Bagi pengguna Twitter, kalimat 'Twitter please do your magic' tidaklah asing. Kalimat itu bagai mantra yang bisa menimbulkan 'keajaiban' dalam waktu singkat layaknya ayunan tongkat ibu peri di negeri dongeng. Entah siapa yang memulai tapi sudah banyak juga yang menggunakan kalimat itu di lini masa untuk mencari bantuan di jagat Twitter.Â
Pada dasarnya, 'Twitter please do your magic' digunakan untuk menarik simpati pengguna Twitter lainnya, baik berupa retweet, reply, maupun likes sehingga cuitan tersebut viral.Â
Cuitan yang diberikan pun beragam, terlebih saat pandemi COVID-19 terjadi pada bulan Maret tahun lalu. Sebut saja cuitan mempromosikan jasa/keahlian karena di-PHK dari pekerjaan sebelumnya, cuitan ajakan mengunjungi tempat makan yang sepi sejak ada kebijakan pembatasan wilayah dan kerumunan, cuitan pengumuman untuk mencari pendonor darah, sampai cuitan ajakan berdonasi untuk menolong sesama yang sedang membutuhkan bantuan dana.
Sayangnya, beberapa waktu yang lalu, kalau masih ingat, lini masa Twitter gempar. 'Twitter please do your magic' ternyata digunakan oleh seorang oknum untuk tindak penipuan.Â
Saya sendiri masih ingat, sebelum hal itu terbongkar, ada satu cuitan yang muncul di lini masa saya tentang ajakan untuk membeli kue pada seseorang karena ada orang lain yang membatalkan pesanan, padahal kue-kue itu sudah terlanjur dibuat dalam jumlah besar. Sehingga untuk mengurangi kerugian, orang tersebut membuat cuitan untuk membeli kuenya. Selang beberapa hari kemudian, ada cuitan lain yang mempertanyakan keaslian foto kue dan kesaksian beberapa orang bahwa semua itu adalah rekayasa.Â
Melihat hal itu di lini masa, saya hanya geleng-geleng kepala. Saya sendiri sebenarnya belum ikut-ikutan memberikan reaksi (retweet) kala itu. Hanya karena ada teman saya yang me-retweet, masukkah cuitan itu ke lini masa saya. Ada-ada saja, ya.Â
Kalau ditanya lebih lanjut, saya pun menyesalkan kejadian itu. Dari semula sesuatu yang positif untuk membantu sesama yang membutuhkan bantuan di masa pandemi, ternyata justru dimanfaatkan orang yang tidak bertanggung jawab untuk mencari keuntungan. Di mana hatinya?
Dalam kasus 'Twitter please do your magic', karena sangat masif dan cepat menyebar (viral) secara daring, masyarakat (atau sebut saja penduduk Twitter), seringkali belum sempat mengecek kebenaran cuitan yang ditulis oleh si penulis yang membuat cuitan. Seolah, dengan kalimat yang bernada sendu dan unggahan foto, semua sudah valid sehingga wajar jika langsung bereaksi: me-retweet, me-like, dan me-reply dengan niatan membantu. Sayangnya, yang terjadi kemarin, cuitan ajakan berdonasi untuk menolong seseorang adalah hoaks dan berujung pada tindak penipuan karena sudah banyak yang terlanjur transfer melalui rekening yang dibagikan oleh oknum tersebut.Â
Lagi-lagi, berdasarkan kesaksian beberapa orang di Twitter, ini hanyalah salah satu contoh kasus. Pernah juga ada oknum yang sampai mengirim pesan (Direct Message) ke beberapa orang karena sudah kepepet dan kehabisan uang akibat pandemi. Setelah ditelusuri, oknum ini tidak hanya mengirim pesan ke satu orang saja. Sehingga, terbayang, berapa orang yang sudah terlanjur mentransfer uang untuk sesuatu yang ternyata bohong.
Donasi digital yang dipromosikan melalui media sosial memang menjanjikan dampak yang besar. Siapa ya yang tidak ingin menolong orang dengan segera untuk tujuan kebaikan. Penggalang dana (fundraiser) pasti senang karena target dana/bantuan bisa terkumpul dalam waktu singkat sehingga bisa disalurkan untuk yang membutuhkan. Sebaliknya, di sisi yang lain, donatur pun riang karena puas dapat menyalurkan dana atau bantuan ke orang yang membutuhkan. Ada hati di sana. Tidak ada yang salah.Â
Walaupun demikian, kita tetap tidak boleh menutup mata pada penyalahgunaan donasi digital. Tidak, tidak. Saya tidak sedang menakuti-nakuti. Saya hanya ingin, kita, sebagai donatur bisa lebih kritis dan sadar. Â Terlepas dari keyakinan bahwa yang penting niatnya ikhlas dan bisa masuk surga, kita tetap punya kewajiban untuk saling menjaga agar tidak ada yang menjadi korban penipuan atas nama donasi sosial. Bukankah itu juga merupakan suatu kebaikan juga?
Penyalahgunaan bantuan, tindak penipuan, donasi yang tidak sesuai sasaran yang dijanjikan bukanlah hal yang pertama kali terjadi dalam catatan donasi digital di Indonesia, baik yang dilakukan oleh individu, komunitas, maupun lembaga. Selalu saja ada cerita dan kasusnya berulang. Hal ini sebenarnya mulai meresahkan karena di saat kemajuan Teknologi, Informasi, dan Komunikasi, perolehan donasi digital diakui meningkat tajam, namun faktanya, juga diikuti oleh kenaikan tindakan yang tidak terpuji dari oknum.Â
Dengan berbagai kemudahan yang yang ditawarkan, wajar jika penggalang dana (fundraiser) atau donatur menggemari donasi secara digital daripada secara konvensional. Donasi digital yang sarat penggunaan teknologi lebih praktis karena cashless. Sedangkan donasi konvensional dianggap lebih repot karena harus melalui kotak amal, amplop, membawa uang sendiri, dan sebagainya.
Walaupun demikian, menariknya, dibanding donasi konvensional, persoalan yang sering muncul pada donasi digital bukan terletak pada aspek teknis/operasionalnya, melainkan pada isu keamanan dan isu etika berdonasi. Ada banyak persoalan etika yang muncul pada donasi digital. Misalnya, dalam ranah penggalangan dana, pengelolaan bantuan yang terkumpul, penyaluran donasi, serta pelaporan/pertanggungjawaban donasi kepada donatur.Â
Kembali lagi, masih ingat 'Twitter please do your magic'? Sepertinya ada orang yang sudah enggak punya hati untuk mencari keuntungan dengan cara menggalang dana dan mencari simpati padahal semuanya adalah tindakan penipuan. Jika isu keamanan bisa kita serahkan kepada penyedia platform pembayaran, maka untuk isu etika berdonasi sepertinya harus kita yang aktif turun tangan. Yuk, jadi donatur yang cerdas sekaligus punya hati yang diletakkan di tempat yang benar.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H