan atau ekspresi gender yang dinilai tidak umum, memiliki kondisi tertentu seperti perempuan dengan HIV/AIDS, bukan pengikut agama dan kepercayaan mayoritas, berasal dari suku serta ras yang berbeda. Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Sudah menjadi perempuan yang tak jarang diperlakukan tidak adil, warga negara kelas dua kemudian dihantam dengan diskriminasi sebab menjadi minoritas. Boom, diskriminasi berlapis tanpa celah tak bisa dielakan.

 Dilansir dari Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan tahun 2021, tercatat 42% dari total 77 kasus kekerasan dialami oleh perempuan disabilitas, 3 kasus perempuan dengan orientasi seksual dan ekspresi gender yang berbeda, dan 203 perempuan dengan HIV/AIDS melaporkan tindakan kekerasan seksual yang diterimanya.

Perempuan dengan disabilitas memiliki kerentanan berkali-kali lipat terhadap tindakan diskriminasi, kekerasan seksual, dan penyiksaan. Hal ini mengakar kuat pada budaya ableisme atau normalisasi terhadap tindakan patriarkis. Mirisnya lagi tindakan-tindakan seperti ini baru terungkap setelah terjadi berulang kali. Pelakunya pun tak lain merupakan orang-orang terdekat korban seperti keluarga meliputi  orang tua kandung/tiri, kakek, paman, saudara, kemudian tetangga, bahkan guru atau dosen di institusi tempat mereka menimba ilmu. Perempuan dengan disabilitas intelektual dan disabilitas mental cenderung mudah dipengaruhi dengan iming-iming uang atau ancaman. Kemudian, ketergantungan kepada orang-orang di sekitarnya juga memaksa mereka untuk bungkam dan menerima berbagai tindakan diskriminasi dan kekerasan yang dialaminya. Perempuan dengan disabilitas pun sering kali tidak mampu untuk bernegosiasi dengan pasangan mereka saat diminta untuk melakukan aktivitas seksual sehingga mereka cenderung menuruti dan tidak berani melawan karena khawatir akan ditinggalkan.

Komnas Perempuan juga menambahkan perempuan dengan orientasi seksual dan ekspresi gender yang berbeda tidak hanya mengalami kekerasan seksual dan  non-seksual, tetapi juga mengalami tindakan diskriminasi seperti dalam prosedur pelayanan publik hingga banyak di antara teman-teman kelompok rentan yang mengalami kesulitan dalam mengakses bantuan pada masa pandemi.

Gender Equality, Disability, Social Inclusivity (GEDSI) bukanlah konsep baru, melainkan sesuatu yang telah diperjuangkan sedari dulu. Namun, sering kali terlewat sebab masih banyak pemangku kepentingan yang masih awam dengan konsep ini. Keseriusan untuk menggarap kebijakan dengan menggunakan perspektif GEDSI masih lemah. Regulasi yang ada saat ini masih berlandaskan pada sudut pandang belas kasih bukan hak asasi manusia. Partisipasi dan representasi dari perempuan dan kelompok rentan pun masih cenderung minim.

Justin Gelatik menekankan dalam webinar Sinergi bahwa diperlukan ruang kepemimpinan bagi perempuan dan kelompok rentan sebab dengan adanya ruang terbuka ini dapat dipastikan perlindungan, sosial, kesehatan, pendidikan, ekonomi, penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan keterlibatannya dalam pengambilan keputusan akan terjamin. Pemerintah juga telah memastikan bahwa pemberdayaan perempuan menjadi hal yang krusial dalam agenda G20. Ini seakan menjadi seberkas cahaya di tengah gelapnya carut marut isu ketidaksetaraan di negeri ini.

Diskriminasi berlapis bukanlah bualan semata, melainkan krisis nyata yang tak kalah penting dari isu-isu politik yang selalu hangat diperbincangkan. Was-was, cemas, takut, dan harus selalu siaga melindungi diri dimanapun dan kapanpun merupakan resiko yang harus ditanggung apabila menjadi bagian dari kelompok rentan dalam hal ini perempuan dengan interseksi seperti disabilitas, orientasi seksual dan ekspresi gender yang berbeda, dan perempuan dengan HIV/AIDS. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah kebijakan yang tidak hanya melindungi di atas kertas melainkan juga mampu memberikan rasa aman dan ruang bagi kelompok rentan khususnya perempuan yang sangat riskan mendapatkan perlakuan diskriminasi berlapis. Dalam mewujudkan hal ini, diperlukan kolaborasi aktif dari berbagai pihak mulai dari pemegang tampuk pemerintahan hingga masyarakat sebagai warga negara untuk turut andil dalam memerangi tindakan diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok rentan lainnya. Keterlibatan perempuan dan representasi kelompok rentan pun harus mulai dipertimbangkan dalam setiap pembuatan kebijakan. Sebab kebijakan dibuat bukan hanya untuk spesifik golongan tertentu., tetapi dari dan untuk seluruh tumpah darah Indonesia dan perempuan serta kelompok rentan adalah bagian darinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun