Kegiatan mengumpulkan barang yang disuka atau koleksi barang bagi saya sudah mirip perjalanan pencarian jati diri. Ganti barang, ganti pula ceritanya. Dari koleksi barang pun saya banyak belajar, dari belajar merawat barang, belajar percaya pada orang, belajar negosiasi, sampai belajar tanggung jawab pada sebuah keputusan. Berat, ya?
Walaupun demikian, saya sangat menikmati prosesnya. Sampai sekarang pun, kalau diingat-ingat bikin tersenyum-senyum sendiri, kok bisa ya, segitu cintanya sama barang? Dari terobsesi kepengen punya ini dan itu, sampai akhirnya jadi biasa aja pada sesuatu, lalu menemukan lagi sesuatu yang lucu. Begitu seterusnya siklus jatuh cinta pada barang.
Perjalanan koleksi saya dimulai dari saat saya duduk di kelas tiga-empat Sekolah Dasar (SD). Pada masa itu, sedang tren binder dan kertas loose leaf berukuran A4. Berawal dari 'tradisi' anak SD yang sangat posesif dengan jawabannya saat ulangan. Binder dibuka dan diposisikan berdiri di meja sebagai penyekat sehingga teman sebangku di sampingnya enggak bisa mencontek. Loose leaf diibaratkan benteng agar jawabannya enggak terlihat oleh musuh, eh temannya.
Dari situlah, mulai muncul kertas loose leaf yang dijual satuan oleh mamang-mamang di depan gerbang sekolah. Gambarnya macam-macam, mulai dari Mickey-Minnie Mouse, Doraemon, Donald Bebek, Sailor Moon, Snoopy, Cinderella, Mulan, dan semua kartun kebanggaan generasi 90-an. Satu lembar kertas loose leaf dijual Rp 100,00-Rp 250,00. Selain dari mamang-mamang, peredaran kertas loose leaf ini tergolong cepat karena dari barter atau menyebutnya 'tukaran'. Bayangkan ya, seorang anak SD bisa fasih bernegosiasi untuk saling bersepakat menukar kertas-kertas bergambar. Pun nantinya tidak terjadi kesepakatan atau batal, ya sudah. Selain pertemanan, bisa juga mendapat kertas dari saudaranya. Jadilah, kalau diingat, satu anak bisa punya koleksi 20-40an kertas loose leaf di bindernya.Â
Seiring saya dewasa dan memandangi kertas-kertas loose leaf itu, saya jadi bertanya-tanya, sebenarnya buat apa, ya? Wujudnya kertas tapi sama sekali tidak boleh untuk menulis. Tidak ada kebanggaan rasanya karena lebih sering disimpan di binder agar enggak lecek atau sobek. Ada juga sih kertasnya yang wangi atau desainnya yang mengkilap. Tapi nyatanya, saya versi SD dan teman-teman saya sangat bangga dengan koleksi kertas loose leaf kala itu. Koleksi memang soal waktu.
Periode SMP dan SMA, bahkan sampai kuliah bisa dibilang saya enggak punya koleksi, kosong. Sepertinya pertemanan dan kegiatan ekstrakurikuler di sekolah lebih menarik. SMP saya hanya mengumpulkan guntingan lirik dan chord lagu dari majalah atau koran. Saya tempel di satu buku khusus. Kakak saya pun melakukan hal yang sama. Zaman SMP lagi keren-kerennya nge-band, bahkan ujian musiknya nge-band. Walau enggak fasih main alat musik, seenggaknya saya kontribusi dengan memberikan berbagai referensi lagu, lengkap dengan lirik dan chord-nya untuk kelompok band saya.Â
Entah kenapa pada periode itu saya enggak begitu tertarik dengan koleksi barang. Mungkin ada pengaruh dari komentar mama yang sempat bilang kalau saya hanya memberi barang yang tidak bermanfaat sehingga memboroskan uang jajan. Kata mama, lebih baik ditabung saja. Ya, bisa jadi ya.
Lepas kuliah, merantau jauh dari rumah, bekerja dan punya uang sendiri membuat saya akhirnya khilaf juga. Saya membeli tas, sepatu, baju secara masif dalam waktu yang singkat. Bahkan, sepatu-sepatu itu sering dipinjam juga oleh teman-teman saya saking lengkapnya: sepatu sporty, sepatu heels untuk kondangan, sepatu flat. Semula saya happy-happy saja, sampai akhirnya kalau pas pindahan baru berasa. Teman saya sering sekali meledek, yang saya butuhkan bukan kos, tapi rumah untuk menaruh barang-barang saya yang lebih banyak dari orang-orang kebanyakan.Â
Mulanya saya enggak peduli karena saya anggap itu hanya ledekan saja. Tapi akhir tahun 2018 mengubah segalanya. Saya mendapatkan kesempatan untuk tinggal di Jerman selama empat bulan dan dalam program tersebut, saya sering sekali berpindah-pindah tempat tinggal/hotel untuk mengikuti kegiatan. Di situlah saya sadar bahwa ternyata saya bisa 'survive' dan hidup dengan barang-barang (sepatu, tas, baju) berjumlah minimal. Tidak harus punya banyak ternyata, karena sebenarnya itu bersifat atributif, pelengkap diri. Sempat ada godaan untuk shopping karena harga-harga yang miring, tapi lagi-lagi selalu saya tantang balik apakah saya benar-benar membutuhkan barang (sepatu, tas, baju) itu? Yaa, siapa ya, cewek yang enggak doyan sepatu, tas, baju??
Pada akhirnya, tetap saja. Rasa-rasa ingin memiliki dan menyimpan sesuatu itu begitu besar. Kenang-kenangan, katanya. Lepas dari sepatu, tas, baju, saya putuskan untuk mengoleksi magnet kulkas. At least, ini sejalan dengan kesukaan saya bepergian ke berbagai tempat. Dari setiap negara yang saya kunjungi, bolehlah ada satu magnet yang bisa dipajang dan disimpan. Kenapa magnet? Selain bentuknya yang lucu dan khas, magnet juga tergolong murah dan ringkas. Tak banyak menyita tempat.Â
Saat ini, sudah ada 20-an magnet dengan berbagai desain dari negara yang berbeda. Ada yang beli sendiri, ada juga yang diberi sebagai kado perpisahan dari teman. Durasinya pun lumayan, saya kumpulkan dari tahun 2013-an. Lumayan kan, enggak terlalu signifikan dalam kuantitas tapi justru dari kualitas, sarat kenangan. Hmm.. Semoga pilihan saya untuk mengoleksi magnet menjadi jalan yang benar, ya! Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H