Dengan posisinya yang berada di Cincin Api Pasifik (Ring of Fire), sudah bukan menjadi sebuah rahasia, Indonesia menjadi negara yang akrab dengan bencana alam. Secara geografis, Indonesia terletak di ujung pergerakan tiga lempeng dunia, yaitu Eurasia, Indo-Australia, dan Pasifik. Posisi ini membuat Indonesia menjadi negara yang rawan terjadi bencana alam, seperti tsunami, gunung meletus, dan gempa bumi. Walaupun demikian, kenyataan ini seharusnya bukan menjadi kabar duka yang membuat penduduk Indonesia pasrah terhadap keadaan. Bagi sebuah negara rawan bencana, seperti Indonesia, sesungguhnya, jumlah penduduk yang besar juga menjanjikan potensi yang besar untuk keterlibatannya dalam usaha pengurangan risiko bencana.
Berdasarkan Undang-Undang No.24 Tahun 2007 tentang Penganggulangan Bencana, keterlibatan masyarakat dalam bencana, seperti yang disebutkan dalam pasal 27, dapat berupa: (1) Menjaga kehidupan sosial masyarakat yang harmonis, memelihara keseimbangan, keserasian, keselarasan, dan kelestarian fungsi lingkungan hidup, (2) Melakukan kegiatan penanggulangan bencana, dan (3) Memberikan informasi yang benar kepada publik tentang penanggulangan bencana.
Gempa Jogja, Siaran Radio, dan Jalin Merapi
Sebagai warga Yogyakarta, salah satu hal yang selalu lekat dalam ingatan adalah peristiwa gempa bumi berkekuatan 5,9 skala richter yang terjadi pada 27 Mei 2006. Guncangan yang berlangsung selama 57 detik itu berhasil meluluhlantakkan bangunan-bangunan di sebagian besar wilayah Yogyakarta dan sekitarnya. Selain itu, gempa yang berpusat di Sungai Opak di Dusun Potrobayan, Pundong, Bantul itu menyebabkan ribuan orang meninggal dunia.Â
Walaupun tinggal di wilayah Kabupaten Bantul, tempat tinggal saya hanya mengalami keretakan pada dinding akibat guncangan selama beberapa detik itu. Selama tiga hari, suasana lingkungan tempat tinggal saya cukup mencekam. Walaupun berkekuatan kecil, gempa-gempa susulan cukup sering terjadi. Ditambah, adanya pemadaman listrik yang dilakukan oleh PLN. Orang-orang memutuskan tetap bersama dalam kelompok-kelompok untuk saling menjaga. Garasi tempat tinggal saya pun digunakan sebagai tempat singgah beberapa tetangga yang rumahnya roboh atau masih takut untuk kembali ke rumah.
Beberapa waktu kemudian, kondisi lingkungan tempat tinggal saya berangsur-angsur pulih dan kondusif. Para tetangga dengan sigap saling menolong dengan memberikan bantuan sesuai kemampuan. Saya dan keluarga terus memantau gempa Jogja ini melalui TV dan radio. Semua stasiun TV menampilkan berbagai tayangan tentang gempa Jogja, baik untuk penggalangan dana maupun pemberitaan mereka. Walaupun demikian, kami lebih menyukai mendengarkan radio daripada menonton TV. Di TV, video-video tentang gempa Jogja sering ditayangkan dan diulang-ulang, sehingga menimbulkan trauma tersendiri bagi pemirsanya. Â
Sebaliknya, siaran radio lebih 'bersahabat'. Konsepnya pun sederhana. Sepanjang acara, Si Penyiar membacakan SMS yang masuk serta mengangkat sambungan telepon secara on air. Kebanyakan memang informasi tentang daerah yang membutuhkan bantuan dari masyarakat. Selain itu, Si Penyiar juga aktif mengabarkan tentang kondisi terkini di daerah yang terkena gempa dari sumber akurat. Ada juga himbauan kepada masyarakat untuk tidak panik dan segera melapor apabila ada hal yang dianggap mencurigakan. Â
Cerita saya di atas menunjukkan bahwa radio memegang peranan penting saat bencana di suatu wilayah terjadi, baik sebagai sebuah media komunikasi antar masyarakat maupun sebuah media yang mampu menampung segala bentuk partisipasi masyarakat. Jika saat tanggap darurat bencana dan pasca bencana saja sudah sesolid ini, tak terbayang saat radio dapat menyiarkan kegiatan atau informasi tentang penangulangan risiko bencana yang dapat dilakukan masyarakat.Â
Selain itu, cerita tentang gempa Jogja di atas juga mengingatkan saya akan keberadaan radio komunitas di Yogyakarta yang bernama 'Jalin Merapi'. Jalin Merapi atau kependekan dari Jaringan Informasi Lingkar Merapi merupakan radio komunitas yang memberikan data dan informasi tentang kondisi Gunung Merapi dan dinamika masyarakatnya. Informasi yang diberikan tergolong akurat karena berasal dari masyarakat dan relawan. Jalin Merapi sebenarnya sudah terbentuk sejak tahun 2006 oleh tiga radio komunitas di Kemalang, Klaten (Lintas Merapi FM), Selo, Boyolali (MMC FM), dan Dukun, Magelang (K FM), serta beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat lainnya.Â
Sebagai sebuah sumber informasi kepada khalayak luas, sejak masa darurat Gunung Merapi tahun 2010, Jalin Merapi memaksimalkan penggunaan berbagai media untuk menyampaikan data dan informasi penting dan terkini. Tidak hanya melalui radio saja, Jalin Merapi juga dapat diakses melalui website, situs jejaring sosial, seperti Twitter dan Facebook, SMS Gateway, telepon, dan kegiatan di lapangan. Jalin Merapi juga mengabarkan informasi tentang usaha-usaha penanggulangan risiko bencana yang dapat dilakukan masyarakat.
Partisipasi Publik Melalui Radio
Dari dua contoh kasus di atas, terlihat bahwa partisipasi publik merupakan hal yang penting dalam manajemen kebencanaan, baik saat prabencana, tanggap darurat bencana, dan pascabencana. Saat prabencana, publik dapat berpartisipasi dalam memberikan edukasi kepada masyarakat tentang hal-hal yang berkaitan dengan usaha-usaha pengurangan risiko bencana (siaga bencana). Saat tanggap darurat bencana dan pasca bencana, publik dapat saling memberikan informasi tentang bantuan-bantuan yang dapat diberikan.Â
Nah, salah satu media yang dapat digunakan secara optimal untuk menampung partisipasi publik adalah radio. Terlebih saat ini, dengan kemajuan teknologi informasi, radio juga dapat dinikmati melalui internet (streaming). Radio menjadi contoh pemanfaatan teknologi informasi yang tepat guna. Hanya saja, perlu dipikirkan lebih lanjut tentang konten-konten seputar bencana yang dapat menarik minat masyarakat. Contohnya, seperti yang sudah dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dengan membuat sandiwara radio tentang kebencanaan. Â
Partisipasi publik melalui radio juga dapat menjawab kebutuhan masyarakat, baik yang terkena bencana atau tidak, untuk mendapatkan informasi dengan benar. Dalam kasus gempa Jogja, misalnya, terjadi kesimpangsiuran berita.Â
Sesaat setelah terjadi gempa bumi, masyarakat yang ada di bagian utara wilayah Yogyakarta sempat menganggap bahwa gempa yang terjadi merupakan bagian dari aktivitas vulkanik, akibat dari Gunung Merapi yang kala itu sedang 'batuk-batuk'. Sebaliknya, masyarakat yang ada di bagian selatan wilayah Yogyakarta menganggap bahwa gempa yang terjadi berpotensi memicu terjadinya tsunami, sehingga mereka berduyun-duyun meninggalkan rumah dan memobilisasi sanak-saudara dan barang-barang untuk mengungsi menuju utara.Â
Kesimpangsiuran berita seperti ini harus dihindari. Walaupun tidak dapat dipungkiri, saat terjadi bencana, masyarakat cenderung dalam kondisi panik dan mudah terprovokasi oleh hal-hal yang belum tentu benar. Informasi tentang kebencanaan dapat dilakukan secara optimal apabila ada rasa kepemilikan untuk menyampaikan informasi dengan benar (akurat) dan aktual melalui media komunikasi radio. Rasa kepemilikan ini juga akan menguat jika kita tidak mengabaikan kearifan lokal yang ada di daerah yang dilanda bencana. Dengan demikian, masyarakat tetap memegang peranan penting, Â terlibat aktif, dan bahkan mampu bersinergi dengan lembaga kebencanaan, baik relawan maupun petugas. Â
Referensi:
Materi power point dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana 'Membangun Budaya Sadar Bencana Melalui Radio'
Undang-Undang No.24 Tahun 2007 tentang Penganggulangan Bencana
Situs Jalin Merapi www.jalinmerapi.netÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H