Semua Ada Masanya: Perkembangan Zaman
Kini, walau sudah 15 tahun berlalu, saya masih suka tertawa sendiri jika mengenang kejadian itu. Pada masanya, saya dan teman-teman sampai menghafal beberapa warung makan di Jogja yang tempatnya luas dan bersedia 'mengakomodasi' keriuhan kami saat diskusi. Sekarang, zaman benar-benar berubah. Semua menjadi serba teknologi dan internet.Â
Kehadiran rapat, misalnya, tak lagi hanya didefinisikan secara fisik, tetapi juga kehadiran di luar jaringan (luring) atau virtual (online). Hal-hal yang serba teknologi dan internet atau digitalisasi ini membawa dampak besar pada kegiatan kerelawanan dan komunitas anak muda.
Jika dulu, saya dan teman-teman harus berpikir dahulu untuk menentukan tempat untuk diskusi, kini, tinggal sebut saja salah satu platform telekonferensi, seperti Zoom, Gmeets, Webex Meeting, dan segera tentukan waktunya. Kami tidak perlu pusing mengatur jumlah kursi karena semua bisa hadir, baik secara luring atau daring (dalam jaringan/online).Â
Tidak sampai di situ saja, jika dulu, pengumuman untuk rekrutmen relawan masih menggunakan brosur selebaran yang ditempel di papan mading kampus, sekarang semua bisa menyebar cepat dan 'paperless' melalui berbagai kanal media sosial, sebut saja, Whatsapp, Instagram, Twitter, TikTok, dan Facebook.Â
Saya percaya, perbandingan-perbandingan semacam itu tidak akan ada habisnya. Semua memang ada masanya dan semakin berkembang. Di masa sekarang, internet menjadi sebuah kebutuhan dan membuat aktivitas tanpa batas.Â
Dulu pun, saat saya kuliah, diakui, internet sudah ada, namun hanya difungsikan sebagai alat untuk mencari referensi belajar dari berbagai sumber, terutama jurnal-jurnal keilmuan.Â
Dari semua ruangan yang ada di perpustakaan, yang paling ramai adalah 'warnet' alias warung internet, di mana kita bisa mengakses internet secara cuma-cuma di meja-meja bersekat yang sudah diatur rapi sedemikian rupa.Â
Digital Bisa untuk Semua, termasuk Kegiatan Sosial
Pengalaman merasakan transisi kemajuan teknologi dan internet di kegiatan sosial, nampaknya, tidak hanya saya saja yang merasakan. Selevel masyarakat dan negara juga bisa secara komunal merasakan. Tahun 2021 lalu, dalam World Giving Index, Indonesia dinobatkan menjadi negara paling dermawan di dunia.Â
Ada tiga indikator yang digunakan dalam penilaian, yaitu berdonasi, membantu orang asing, dan kegiatan kerelawanan. Laporan yang diterbitkan oleh Charity Aid Foundation itu juga menyebutkan bahwa delapan dari sepuluh orang Indonesia menyumbangkan uang dan tingkat kesukarelawanan orang Indonesia tiga kali rata-rata global.Â