Tidak pernah ada satupun orang yang berbisik di telingaku untuk menjadi seorang guru Taman Kanak-kanak (TK), bahkan empunya TK. Jika mimpi itu adalah faktor genetik (keturunan), setelah kutelusuri, hanya tiga orang dalam keluarga besarku yang menjadi guru. Kakek, nenek, dan tante. Lalu, dari mana mimpi itu berasal?
Sebagai anak bungsu dari dua bersaudara, tentu saja aku tidak beradik. Aku menjadi yang terkecil dalam keluarga dengan stereotip ‘anak mama’ atau ‘anak manja’. Aku hanya mempunyai seorang kakak yang sehari-hari kupanggil ‘mbak’ saja. Kecintaanku pada anak-anak dimulai dari kesukaanku bermain dengan saudara atau teman yang usianya jauh lebih muda daripada aku. Kecintaanku pada anak-anaklah yang akhirnya membuatku ingin menjadi guru TK di TK-ku sendiri kelak.
Blam! Mimpi itu tiba-tiba menguat (menunjukkan eksistensinya) dan ‘minta dikejar’, saat aku duduk di bangku kuliah. Masih mending jika mimpi itu muncul saat aku mengikuti ujian akhir kelulusan Sekolah Menengah Atas (SMA), atau bahkan saat detik-detik ujian masuk universitas. Masih ada waktu bagiku untuk memilih jurusan kuliah yang, yah, setidaknya satu jalan menuju mimpi itu. Universitas dengan jurusan pendidikan guru atau psikologi anak, konkretnya. Nyatanya, tidak!
Aku rasa mimpi menjadi guru TK sekaligus mempunyai TK bersembunyi sekian lama di lipatan-lipatan hati. Entah di sebelah mana. Dia mengendap, mengembang, mengempis, dan siap meledak seperti bom waktu. Random mencuat seperti saat mengerjakan tugas paper kelompok bersama teman. Siapa sangka, pembicaraan dengannya di kampus membuatku (mimpiku dan aku) semakin berdebar.
“Het, tanteku ada yang kerja di kedutaan, lho! Biasanya, ada TK khusus untuk anaknya dubes atau pejabat kedutaan. Jadi, kalau kita ngajar di sana nanti, muridnya anak-anaknya orang bule. Pakai bahasa Inggris.”
Kalimat yang diucapkan oleh seorang teman itu menjadi angin segar bagiku. Aku tidak benar-benar kesasar. Anak Hubungan Internasional (HI) pun masih berpeluang menjadi guru TK. Biarlah ini menjadi sedikit komedi. Di saat teman-teman yang lain kuliah di HI untuk menjadi diplomat, bekerja di Kementerian Luar Negeri, aku justru ingin menjadi guru TK. Ya, TK di kedutaan. Kalau memang mau menuruti mimpi menjadi guru TK atau empunya TK, rasanya sudah terlambat untuk berganti jurusan kuliah.
Tiga tahun sebelas bulan (nyaris empat tahun), akhirnya, kuliahku selesai. Bagi anak baru lulus (fresh graduate), berbagai pilihan pekerjaan ditawarkan di job fair atau website penyedia lowongan kerja selalu menggoda untuk dicoba. Sebut saja, Management Trainee (MT) di sebuah perusahaan multinasional, Pegawai Negeri Sipil (PNS) di departemen pemerintahan atau kementerian, sampai iming-iming beasiswa melanjutkan studi Pascasarjana (S2) di luar negeri.
Kamu tahu apa yang akhirnya kupilih? Bermodal jiwa petualang dan sosok Butet Manurung dengan murid Sakola Rimbanya yang selalu kukenang, aku justru memilih mendaftar menjadi Pengajar Muda Indonesia Mengajar. Sebuah pilihan yang justru sama sekali tidak ada di tiga pilihan di atas dan tidak populer untuk anak fresh graduate kala itu. Apakah ini keluar dari sirkuit mimpi menjadi guru TK? Rasanya tidak. Ini masih dalam sirkuit yang sama, hanya saja aku memilih jalan yang sedikit menanjak.
Bagiku, menjadi Pengajar Muda Indonesia Mengajar bagai mengikuti kelas akselerasi. Kalau di bangku sekolah, SMA yang tiga tahun bisa menjadi dua tahun melalui program akselerasi. Setelah dinyatakan lolos seleksi Pengajar Muda, aku harus mengikuti pelatihan intensif selama dua bulan. Di lingkungan yang steril dari televisi, radio, dan handphone itu, aku belajar tetek bengek dunia pendidikan Sekolah Dasar, seperti pembelajaran kreatif, ketrampilan mengajar, manajemen kelas, manajemen sekolah, dana operasional pendidikan, kurikulum, dan sebagainya. Sungguh sangat berbeda dengan mata kuliah di HI tapi mirip dengan mata kuliah di jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD).
Selesai menjalani pelatihan intensif dan jungle survival training untuk bekal bertahan hidup di daerah terpencil, tibalah waktu penempatan (deployment). Bersama lima orang Pengajar Muda lainnya, aku ditempatkan selama satu tahun di Pulau Bawean, kabupaten Gresik, Jawa Timur. Di sebuah SD di balik gunung, aku ditugaskan untuk menjadi wali kelas sekaligus guru kelas VI. Kala itu, aku mencoba bernegosiasi untuk mengajar kelas I karena aku lebih suka mengajar kelas kecil daripada kelas besar. Tapi menurut kepala sekolah, anak kelas VI selama lima tahun berturut-turut diajar oleh guru laki-laki. Untuk menghadapi ujian kelulusan, mereka membutuhkan kasih sayang dari seorang guru perempuan. Sungguh pendapat yang membuatku terkekeh tapi nyata, dan kuanggap ini sebagai tantangan. Selain mengajar SD, aku juga mengajar pelajaran Fisika dan Bahasa Inggris untuk MTs (Madrasah Tsanawiyah), kelas jauh di desa sebelah.
Kalimat klasik ‘Cinta lama bersemi kembali’ itu benar adanya. Saat Yayasan Indonesia Mengajar membuka kesempatan untuk bergabung sebagai Officer Development Program (ODP), aku langsung mendaftar. Jika saat menjadi Pengajar Muda aku bertugas di lapangan, maka, kali ini, aku ingin ‘mencicipi’ pengalaman menjadi orang-orang di balik layar program pengiriman guru yang digagas oleh Anies Baswedan ini. Aku ingin mempunyai satu set pengalaman lengkap dengan Indonesia Mengajar dan lagi-lagi, menyelami seluk-beluk pendidikan di Indonesia.
Lalu, bagaimana sekarang? Apakah pondasi bangunan TK-nya sudah jadi? Apakah tiang gedungnya sudah terpancang? Atau Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) sudah berjalan? Jika yang kamu tanyakan adalah bangunan fisik yang bisa dirasakan oleh panca indra, aku tak sanggup menunjukkannya. Yang jelas, mimpi itu semakin jelas visualisasinya, tidak lagi kabur seperti televisi tanpa antena. Aku bisa membayangkan ruang kelas, anak-anak yang sedang bermain, orang tua yang saling bercerita sambil menunggu anaknya, dan guru-guru yang mengajar dengan suka cita.
Mimpi itu masih ada di dalam hati. Membuatku selalu bersemangat setiap hari untuk beraktivitas di Filantropi Indonesia sebagai program and communication officer, serta relawan di beberapa komunitas pendidikan dan anak-anak. Oke, apakah kamu, pembaca, mulai bingung? Mimpiku menjadi guru TK dan pemilik TK tetapi selalu berakhir dengan ‘singgah’ menjadi staf di lembaga non-profit. Hei, bagiku, inilah yang disebut perjalan, ini bukan akhir atau tujuan.
Jika ditanya, "Apakah kamu tidak takut semua ini keluar dari sirkuit mimpi menjadi guru TK?" Bagiku, tidak pernah ada yang kutakutkan untuk belajar, untuk berjalan ke depan. Salah arah? Kesasar? Itu hal biasa. Alih-alih mundur saat menyadari aku salah jalan, aku justru tetap memilih berjalan ke depan sampai menemukan belokan yang membuatku kembali ke jalan yang benar. Mantra perjalanan yang kuingat hanya satu, “Pilihlah selalu jalan menanjak karena di sanalah akan kamu temukan puncak-puncak baru yang pasti lebih indah, ” (kutipan dari Anies Baswedan saat Orientasi Pasca Penugasan Pengajar Muda angkatan II, 2012).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H