Mohon tunggu...
Hety A. Nurcahyarini
Hety A. Nurcahyarini Mohon Tunggu... Relawan - www.kompasiana.com/mynameishety

NGO officer who loves weekend and vegetables

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sirkuit Mimpi Guru TK

25 Mei 2016   17:31 Diperbarui: 26 Mei 2016   10:13 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aku (berjilbab biru, paling kiri) saat wisuda kelulusan bersama teman-teman.

Kalimat klasik ‘Cinta lama bersemi kembali’ itu benar adanya. Saat Yayasan Indonesia Mengajar membuka kesempatan untuk bergabung sebagai Officer Development Program (ODP), aku langsung mendaftar. Jika saat menjadi Pengajar Muda aku bertugas di lapangan, maka, kali ini, aku ingin ‘mencicipi’ pengalaman menjadi orang-orang di balik layar program pengiriman guru yang digagas oleh Anies Baswedan ini. Aku ingin mempunyai satu set pengalaman lengkap dengan Indonesia Mengajar dan lagi-lagi, menyelami seluk-beluk pendidikan di Indonesia.

Menjadi staf Yayasan Indonesia Mengajar, memberiku kesempatan untuk berkunjung ke SD-SD di seluruh Indonesia, salah satunya SD Negeri 31 Lubai, Muara Enim.
Menjadi staf Yayasan Indonesia Mengajar, memberiku kesempatan untuk berkunjung ke SD-SD di seluruh Indonesia, salah satunya SD Negeri 31 Lubai, Muara Enim.
Dua tahun menjadi staf Yayasan Indonesia Mengajar memberiku banyak pengalaman di dunia non-profit. Bayangkan, dalam kurun waktu itu, aku ditempatkan di Human Resources – Internal Engagement dan Partner Engagement. Walaupun tidak banyak terlibat dalam program, aku menjadi tahu tentang pengelolaan internal di sebuah yayasan dan lembaga non-profit, seperti rumah tangga kantor, sumber daya manusia, keuangan, dan mitra. Sungguh pengalaman yang membukakan mata dan menambah ilmu untuk mendirikan sebuah TK-ku sendiri kelak.

Lalu, bagaimana sekarang? Apakah pondasi bangunan TK-nya sudah jadi? Apakah tiang gedungnya sudah terpancang? Atau Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) sudah berjalan? Jika yang kamu tanyakan adalah bangunan fisik yang bisa dirasakan oleh panca indra, aku tak sanggup menunjukkannya. Yang jelas, mimpi itu semakin jelas visualisasinya, tidak lagi kabur seperti televisi tanpa antena. Aku bisa membayangkan ruang kelas, anak-anak yang sedang bermain, orang tua yang saling bercerita sambil menunggu anaknya, dan guru-guru yang mengajar dengan suka cita.

Mimpi itu masih ada di dalam hati. Membuatku selalu bersemangat setiap hari untuk beraktivitas di Filantropi Indonesia sebagai program and communication officer, serta relawan di beberapa komunitas pendidikan dan anak-anak.  Oke, apakah kamu, pembaca, mulai bingung? Mimpiku menjadi guru TK dan pemilik TK tetapi selalu berakhir dengan ‘singgah’ menjadi staf di lembaga non-profit. Hei, bagiku, inilah yang disebut perjalan, ini bukan akhir atau tujuan.

Jika ditanya, "Apakah kamu tidak takut semua ini keluar dari sirkuit mimpi menjadi guru TK?" Bagiku, tidak pernah ada yang kutakutkan untuk belajar, untuk berjalan ke depan. Salah arah? Kesasar? Itu hal biasa. Alih-alih mundur saat menyadari aku salah jalan, aku justru tetap memilih berjalan ke depan sampai menemukan belokan yang membuatku kembali ke jalan yang benar. Mantra perjalanan yang kuingat hanya satu, “Pilihlah selalu jalan menanjak karena di sanalah akan kamu temukan puncak-puncak baru yang pasti lebih indah, ” (kutipan dari Anies Baswedan saat Orientasi Pasca Penugasan Pengajar Muda angkatan II, 2012).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun