Dari dua contoh kasus di atas, terlihat bahwa partisipasi publik merupakan hal yang penting dalam manajemen kebencanaan, baik saat prabencana, tanggap darurat bencana, dan pascabencana. Saat prabencana, publik dapat berpartisipasi dalam memberikan edukasi kepada masyarakat tentang hal-hal yang berkaitan dengan usaha-usaha pengurangan risiko bencana (siaga bencana). Saat tanggap darurat bencana dan pasca bencana, publik dapat saling memberikan informasi tentang bantuan-bantuan yang dapat diberikan.Â
Nah, salah satu media yang dapat digunakan secara optimal untuk menampung partisipasi publik adalah radio. Terlebih saat ini, dengan kemajuan teknologi informasi, radio juga dapat dinikmati melalui internet (streaming). Radio menjadi contoh pemanfaatan teknologi informasi yang tepat guna. Hanya saja, perlu dipikirkan lebih lanjut tentang konten-konten seputar bencana yang dapat menarik minat masyarakat. Contohnya, seperti yang sudah dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dengan membuat sandiwara radio tentang kebencanaan. Â
Partisipasi publik melalui radio juga dapat menjawab kebutuhan masyarakat, baik yang terkena bencana atau tidak, untuk mendapatkan informasi dengan benar. Dalam kasus gempa Jogja, misalnya, terjadi kesimpangsiuran berita.Â
Sesaat setelah terjadi gempa bumi, masyarakat yang ada di bagian utara wilayah Yogyakarta sempat menganggap bahwa gempa yang terjadi merupakan bagian dari aktivitas vulkanik, akibat dari Gunung Merapi yang kala itu sedang 'batuk-batuk'. Sebaliknya, masyarakat yang ada di bagian selatan wilayah Yogyakarta menganggap bahwa gempa yang terjadi berpotensi memicu terjadinya tsunami, sehingga mereka berduyun-duyun meninggalkan rumah dan memobilisasi sanak-saudara dan barang-barang untuk mengungsi menuju utara.Â
Kesimpangsiuran berita seperti ini harus dihindari. Walaupun tidak dapat dipungkiri, saat terjadi bencana, masyarakat cenderung dalam kondisi panik dan mudah terprovokasi oleh hal-hal yang belum tentu benar. Informasi tentang kebencanaan dapat dilakukan secara optimal apabila ada rasa kepemilikan untuk menyampaikan informasi dengan benar (akurat) dan aktual melalui media komunikasi radio. Rasa kepemilikan ini juga akan menguat jika kita tidak mengabaikan kearifan lokal yang ada di daerah yang dilanda bencana. Dengan demikian, masyarakat tetap memegang peranan penting, Â terlibat aktif, dan bahkan mampu bersinergi dengan lembaga kebencanaan, baik relawan maupun petugas. Â
Referensi:
Materi power point dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana 'Membangun Budaya Sadar Bencana Melalui Radio'
Undang-Undang No.24 Tahun 2007 tentang Penganggulangan Bencana
Situs Jalin Merapi www.jalinmerapi.netÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H