Mohon tunggu...
Sang Penggoda
Sang Penggoda Mohon Tunggu... -

Sang Penggoda

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sang Penggoda: Makhluk Udik!

7 Januari 2015   01:03 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:40 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Setelah semalaman berkutat dengan pekerjaan saya akhirnya saya bisa menikmati hari bebas dengan tidur sepuasnya hingga sore nanti. Setelah bikin kapok si tukang sayur sialan itu rasanya puas, sepuas Bandung Bondowoso yang nyaris menyelesaikan 1000 candi dalam satu malam kalau saja Roro Jonggrang tak mengobrak-abriknya dengan  siang jadi-jadian.

Dan pagi ini dia tak lagi berani bersuit-suit maupun melecehkan saya dengan menjawil maupun menepuk bagian-bagian pada tubuh saya yang sangat berharga ini. Janji saya dalam hati, kalau sekali lagi si tukang sayur blegug itu berani melecehkan bagian-bagian pada tubuh saya lagi, nggak tanggung-tanggung, bukan hanya sekadar tendangan pada area vitalnya saja yang akan saya lancarkan, tapi juga laporan ke pihak kepolisian dengan tuduhan perbuatan tak menyenangkan dan pelecehan seksual!

BTW busway,,, Kamu pasti heran, karena tak seperti manusia pada umumnya yang bekerja siang dan tidur malam. Saya ini kalong.  Hey! Ini Jakarta men! Kalau kamu nggak sanggup jungkir balik demi sesuap nasi maka kamu nggak akan makan.  Siang jadi malam dan malam jadi siang, kepala buat kaki dan kaki buat kepala bagi para kuli pencari sebutir nasi seperti saya itu bukan hal luar biasa.  Nggak usah mengeryintkan dahi atau melongo kayak orang dongo.

Kamu akan bertanya-tanya apa gerangan pekerjaan saya.. Ok, saya paham, itu akan saya jawab tapi nanti. Yang akan saya ceritakan terlebih dahulu adalah bagaimana saya yang orang udik ini bisa menjejakan kaki di Jakarta, bagi anak kampung seperti saya, menjejakan kaki di Jakarta itu rasanya selevel dengan  Neil Amstrong yang berhasil jinjit di bulan. Sebuah fenomena yang luar biasa.

Saya adalah manusia nekat. Lulus SMA di sebuah desa kecil nyaris membuat saya buntu dan tak tau harus ke mana langkah ini berjalan. Jadi petani seperti simbok ataukah jadi pengangguran nelangsa yang saben hari nongkrong di perempatan jalan tanpa tujuan? Sementara mimpi yang saya gantungkan di langit kapankah saya harus meraih? Udik-udik gini saya juga nggak mau dibilang  kampungan. Saya punya ponsel yang bisa mengakses apa yang di namakan dengan fesbuk. Itu juga hasil merayu simbok saya, lalu kemudian simbok dan abah menjual satu kambingnya demi membelikan satu ponsel untuk anak kesayanganya ini. Dengan catatan, saben hari ketimbang tak ada kerjaan saya harus membantu abah mencari pakan kambing. *Silahkan bayangkan betapa hidup saya ini luar biasa udiknya.

Hampir setiap malam saya dihabiskan untuk membuka-bukan ponsel dan rajin mengajukan pertemanan ke siapapun, mengikuti status-status mereka para kaum urban di metropolitan, ini saya lakukan supaya nggak ketinggalan zaman dan informasi. Akibatnya saya  hanya bisa ngiler dengan foto-foto yang mereka bagikan di laman fesbuk. Dari hanya foto selfie  di sebuah mall doank sampai foto-foto mereka bergaya di tempat clubbing.  Tak peduli dibilang norak, karena demikian adanya. Saya adalah mahluk norak dan udik. Yang bisa melongo  kayak orang dongo hanya dengan melihat foto selfie teman-teman fesbuk dengan para artis. Yang iri setengah mati tatkala melihat foto teman fesbuk dengan latar belakang sebuah pesawat!

Oya, alasan saya buka fesbuk malam hari karena ditengah malam merupakan saatnya  profider selular menggelontorkan kuota gratisan untuk kaum merana bokek seperti saya. Dan ketika pulsa saya benar-benar habis maka jurus maut saya tentu saja rayuan pulau kelapa ke simbok. Dan dengan berat hati serta dengan muka ditekuk seribu simbok biasanya akan memberikan sejumlah uang yang sejatinya bisa buat beli beberapa liter beras ke tangan saya, untungnya di kampung saya yang mayoritas petani beras tak perlu membeli.  Balasan saya adalah kecup pipi kanan kiri seperti di sinetron-sinetron yang saya sering tonton disamping saya tetap rajin membantu abah cari rumput buat kambing-kambing piaraan serta tugas tambahan ngasih makan ayam sekaligus menunggui ayam-ayam untuk pulang kandang ketika petang menjelang.

Saya akui. Saya hanyalah seonggok mahluk dengan nafas dan fisik tapi tak punya kelebihan apa-apa. Saya hidup di udik sementara di luar sana, oh helooo… gadis-gadis seusia saya sedang berkutat di mall-mall besar dengan baju-baju trendi serta dandanan yahud abad ini.

Apa yang kamu rasakan bila kamu bukan siapa-siapa, tak punya apa-apa, dan nggak bisa ngapa-ngapain? Kamu hanya bisa ngiler setiap ngintip status teman-teman antah barantah di laman fesbukmu setiap malam. Menjadi orang tak penting dan udik adalah musibah di zaman yang menganggap pengakuan adalan sebentuk barang yang susah dicari,,,

======================Bersambung===============

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun