Mohon tunggu...
Arief Budiman
Arief Budiman Mohon Tunggu... wiraswasta -

Managing Director PT. Petakumpet Creative Network

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ketika Hidup Melelahkanmu

8 Maret 2011   13:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:58 1230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Laa ilaaha illa Llah
Hanya kepada Allah aku bersimpuh
Tapi kepada apa pun aku bersimpuh

Laa ilaaha illa Llah
Hanya kepada Allah aku bersujud
Tapi kepada apa pun aku bersujud

Laa ilaaha illa Llah
Masya Allah!

Untuk memperjelas makna dari puisi indah ini, saya akan bercermin pada perjalanan hidup yang telah saya lalui.

Sempat terjadi dalam periode kehidupan saya saat awal-awal bersama teman-teman memulai Petakumpet sekitar 10 tahun lalu, waktu 24 jam sehari rasanya tak cukup. Hari-hari itu begitu melelahkannya, rasanya tak kuat saya menyelesaikan begitu banyak tanggung jawab menyangkut komunitas, pekerjaan maupun kehidupan personal saya yang berantakan.

Saya pun mengadu pada Allah,"Ya Allah, jika sehari bisa lebih dari 24 jam rasanya saya akan punya kesempatan lebih banyak untuk menyelesaikan semua tanggung jawab saya..."

Tapi rasanya Allah tak mendengar doa saya. Atau saya nya yang tak punya kemampuan mendengarkan-Nya. Pekerjaan sepertinya datang tak habis-habis, ada duitnya emang, tapi duit nya pun mengalir lancar keluar tak pernah terpegang barang sebentar.

Hidup saya begitu capeknya, badan pegel-pegel tiap malam, Sabtu Minggu pun dihajar pekerjaan.

Sampai suatu hari saya menemukan ciri-ciri yang dikemukakan Ustadz Yusuf Mansur dalam kehidupan saya: sibuk tiada henti, kurang tiada cukup, rugi tiada untung

Begitulah, saya sibuk tiada henti. Pekerjaan satu belum selesai datang lagi pekerjaan berikutnya. Presentasi ke satu klien sedang berjalan, hp sudah berbunyi karena klien berikutnya sudah tidak sabar nunggu. Jadual berantakan, banyak acara penting datangnya barengan, seolah-olah solusi yang tersedia adalah menjadi amuba yang bisa membelah diri jadi dua atau sepuluh. Saya ditarik ke kanan, ditarik ke kiri rasanya tak punya hak untuk menentukan jadual sendiri. Seringkali dalam kondisi pikiran penuh dan penat, badan luluh lantak tapi harus pasang senyum manis di depan klien yang tak ramah, sampai sebuah lagu dangdut pun menyindir: itu senyum membawa luka. Saya tak punya lagi waktu baca buku, nulis catatan harian apalagi nonton film. Saya sibuk sesibuk-sibuknya, terlihat sukses di luaran tapi sungguh menderita di dalam. Tidur pun jadi begitu mahal buat saya padahal jiwa raga saya sudah ringsek seringsek-ringseknya.

Dan anehnya lagi, rejeki saya tidak terjamin karena kerja keras itu. Betul bahwa puluhan bahkan ratusan juta rupiah bersliweran saat itu tapi rasanya cuma numpang lewat aja di rekening. Berapapun uang yang kita terima, selalu kurang untuk memenuhi kebutuhan. Sehingga saat kantor butuh komputer baru untuk mengimbangi permintaan, terpaksa hutang atau kredit. Bahkan saat sakit dan harus periksa ke dokter dan butuh obat ratusan ribu rupiah, uangnya tak tersedia. Klien yang harusnya bayar sekian juta saat itu - sehingga bisa dikasbon dulu untuk beli obat - tak ada kabarnya, ditelepon tidak aktif, didatangi kantornya sepi. Jadual masuknya uang seringkali tidak tepat waktu sesuai kebutuhan. Saat perlu banget, kas malah kosong. Hari-hari saya diisi kepanikan karena takut mengecewakan orang lain, mengecewakan klien, saya selalu merasa kekurangan tak pernah cukup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun