Hidup di dunia realitas ini, tak semua berjalan dengan hitungan matematis, 1+1 tidak selalu sama dengan 2. Dan mereka yang memilih ya alias memilih memaksakan dirinya untuk melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan akal sehat, tentulah wajar jika dituduh tidak memiliki akal sehat alias tidak masuk akal.
Tapi sebentar dulu, menurut Anda: apa sih pengertian tidak masuk akal?
Ada yang mau jawab? Kok sepi? Yang di depan, belakang? Ya.. Anda yang sedang pegang Blackberry. Apa artinya tidak masuk akal? (penulis ngaco, mana bisa tulisan dibikin interaktif? Sok tahu! Heheheh :)
Tidak masuk akal itu ada dua pengertiannya. Ini menurut saya lho, lha tadi saya tanya menurut Anda, Anda diam saja. Hehehe, makin parah ngaconya!
Yang pertama, tidak masuk akal berarti memang faktanya salah.
Alias logika berfikirnya salah. Misalnya: meja kayu adalah meja yang terbuat dari roti. Ya jelas salah. Yang betul atau yang masuk akal adalah meja yang terbuat dari besi, eh kayu. Ya.. Kayu. Itu yang masuk akal.
Yang kedua, tidak masuk akal juga bisa berarti akal kita tidak bisa menjangkaunya alias belum mampu memahaminya.
Misalnya: dulu membayangkan pendaratan manusia di bulan dianggap gak masuk akal. Karena belum pernah ada yang melakukannya. Columbus yang berniat memutari bumi dianggap nggak masuk akal karena pengertian umum orang-orang pada jaman itu: bumi itu datar. Nanti di ujung bumi, Columbus akan nyemplung dan hilang entah kemana. Di dunia kedokteran, santet dianggap nggak logis. Bagaimana mungkin bisa ada sendok garpu masuk perut tanpa melukai tubuh korbannya? Lewat mana masuknya? Dengan teknologi apa?
Nah, saat waktu berlalu: kita tahu bahwa hal-hal aneh ini bisa terjadi, nyata terjadi meskipun secara logika mungkin kita tetap tak bisa mempercayainya.
Nah, saat akal tak menjangkau, kita mengenal yang disebut sebagai iman. Makanya, ada ungkapan sami'na wa atho'na dalam Islam, yang artinya: saya dengarkan dan taati. Ini khas dunia pesantren, yang biasanya sering diartikan: seorang kyai itu dianggap mutlak perintahnya, santri-santri harus sami'na wa atho'na. Lebih parah lagi, ungkapan ini dianggap anti demokrasi, anti kritik, taqlid buta, tidak menjunjung azas persamaan dan egalitarianisme.
Padahal dalam hidup kita, pemaknaan sami'na wa atho'na ini begitu luasnya. Coba kita tengok saat kita bayi dan ibu melatih kita untuk belajar jalan. Apakah Ibu menjelaskan dulu manfaat-manfaat belajar jalan kepadamu? Apakah Ibu meminta persetujuanmu untuk melatihmu belajar jalan? Apakah engkau protes? Tidak. Tak ada persetujuan, engkau juga tak protes. Semua berjalan alamiah sampai saatnya nanti engkau - setelah belajar, setelah Iqra' - paham manfaatnya bisa berjalan dengan kedua kaki.