Mohon tunggu...
Hety A. Nurcahyarini
Hety A. Nurcahyarini Mohon Tunggu... Relawan - www.kompasiana.com/mynameishety

NGO officer who loves weekend and vegetables

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Pulau Terjangkau Internet

25 Desember 2014   00:57 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:31 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_361591" align="aligncenter" width="300" caption="Foto (Dokumentasi Pribadi)"][/caption]

Masih jelas dalam ingatan. Dulu, tahun 2011, saat menyebrang dari Pulau Bawean ke Gresik, kapal ‘Bahari Express’ yang saya tumpangi tidak hanya mengangkut penumpang saja, tetapi juga seorang pasien yang lemah tak berdaya di tandu pembaringan lengkap dengan tangan berinfus. Perjalanan dari Pulau Bawean menuju Gresik memang tak sebentar. Dengan kapal sekelas ‘Bahari Express’, perjalan memakan waktu kurang lebih tiga jam. Syukur jika tak ada gangguan mesin sehingga bisa sampai tepat waktu. Kala itu, saya hanya bisa bersimpati dengan si sakit. Tak terbayang rasanya, bertahan tiga jam bersama ombak Laut Jawa yang tidak bisa dikatakan tenang juga. Yang sehat saja kadang tak berdaya di atas kapal, apalagi si sakit yang kondisinya sedang lemah.

Saya yang saat itu belum genap tiga bulan menjadi warga Pulau Bawean bertanya-tanya. Mengapa harus berobat ke Gresik? Mengapa berobat di Pulau Bawean saja tidak cukup? Agak lucu juga karena sebenarnya, Pulau Bawean adalah bagian dari Gresik. Secara administratif, Pulau Bawean termasuk dalam wilayah kabupaten Gresik, Provinsi Jawa Timur. Lambat laun, pertanyaan saya terjawab.

Ternyata, berada dalam satu kabupaten yang sama belum tentu menjadikan suatu wilayah memiliki kesamaan kondisi dengan wilayah lainnya. Dalam kasus Pulau Bawean dan Gresik, letak geografislah yang menyebabkan keduanya berbeda dan nantinya berpengaruh pada kondisi perekonomian dan pembangunan wilayah.

Gresik daratan terdiri dari 18 kecamatan dan didominasi oleh daratan rendah yang memiliki berbagai potensi yang bisa dikembangkan. Gresik daratan dikepung oleh berbagai pabrik dan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi lainnya. Sebut saja, Petrokimia dan Semen Gresik. Dua perusahaan besar tersebut memiliki peran penting dalam perekonomian Gresik.

Sedangkan, Pulau Bawean hanya terdiri dari dua kecamatan, yaitu Sangkapura dan Tambak. Kondisi perbukitan yang mendominasi topografi Pulau Bawean membuat pembangunan di pulau ini tidak merata. Kantor pemerintahan, sekolah lanjutan, toko serba ada, pasar, bank, dan kantor-kantor pelayanan jasa lainnya terletak di daratan rendah dan daerah pesisir dengan akses jalan raya dan sinyal yang mudah. Sebaliknya, di wilayah perbukitan dan pegunungan yang tidak ‘ramah’ dengan sinyal, hanya terdapat rumah-rumah penduduk. Jangankan sinyal internet, sinyal untuk seluler pun tidak ada. Sebenarnya, ada beberapa tower sinyal yang tersebar di beberapa wilayah. Sayangnya, tower sinyal yang ada tidak setinggi gunung dan perbukitan di Pulau Bawean. Sehingga, banyak desa yang berada di balik bukit dan gunung kesulitan untuk mendapatkan sinyal. Untuk mendapatkan sinyal, para penduduk harus turun bukit menuju wilayah yang lebih rendah dan dekat dengan jangkauan tower sinyal.

Tentang ketiadaan sinyal ini, saya ada sebuah cerita. Saya masih ingat, bagaimana tetangga saya di desa kesulitan menghubungi bidan saat akan melahirkan anak pertamanya. Dengan terpaksa, harus meminta tolong tetangga yang lain untuk mencari sinyal agar dapat menelepon bidan. Semua ini terjadi hanya karena di desa tidak ada sinyal sama sekali.

Akses Informasi dan Kearifan Lokal

Pada dasarnya, setiap orang berhak untuk mendapatkan akses informasi dari berbagai sumber.Dewasa ini, banyak upaya dari berbagai pihak, baik dari pemerintah maupun swasta, untuk mengatasi keterbatasan akses informasi. Sebut saja misalnya, pembangunan jaringan internet masuk desa, pelatihan internet, pendirian perpustakaan, sampai gerakan berbagi buku.

Sayangnya, dari berbagai usaha yang sudah dilakukan, tidak ada jaminan bahwa akses Informasi akanlebih mudah diakses oleh setiap orang. Hal ini disebabkan karena belum adanya pengukuran yang pasti. Di sinilah kemudian, kearifan lokal berperan. Kita bisa memberikan ruang untuk kearifan lokal setempatberkontribusi dalam proses pengaksesan informasi. Sehingga, modernisasi yang dilakukan tetap berjalan untuk meningkatkan kemudahan pengaksesan informasi tanpa meninggalkan unsur-unsur lokal di setiap daerah.

Saat di Pulau Bawean, saya sempat berkenalan dengan seorang tokoh masyarakat yang disegani. Beliau adalah lulusan UGM yang memutuska kembali ke Pulau Bawean untuk membangun daerahnya. Karena tuntutan ekonomi, si Bapak terpaksa harus menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Malaysia. Beliau pun memulai pekerjaannya dari seorang kuli bangunan sampai bisa menjadi mandor dan mendapatkan penghasilan yang layak untuk keluarganya. Kemampanan dari segi ekonomi ternyata tidak membuat beliau lupa tentang janjinya untuk membangun Pulau Bawean. Singkat cerita, akhirnya beliau pulang. Beliau ingin membangun Pulau Bawean sehingga generasi muda tidak perlu menjadi TKI di Malaysia untuk bekerja. Sampai di Bawean, yang beliau lakukan pertama kali adalah membangun jaringan internet masuk desa dan pembangunan beberapa warung internet agar para pelajar/mahasiswa di Pulau Bawean dapat mengakses informasi/ilmu pengetahuan walau harus ke kecamatan terlebih dahulu.

Dari beliau saya belajar, ternyata keterpencilan suatu daerah tidak melulu dipengaruhi oleh letak geografis. Walaupun dekat dengan daerah yang maju misalnya, suatu daerah pun bisa menjadi terpencil karena keterbatasan arus informasi.  Arus informasi selalu diidentikkan dengan kemajuan teknologi dan kelengkapan infrastruktur. Yang menjadi tantanganberikutnyaadalah, bagaimana ketersediaan infrastruktur di daerah tersebut? Jika infrastruktur selalu diukur dengan pembangunan fisik,tentulah kita sadar, pembangunan di Indonesia belum merata. Masih ada kesenjangan antara daerah satudengan daerah lainnya. Walaupun demikian, hal ini bisa diatasi dengan sistem sosial yang ada di masyarakat tersebut. Saya percaya bahwa setiapdaerah mempunyai sistem sosial tersendiri dalam hal penyampaian informasi. Inilah yang kadang terlupa walaupun sebenarnyamerupakan sebuah potensi yang besar. Pembangunan yang terfokus pada modernisasi jaringan informasi semata tanpa mempedulikan sistem sosial yang ada di masyarakat.

UnlimitedInternet Indosat, Sebuah Cita-cita

Paket internet unlimited gratis menjadi sebuah dambaan bagi semua. Tidak ada yang menolak keuntungan yang akan didapatkan dengan internet tak berbatas walaupun hanya satu tahun lamanya. Saya pun langsung bebas membayangkan apa yang bisa dilakukan dan bermanfaat untuk sesama, terutama di pulau tempat saya pernah mengajar selama satu tahun, Bawean.

Saya memimpikan fasilitas internet unlimited tidak hanya terdapat di perpustakaan kecamatan, instansi pemerintah, maupun sekolah, tetapi juga merambah sampai ke rumah-rumah penduduk. Internet sebagai salah satu sumber informasi memang penting. Yang perlu diingat, internet tidak melulu tentang bidang pendidikan saja, tetapi juga tentang kesehatan dan bidang lainnya.

Di Pulau Bawean, di mana untuk rumah sakit dan pengobatan masih mengandalkan Gresik daratan, membutuhkan unlimited internet untuk memudahkan orang mengakses fasilitas kesehatan. Misalnya saja, masyarakat yang tinggal di perbukitan dan pegunungan dapat mengetahui keberadaan tim medis (dokter, bidan, perawat) dan persediaan obat-obatan tanpa mereka harus ‘turun gunung’ terlebih dahulu hanya dengan chatting menggunakan aplikasi tertentu. Sebaliknya, dengan unlimited internet di Pulau Bawean, masyarakat dari atau luar Pulau Bawean dapat saling bertukar informasi maupun konsultasi kesehatan melalui surat elektronik (email), website kesehatan, dan teleconference secara bebas.

Tentu saja, untuk mewujudkan semua itu dibutuhkan edukasi kepada masyarakat. Di sinilah, kita dapat mengajak para pemuda desa untuk ikut berperan. Para pemuda tersebut, yang lebih dahulu mengetahui internet sebagai bagian dari teknologi dan informasi, dapat mengenalkan internet kepada masyarakat. Di Pulau Bawean, walaupun tinggal di desa di balik bukit, mayoritas pemuda yang mengeyam bangku pendidikan SMA di sekitar kecamatan memiliki pengetahuan yang memadai mengenai internet. Biasanya mereka mengenal internet dari sekolah yang memberikan penugasan untuk mencari sejumlah referensi di internet. Selebihnya, mereka hanya mengenal internet untuk ‘bermain’ facebook.

Dengan demikian, jika terwujud gagasan ‘Pulau Terjangkau Internet,’ masyarakat di Pulau Bawean dapat merasakannya sebagai sebuah keuntungan, terutama di bidang kesehatan. Keterbatasan sesungguhnya bukan sebuah hambatan, melainkan kesempatan untuk berpikir kreatif tanpa mengiba. Kondisi Gresik daratan dan Pulau Bawean memang berbeda, begitu juga di Pulau Bawean yang terdiri dari perbukitan dan pesisir pantai. Dengan adanya internet unlimited dari Indosat, pelan-pelan kesenjangan dapat diatasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun