Mohon tunggu...
Hety A. Nurcahyarini
Hety A. Nurcahyarini Mohon Tunggu... Relawan - www.kompasiana.com/mynameishety

NGO officer who loves weekend and vegetables

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

PeDe

10 Mei 2021   22:13 Diperbarui: 10 Mei 2021   22:18 639
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tek, tek, tek. Jam menunjukkan pukul 23.53 WIB, sudah di penghujung waktu. Entah kenapa, di saat-saat seperti ini, aku bisa mendengar dengan jelas pergerakan jarum jam. Tidak, aku tidak sedang berusaha untuk fokus mendengar. Bunyi itu otomatis begitu saja tertangkap telingaku. Aku masih belum bisa memejamkan mata.

Tek, tek, tek. Pukul 00.40 WIB. Hei, apa saja yang sudah kulakukan? Aku bahkan hanya memeluk bantal dan guling ini dari tadi. Tak ada yang berubah. Tapi saat kulihat jam di handphone. Gila! Hampir jam 1 dini hari. Mengapa mata ini belum bisa lelah dan terpejam. Lagi-lagi bunyi jarum jam itu menerorku. 

Baiklah, hei kamu. Apa yang harus aku lakukan untuk membuatmu lelah. Kita harus tidur. Mari bekerja sama. Kita buat mudah saja. Oke, aku tahu. Mari main game.

Aku ambil handphone di sampingku, dan aku mulai bermain game. Warna-warni di layar sama sekali tidak menyilaukan. Justru asyik dan membuat semangat. Hayo, hayo, pasti bisa. Menang, menang. Level demi level game aku lalui. Semua mudah saja aku kalahkan. Entah kenapa, bermain game saat rileks dan tidak ada tuntutan apapun menjadikanmu lebih menangan. Aku selalu kalah kalau bermain di sela-sela kerja. Ya, aku hanya curi-curi waktu sih. Bosan.

Tek, tek, tek. Jam 2.00. Deg! Aku langsung sadar dari candu bermain games. Aku pilih tombol 'exit' dan sejadi-jadinya mengutuki diriku sendiri. Satu jam lebih aku habiskan untuk bermain game dan lihat, mata ini justru tidak kembali mengantuk. Ia segar kembali seperti habis melihat pemandangan. Ayolah. Mengapa kamu tidak mau tidur wahai diriku?

Oh ya, aku ingat, aku harus membuat mata ini lelah dengan membaca buku. Ya, buku selalu membantu. Aku ambil sebuah buku dari meja. Buku yang diberikan temanku yang melabeli diriku 'aku terlalu keras pada diriku'. Tak baik, katanya. Jadilah, dia memberiku buku yang dikarang oleh seorang 'guru' berjudul 'The Things You Can See Only When You Slow Down'. 

Selain berwarna hijau, warna favoritku, buku ini menarik. Ada beberapa kata yang sesuai dengan kondisiku saat ini. Buku ini juga (sempat-sempatnya) menasehati para pembaca untuk membaca dengan pelan-pelan agar diresapi. Aku baru menyelesaikan setengah isinya.

Tek, tek, tek. Aku benar-benar mengikuti instruksi. Aku baca buku ini pelan-pelan dan pikiranku justru berlarian ke mana-mana. Banyak kejadian di masa lalu yang tiba-tiba 'pop-up' di kepala. Ada momen di saat aku gagal melamar beasiswa kesekian kali. Di mana yang salah? Apa yang kurang? Lalu, momen pekerjaan-pekerjaan di kantor yang masih menggantung, cikal bakal deadline di masa depan, mengapa tidak bisa aku selesaikan saja? Lalu, ada relasi-relasi kasih sayang antarmanusia yang tidak sesuai yang direncanakan. Semuanya seakan hadir lagi untuk menyapaku dini hari ini. 

Buku aku letakkan. Kini, aku berjibaku dengan pikiranku sendiri. Oh, ini yang namanya 'overthinking'? Lama aku terdiam untuk menyilakan mereka 'tampil' sampai akhirnya aku tersadar. Astaghfirullahal'adzim. Aku tersentak. Mengapa aku tidak mengambil air wudhu saja. Ini penanda. Aku dipanggil. Dan, sejatinya, jiwa raga ini sudah bersedia untuk dipanggil. Mengapa tidak kuadukan saja kegelisahan malam ini pada yang maha segala? Bodohnya aku.

Bangkit, aku buka pintu kamar dan bergegas ke kamar mandi, mengambil ambil air wudhu. Apa gerangan yang menahanku beberapa jam ini?

Manusia tak pernah suci dari kesalahan dan masalah selagi di dunia. Itulah mengapa, yang Maha Segala selalu membuka pintu lebar untuk segala pengaduan, pengakuan, dan permohonan maaf. Dinginnya air wudhu menambah kesadaranku. Air yang menyucikan, membantuku untuk membersihkan diri sebelum menghadap yang kuasa. 

Ya, Rabb, ampuni hambamu ini yang selalu merasa bersih tanpa cela padahal semua adalah Engkau yang menutupi kesalahan-kesalahan kami.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun