Mohon tunggu...
Muhammad Wislan Arif
Muhammad Wislan Arif Mohon Tunggu... profesional -

Hobi membaca, menulis dan traveling. Membanggakan Sejarah Bangsa. Mengembangkan Kesadaran Nasional untuk Kejayaan Republik Indonesia, di mana Anak-Cucu-Cicit-Canggah hidup bersama dalam Negara yang Adil dan Makmur --- Tata Tentram Kerta Raharja, Gemah Ripah Loh Jinawi. Merdeka !

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Abak (Cermin-62)

6 September 2012   03:06 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:51 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(1)

Lautan Hindia itu sudah menyatu dengan jiwa raganya --- ombak setinggi apapun tidak pernah menggentarkannya, hanya angin kencang yang perlu diwaspadainya --- areal lautan di depan pantai kampung halamannya itu seperti sawah ladangnya di antara bukit dan ngarai yang digelutinya sejak kanak-kanaknya.

Setelah Amay meninggal dunia ia memutuskan hanya menjadi nelayan. Semua harta warisan sawah, ladang, kebun dan perusahaan-perusahaan untuk anak-kemenakan --- mengelola kemajuan dan perobahan jaman.

(2)

Tiap hari ia pergi dan pulang menangkap ikan --- hasil tangkapannya telah ada yang menampungnya. Amay Lela. Bertahun-tahun berkepanjangan digosipkan bahwa mungkin kedua manusia ini akan menikah. Tetapi kenyataannya sampai kini mereka tetap berstatus duda dan janda. Amay Lela pedagang ikan di Pasar Terusan.

Tiap kali Amay Lela menyiapkan kebutuhan hidup Abak --- baik di darat maupun kebutuhannya di sampan. Apabila tidak ada kebutuhan yang dibelikan --- niscaya uang kelebihan tunai diberikan kepada Abak. Tidak ada yang tahu bagiamana perhitungan nilai di antara mereka.

Kebiasaan bagus dari Abak adalah mencatat dan membuat berbagai kesimpulan tentang peristiwa dan berita yang di dapatnya sehari-hari.

Ini hari menjelang pantai ia mengenang ”pemboman Painan oleh Pemerintah Pusat” dalam peristiwa PRRI --- tampak ia menuliskan sesuatu di meja pendek di beranda rumahnya yang menghadap lautan lepas.

(3)

Hari Raya Idulfitri tahun ini ia sangat berbahagia --- ia memberikan wejangan, petuah dan pepatah-pepitih yang hangat disambut oleh anak-kemenakan dan cucu-cucunya. Tadi pagi ia menangis berlinang air mata ketika akan ke Mesjid --- dia harus memilih satu dari 2 sajadah pemberian cucunya --- sajadah buatan Iran itu tebal dan lembut. Ia bersyukur generasi cucunya sukses menempatkan diri di Alam Kemerdekaan Indonesia.

Dua cucunya Tino seorang Dokter gigi di Aceh, dan Kukuh insinyur pertambangan karyawan Perusahaan Minyak Asing di Jakarta. Kebetulan membelikan sajadah yang sangat indah itu.

Juga tahun ini ia terpaksa menerima hadiah TV 14 inci --- selama ini ia menolak TV sebagai perlengkapan rumahnya. Ia kuatir waktu tidurnya terganggu dengan acara berita TV --- ia lebih senang mendengarkan berita dari “radio-roti Phillips-nya” yang antik. Ia mendengarkan acara berita radio sampai tertidur.

TV itu hadiah anak perempuannya dari Bengkulu.

Cucu-cucu perempuannya mengganti gordyn rumahnya dengan gaya masa kini --- ia lebih menyenangi gordyn gaya lama yang hanya membentang horizontal --- indah sekali bila disibakkan angin dan …… menutup lagi. Gaya yang baru hasil kreatif cucunya anak-anak SMK, harus ia hargai --- cucunya ternyata cerdas memilihkan warna terra untuk menselaraskan dengan dindingrumah Abak yang berwarna kayu berjamur. Rumah Abak berpenampilan baru, Abak menyerah dengan pemikiran baru --- seperti juga dulu ia memutuskan menyerahkan seluruh sawah ladang warisan untuk kesejahteraan anak-kamenakannya, 20 tahun yang lalu ……………………………..

(4)

Telah tampak berkas cahaya di timur desanya--- di sela-sela bukit Sempago berkabut dan berembun. Abak menuruni punggung bukit untuk mencapai pantai, untuk Shalat Subuh.Langit di barat biasa berselaput kelabu dan kehitaman di kejauhan ……………. Pulau Cubadak dan Pulau Merak jelas terlihat.

Ia terkenang pada hutan kemenyan di Hutan Silago --- ia terkenang masa mudanya mengikuti ayahnya berdagang kemenyan ke Jawa, ayahnya makmur karena menjadi pedagang kemenyan, mengirim ke Cirebon, Semarang dan Temanggung. Kemudian ia terkenang pula pada catatannya tentang pemburuan kayu Gaharu di hutan Bengkulu --- kemarin ada kemenakannya bercerita tentang rencana pembudidayaan kebun gaharu di Tabing --- ia terheran-heran, orang kini telah pula menerapkan teknologi pembudidayaan pohon-pohon komersil, yang dulunya cukup diburu di hutan.

Rencananya ia akan menuliskan catatan apa yang diketahuinya tentang kesuksesan Orang Trans di Rimbo Bujang ---Orang-orang Jawa yang kini telah 3 generasi hidup berdampingan dengan Orang Minang. Orang Minang masih ada yang menjadi penjaja es keliling di desa-desa, sebaliknya Anak Orang Trans kini telah ada yang menjadi Orang terpandang di tengah-tengah Orang Minang.

Ia tersenyum mengenang Adtyawarman --- Negarawan Pagaruyung yang menjadi ikatan sejati Ranah Minang dengan Kerajaan Majapahit.

Catatan Abak tentang banyak hal --- dari kenangan masa kecilnya, sampai masalah nasional yang menyangkut pertikaian sengketa tanah yang terjadi di Pulau Sumatera --- banyak tersimpan dalam berbagai buku tulis yang tersusun rapi di rak-rak kayu di dinding ruang bersilanya

Angin ribut, topan, petir dan tinggi gelombang telah berulang kali terjadi di sepanjang pantai Sumatera Barat, sejak menjelang Lebaran --- telah banyak kapal dan sampan dikabarkan yang tenggelam. Bahkan kapal dinas bermotor yang berangkat menuju Pulau Mentawai hampir pula menjadi korban keganasan ombak dan angin Lautan Hindia.

Ada sejumlah kapal motor nelayan Sumatera Barat yang beroperasi di laut lepas, ketika akan pulang berhari-raya terpaksa tambat di pantai Pagar Dewa di Bengkulu --- itulah cuaca yang dianggap Abak biasa-biasa saja.

(5)

Ada 2 kali Abak pulang ke Pantai, selamat dalam bencana amuk ombak dan angin --- ia selalu berjaya kembali hanya dengan tetap menggenggam dayung sampannya, yang konon warisan leluhurnya ………………. Tetapi kali ini, anak-kemenakan dan cucu-cucunya cemas Abak telah 5 hari tidak kembali.

Amay Lela tetap setia menantikan kepulangan Abak dengan hasil tangkapannya --- jerih payah yang juga penopang kehidupannya sebagai pedagang ikan . Amay Lela juga cemas atas nasib Abak --- Anak-kemenakan dan handai tolan mencoba mendengar kabar tentang nelayan yang tertolong atau pun tewas --- bahkan sisa-sisaremukan kayu sampan dan kapal, dari Pantai Tiku di utara sampai Pantai Muko-muko di selatan.Mereka mencoba meyakinkan diri bahwa Abak selamat.

Satu cucu Abak, Rubiah Tarigan tersedu-sedu menangis di Laboratorium di mana dia bertugas di Medan --- ia memandangi foto di Hp-nya, dalampelukan Abak di tangga rumahnya --- Abak memang orang idealis, mengambil menantu dari berbagai suku nusantara.

“Anak Cucu Abak harus berjiwa Negarawan seperti Adityawarman, Sang Arya Dewaraja pu Aditya --- seorang Maharajadhiraja dengan gelar Udayadityawarman, Adityawarmodaya Pratapaparakrama rajendra Maulimaliwarmadewa, Raja Pagaruyung yang mencoba membangun kembali Kerajaan Majapahit diSumatera *) ……………….” , itulah wejangan Abak yang dicatat Rubiah, cucunya …………..

[caption id="attachment_204192" align="aligncenter" width="473" caption="Grafis MWA-Cermin 62"][/caption]

*) Sejarah Nasional Indonesia II, Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosutanto, Balai Pustaka -1990.

[MWA] (Cermin Haiku-62)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun