Mohon tunggu...
Hety A. Nurcahyarini
Hety A. Nurcahyarini Mohon Tunggu... Relawan - www.kompasiana.com/mynameishety

NGO officer who loves weekend and vegetables

Selanjutnya

Tutup

Kurma

Sahur dan Uring-Uringan

1 Mei 2021   23:12 Diperbarui: 1 Mei 2021   23:36 524
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kalau berbicara tradisi sahur, entah kenapa yang terlintas di kepala saya pertama kali adalah yang saat ini menjadi judul tulisan ini. Ya, kaitannya dengan emosi. Mungkin karena kegiatan makan sahur dilakukan saat pagi buta di mana sebagian besar orang masih tidur. Terbayang kan, betapa beratnya harus membuka mata saat sedang nyenyak-nyenyaknya tidur. Belum lagi harus menyiapkan ini itu sebagai hidangan sahur. 

Bicara tradisi, sebenarnya sahur bukan tradisi. Sahur jadi bagian dari ibadah puasa. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)*, sahur adalah makan pada dini hari (disunahkan menjelang fajar sebelum subuh) bagi orang-orang yang akan menjalankan ibadah puasa. Selain itu, makan sahur juga tidak hanya menjadi kebiasaan orang di Indonesia saja tapi orang yang memeluk agama Islam dan menjalankan puasa di seluruh dunia. 

Dari tinjauan agama, sahur mempunyai makna yang dalam. Sahur, ternyata, bukan ajang mengisi badan kita dengan 'bahan bakar' (makanan) agar tidak lemas saat beraktivitas seharian. Hal ini sesuai dengan anjuran Nabi Muhammad SAW. Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Nabi Muhammad SAW menyampaikan bahwa barang siapa yang ingin berpuasa, hendaklah makan sahur walaupun dengan apa saja. Ditambahkan, walaupun hanya dengan minum seteguk air. Di hadist yang lain, Nabi Muhammad SAW juga mengatakan bahwa inti dari makan sahur adalah ibadah. Makan sahurlah karena di dalam makan sahur ada keberkahan. Berkah di sini artinya Allah SWT akan menurunkan kebaikan di dalam diri dan di kehidupan kita.**

Sampai di sini saya jadi senyum-senyum sendiri teringat kenangan masa kecil saat makan sahur di keluarga saya dulu. Tiada hari, di tiga puluh hari itu, saya bisa bangun 'smooth' tanpa mencak-mencak. Ada saja polahnya. Mama adalah orang yang pertama kali bangun dan disusul papa. Papa bertugas menemani mama menyiapkan makanan. Sedangkan, saya dan kakak seolah mendapatkan 'privilege' untuk tetap pulas bersama bantal-guling. Atau kadang-kadang, saya dan kakak bisa bangun terlebih dahulu daripada papa. Jadilah, kami berdua yang membangunkan papa. Tapi kejadian ini bisa dihitung dengan jari.

Pukul setengah empat menjadi alarm pertama. Mama membangunkan saya dan kakak dengan mengguncang-guncangkan tubuh kami berdua. Jika sudah maksimal tapi kami tak bergeming, mama akan meninggalkan kami di kamar dan makan sahur bersama papa di ruang makan. 

Pukul empat kurang. Mama dan papa sudah menghabiskan santap sahurnya. Salah satu diantara mereka akan berinisiatif untuk menuju kamar dan mencoba upaya kedua membangunkan saya dan kakak untuk sahur. Kali ini lebih 'sadis'. Telapak kaki kami digelitiki sedemikian rupa sehingga saya dan kakak mau nggak mau harus membuka mata untuk menghentikan 'serangan' bertubi-tubi ini. Dengan penuh emosi, kami pun mengomel sambil tetap merem karena mata ini seperti ada lemnya. 

Ajaibnya, mama atau papa hanya berucap, "Mau ikutan puasa, enggak? Katanya mau puasa. Nanti lemes seharian kalau nggak sahur." Dan, kami pun tetiba menjadi patuh karena lagi-lagi, kami dongkol bukan berarti kami tidak suka diajak puasa. Kami hanya merasa ada 'interupsi' di saat sedang lelap-lelapnya. Yah, anak-anak.

Itulah mengapa, kegiatan makan sahur di keluarga saya tidak pernah dalam satu meja makan di mana semua anggota keluarga asyik dengan piringnya. Itu lho seperti yang di iklan-iklan di TV. Semua bisa tersenyum lebar dan sahur bersama. Yang terjadi di keluarga saya adalah, mama sudah bergeser duduk di sofa sambil nonton TV, papa di meja makan menghabiskan air di gelas terakhirnya, serta saya dan kakak sedang mulai sibuk dengan nasi dan lauk-pauk. Bahkan, kala itu, saya punya 'skill' bisa mengunyah walau mata terpejam sambil duduk di meja makan. Kalau sudah begitu, pasti mama akan bilang, "Melek, dek. Itu nasinya dilihat."

Seiring saya dewasa, saya mulai memahami bahwa saat anak-anak, bisa dimaklumi kalau mereka uring-uringan saat sahur. Tapi setelah dewasa dan belajar agama, jadi tahu betapa besar keutamaan makan sahur saat berpuasa. Jadi, enggak boleh uring-uringan lagi dan harus makan sahur dengan suka cita. 

Jadi terkenang-kenang kembali mama yang harus menyiapkan sahur dan mungkin sudah harus mikir masak apa di malam harinya. Mama juga yang senantiasa membangunkan saya yang masih belajar puasa ini walau saya balas dengan omelan tak karuan. Bisa jadi sebenarnya, mama sedang menanamkan kebiasaan kepada saya tanpa harus ba bi bu dengan ceramah. Sahur ya memang harus bangun dan melawan rasa kantuk. Angkat topi untuk mama.

Sumber:

*https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/sahur
** Disarikan dari ceramah Ustadz Nuzul Dzikri tentang sahur 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun