Mohon tunggu...
Maman Rohman
Maman Rohman Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Saya suka musik, film, traveling, dan membaca buku-buku yang dapat menambah wawasan serta pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pelajaran di Balik Penutupan Buddha Bar

29 Juli 2010   10:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:29 372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada kejadian penting bagi umat Buddha di Indonesia pada Rabu (28/7/2010), yakni ditutupnya Restoran Buddha-Bar Jl. Teuku Umar No. 1, Menteng, Jakarta Pusat, oleh Camat Menteng Efri, karena umat Buddha yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Tutup Buddha Bar (AMTBB) dan berjumlah 2.000 orang, berniat menutup sendiri restoran milik PT. Nireta Vista Creative (NVC) itu.

Kejadian ini penting, karena apa yang terjadi kemarin merupakan puncak perjuangan umat Buddha selama 20 bulan dalam menegakkan kehormatan dan keagungan agamanya yang dianggap telah dilecehkan oleh perusahaan milik pengusaha yang juga anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari daerah pemilihan DKI Jakarta Djan Faridz tersebut, tapi juga karena keberhasilan diraih dengan perjuangan sendiri dengan berbekal kenekatan.

Sebelum restoran ditutup, umat Buddha melakukan demonstrasi di Bundaran HI untuk mendesak pemerintah agar segera mendengarkan aspirasi dan tuntutan mereka, yakni menutup Restoran Buddha-Bar karena restoran yang dekorasi ruangannya dihiasi patung Buddha dan ornamen-ornamen Buddha tersebut, menjual minuman keras dan menyajikan sexy dancer yang mengumbar aurat dan syahwat. Dari lokasi ini, umat Buddha mendemo Kedubes Perancis untuk mendesak perwakilan negara itu agar perusahaan George V. Restauration, perusahaan pemilik merek dagang Buddha-Bar yang berkantor pusat di Paris, agar mencabut kembali lisensi yang diberikan kepada PT. NVC sehingga merek Buddha-Bar tak bisa lagi beroperasi di Indonesia. Apalagi karena pendaftaran merek itu telah dicabut Dirjen HAKI pada 15 April 2009.

Dari Kedubes Perancis di Jl. MH. Thamrin, Jakarta Pusat, umat Buddha melakukan long march ke Restoran Buddha-Bar yang berjarak hampir dua kilometer, dan berupaya mewujudkan keinginannya menutup sendiri restoran yang berlokasi di gedung eks imigrasi tersebut. Mereka berupaya mendobrak pintu gerbang sebelah barat restoran itu , dan merusak papan-papan penutup pintu dan pagar restoran agar bisa masuk. Namun upaya ini gagal karena dihadang blokade aparat kepolisian dari Polsek Menteng dan Polres Jakarta Pusat, sehingga nyaris chaos. Bahkan seorang peserta aksi, Yongky, nyaris ditangkap aparat berseragam coklat-coklat itu karena ngotot ingin tetap mendobrak pintu itu. Suasana benar-benar tegang dan mencekam.

Humas AMTBB Karya Elly mengakui, umat Buddha memang benar-benar telah sangat marah kepada pemerintah dan aparat, karena meski jelas-jelas keberadaan Restoran Buddha-Bar meresahkan umat Buddha, tetap saja dibiarkan beroperasi. Padahal merek dagangnya pun telah dicabut Dirjen HAKI.

Yang lebih memprihatinkan, pada 23 April 2009, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta juga telah mencabut izin operasional restoran itu, namun restoran milik Djan Faridz tersebut seperti kebal hukum dan kebal terhadap peraturan apapun.

"Karena itu kita turun langsung untuk menutupnya, karena sudah hampir dua tahun kami berjuang, tapi tak ada hasilnya. Kami bahkan sudah siap mati demi tujuan kami menutup Buddha-Bar," tegas dia.

Kejadian ini mengingatkan kita pada perisitiwa lengsernya Soeharto pada 1998. Sebelum digulingkan, Soeharto laksana pemilik negara yang mustahil dapat digantikan oleh siapapun, meski sebagian rakyat sudah sangat tidak suka kepadanya. Namun berkat people power yang dimotori mahasiswa, Soeharto dengan berat hati menyerahkan tampuk kekuasaannya kepada BJ Habibie.

Saya bertanya-tanya dalam hati, harus selalu dengan cara seperti inikah keinginan rakyat di Indonesia dapat dicapai? Dalam banyak persoalan, termasuk dalam pemberantasan korupsi, penyediaan listrik dan BBM, masyarakat sudah terlalu sering memprotes dan mengeluh, namun juga tak kunjung ada hasilnya. Bahkan kian hari kehidupan masyarakat menengah bawah kian terjepit akibat harga kebutuhan yang terus melambung, sementara korupsi yang menggerogoti keuangan negara, tak kunjung dapat diberantas. Bahkan KPK sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi, secara sistematis dilemahkan. Padahal uang yang dikorupsi dapat dimanfaatkan untuk menyejahterakan rakyat.

Saya berharap, para elit politik dan kekuasaan terbuka mata hatinya, bahwa dijatuhkan oleh rakyat sangat merendahkan martabat pribadi dibanding mengundurkan diri jika sadar tak mampu. Atau alternatif yang lebih baik, segera penuhi harapan rakyat dengan melakukan tindakan nyata dan tidak lagi menyebar jargon-jargon sebagai lips servis belaka. Rakyat Indonesia sudah tidak sebodoh sepuluh atau dua puluh tahun lalu.

Berita terkait KLIK DI SINI.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun