Mohon tunggu...
Muhammad Wislan Arif
Muhammad Wislan Arif Mohon Tunggu... profesional -

Hobi membaca, menulis dan traveling. Membanggakan Sejarah Bangsa. Mengembangkan Kesadaran Nasional untuk Kejayaan Republik Indonesia, di mana Anak-Cucu-Cicit-Canggah hidup bersama dalam Negara yang Adil dan Makmur --- Tata Tentram Kerta Raharja, Gemah Ripah Loh Jinawi. Merdeka !

Selanjutnya

Tutup

Money

Demokrasi Ekonomi, Siswono Yudo Husodo, dan Kebijakan Ekonomi [EkonomiNet-19]

23 Agustus 2011   05:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:32 558
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

[caption id="attachment_127256" align="aligncenter" width="300" caption="Nilai Rupiah --- secara Filosofi Kemerdekaan adalah Nilai Kesejahteraan Sosial yang bisa dinikmati oleh Anak Bangsa."][/caption]

Pemikiran tokoh ini perlu disimak --- bagi penulis sejak Siswono berceramah di Pembukaan pameran seni lukis di Kampus UGM di akhir Mei 1995 --- ceramah itu berjudul Cerdik Semakin Dekat dengan Licik, Jujur Semakin Dekat dengan Bodoh; isi ceramah itu pun masih relevan dengan keadaan Sosial Ekonomi dan Budaya Indonesia saat ini --- tetapi kali ini cukuplah judulnya saja dulu, walaupun tulisan itu juga menyangkut Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945. Tetapi yang mengusik kita untuk memberikan tanggapan adalah, tulisan beliau di Kompas.Com 23 Agustus 2011 berjudul 66 Tahun Ekonomi  Indonesia.

Kedua tulisan itumempunyai benang merah dialektis menerapkan isi Konstitusi ke dalam Kebijakan Ekonomi; tulisan yang pertamadiungkapkan pada Era Orde Baru, dan yang terakhir di Era Reformasi --- dalam Pemerintahan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, di mana proses reformasi belum terlaksana sebagaimana Amanat Reformasi 1998.

Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dalam pusaran demokratisasi setelah UUD 1945 di-amendemen --- terjadi gejala ketidakmampuan melakukan Penegakkan Hukum secara konsekwen --- bandul Negara Hukum berayun-ayun dalam kisaran praktek Negara Kekuasaan; ketidak mampuan melakukan Pemberantasa Budaya Korupsi dalam bingkai managerial --- tidak ada time-frame yang sistematis, hanya dilakukan dengan retorika yang menyia-nyiakan waktu periode kepresidenan. Sia-sia.

Rakyat pesimis Kebijakan di bidang Penegakkan Hukum dan Kebijakan Ekonomi akan menjurus kepada target Cita-cita Proklamasi kemerdekaan yang termaktub di dalam Undang-undang Dasar 1945 Amendemen. Periode 10 tahun ini jangan-jangan Indonesia hanya sebatas “survive”, walau pun indikasi Negara Gagal jelas mengepung NKRI.

Adalah Siswono menulis di dalam 66 tahun Ekonomi Indonesia, dikutip dengan ada beberapa bagian saduran :

1.secara gradual sejarah, Pemerintahan Indonesia mencoba menerapkan Cita-cita Proklamasi Kemerdekaan dan berbagai Kebijakan yang konstitusional (UUD 1945-UUD Republik Indonesia Serikat- UUD Sementara1950; hingga kembali ke UUD 1945 setelahDekrit Presiden 5 Juli 1959).

2. Dalam 66 tahun ini, keleluasaan itu telah memunculkan berbagai variasi konsep dan praktik ekonomi.

3.PadaPemerintahan Nasional, di awal hingga pertengahan 1960-an perekonomian cenderung sosialistis. Tekanannya pada pemerataan, perencanaan pembangunan terpusat, dan semangat kemandirian menyala. Penyelenggara negara, yang banyak di antaranya pendiri negara, diwarnai sikap waspada akan kembalinya penjajahan melalui kapitalisme liberalisme yang merupakan induk neokolonialisme dan neoimperialisme.

4Perubahan politik setelah 1965 mengubah corak perekonomian nasional. Penyelenggara negara yang baru berkeyakinan bahwa peran modal asing dibutuhkan dalam pembangunan. Serangkaian program liberalisasi ekonomi dijalankan. Dibandingkan dengan era sebelumnya, perekonomian Orde Baru lebih liberal kapitalistis. Didukung stabilitas politik, Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang tinggi (7 persen) selama 30 tahun. Kue ekonomi yang membesar meningkatkan kemampuan negara melindungi dan melayani rakyat. Ini tampak dari kebijakan proteksi terhadap petani, pembangunan sekolah, layanan kesehatan dasar sampai pelosok desa, serta aneka infrastruktur.

 

Minimnya transparansi dan pengelolaan bisnis besar pada kroni penguasa yang tak kompeten telah mengantar Orde Baru pada kejatuhannya (1998). Di era reformasi, tak banyak corak perekonomian yang berbeda dari Orde Baru. Yang terasa berbeda: suasana bisnis lebih transparan. Pertumbuhan ekonomi 5-6 persen di tahun-tahun terakhir. Namun, angka kemiskinan dan pengangguran masih tinggi

5.Koefisien Gini tahun 2010 mendekati 0,4 dengan GDP per kapita sekitar 3.000 dollar AS. Ini menunjukkan kondisi ekonomi yang sudah tak berkeadilan. Di masa Orde Baru, koefisien Gini 0,3 dengan GDP per kapita 2.000 dollar AS. Di tengah kesenjangan yang tinggi dan situasi politik yang keras saat ini, opini publik lebih memberi angin pada membagi kue ekonomi yang kecil secara lebih merata dan kurang memberi dukungan pada gagasan memperbesar kue ekonomi nasional. Pandangan ini bisa menjebak kita tetap miskin.

6. Dalam 13 tahun era reformasi, utang luar negeri terus bertambah. Di akhir era Soeharto, utang luar negeri kita 54 miliar dollar AS. Posisi utang luar negeri sampai April 2011 sekitar 128,6 miliar dollar AS dengan sifat utang yang berbunga jauh lebih tinggi, 11 persen per tahun, berjangka lebih pendek (5-10 tahun) dan bersumber dari pasar modal.

Dana membangun infrastruktur amat sedikit: tahun 2011 di bawah Rp 200 triliun. Dana tersedot buat membayar cicilan utang luar negeri dan aneka subsidi serta membiayai birokrasi yang bertambah gemuk dengan munculnya daerah pemekaran. Di tengah angka kemiskinan yang masih tinggi, memang lebih populer membangun kemakmuran dengan utang besar, yang sebenarnya kemudian membenamkannya.

7.Saya (baca, Siswono Yudo Husodo) mendukung gagasan mengurangi subsidi BBM agar negara dapat lebih banyak membangun infrastruktur yang lebih menjanjikan efek lipat ganda. Mengurangi subsidi akan memberi negara kesempatan memfasilitasi rakyat dengan cara lebih baik. Pilihan itu sekilas tampak liberal.

Ke-7 kutipan di atas memberikan penjelasan dan diktum yang perlu pada Kebijakan Pemerintahan Presiden RI Susilo --- agar melakukan koreksi dan melakukan Kebijakan Fiskal yang bisa menumbuhkan kesejahteraan dan perekonomian kerakyatan.

Di dalam tulisannya juga Siswono memberikan beberapa gambaran yang secara teoritis dan praktis memang dilakukan di Negara-negara Kapitalis --- yang resultantenya adalah bersifat sosialistis, bahkan sebagaimana di praktek-kan oleh Pemerintahan Presiden AS Barack Obama. Terutama dengan Kebijakannya tentangJaminan Asuransi Kesehatan untuk kaum Miskin.

Siswono mengambil contoh beberapa Negara Asia (Timur) yang sukses memadukan Ideologi Konstitusionalnya dengan Kebijakan yang bersifat kapitalistis liberalistis --- bahkan dalam kasus Negara Cina, bukan saja praktik itu diselenggarakan di Wilayahnya di Daratan Cina, tetapi kemerdekaan Hongkong tetap dibiarkan menyelenggarakan Pemeritahan dengan Kebijakan Hongkong yang kapitalistis-liberal (didugakalau pun Taiwan suatu saat bergabung dengan Negara Cina Daratan, kiranya Pemerintah Cina akan menggunakan Kebijakan ganda --- Ideologi Komunisme-Sosialistis dengan praktek Kebijakan Ekonomi yang sesuai dalam proses globalisasi perekonomian dunia di seluruh negerinya, walaupun terdapat praktik kapitalisme-liberalistis di beberapa wilayahnya).

Kebijakan Ekonomi yang semacam itu mungkin juga dilakukan oleh Negara Vietnam, Kamboja, bahkan mungkin oleh Myanmar.

Siswono juga memberi contoh keberhasilan Republik Singapuradengan sistem satu partai --- mengandalkan kebijakan Ekonomi yang Kapitalistis-liberal --- menggunakan BUMN-nya dan Tabungan Masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Kok bisa ?

Keberhasilan Negara Cina, Korsel, Hongkong, Taiwan, Jepang dan Singapura --- Pemerintahnya tegas Anti Korupsi, para koruptor dihukum berat --- tidak memandang partai atau bekas presiden, bekas gubernur atau walikota.Hukuman berat bagi Koruptor, bahkan diberi hukuman mati.

Ada yang perlu kita lengkapi dari tulisan Siswono --- karena relevansi dan konsistensinya dalam kesadaran berkonstitusi, ia tergolong salah seorang tokoh yang berjiwa Negarawan di luar Pemerintahan.Yakni apa yang tertera pada konstitusi Undang-undang Dasar 1945 Amendemen :

1.Jelas Ideologi Negara bagi Rakyat Indonesia dan PemerintahRI, pada Preambule sejak kalimat pertama paragraf pertama hingga akhir kalimat : “Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan …………………………, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia “. Artinya resultante Kebijakan Pemeritah haruslah Keadilan Sosial.

2.Bab I Pasal 1 Ayat 1 : “Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik “---- Jelas Res Publika, untuk Kepentingan Publik, untuk kepentingan Rakyat, untuk kepentingan masyarakat. Ayat (3) : “ Negara Indonesia adalah Negara hukum.”

3.Bab XIV PEREKONOMIAN NASIONAL DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL, Pasal 33 Ayat (1) sampai (5)jelas merupakan Grondslag dari pada Kebijakan Ekonomi Pemerintah secara konstitusional --- bersifat koperatif, korporatif , progresif, sustainable, dan keseimbangandalam kemajuan serta kesatuan ekonomi nasional. Pasal 34 adalah sistem yang memandu Kebijakan Permerintah bahwa hasil pembangunan, pertumbuhan ekonomi harus bersifat sosialistis.

Kebijakan Pemerintahan harus Konstitusional baik Isi managerialnya maupun resultantenya ---- apabila resultantenya bertentangan dengan Cita-cita Konstitusi maka tergolong Kebijakan dan Tindakan Inkonstitusional.

Pemerintah, Birokrasi, Para Manager BUMN, dan Lembagayang mengelola APBN atauAset Negaraapabila Kebijakan dan Tindakannya menyebabkan Negara dirugikan harus mempertanggungjawabkannya di hadapan Negara Hukum.

Seperti juga Siswono --- kita juga sependapat dengan Kata-kata Bijak Deng Xiaopeng : “ Tidak peduli warna kucing hitam atau putih --- yang terpenting ia mampu menerkam tikus “.

Kita kutipkan kalimat terakhir Siswono pada tulisannya itu --- karena percuma Kebijakan Ekonomi apapun yang dibuat, akan sia-sia, apabila Budaya Korupsi tidak mampu di-enyahkan dari pemerintahan di Indonesia --- tindakan koruptif hanya bisa timbul dari Mismanagement.

Berikut kalimat Siswono Yudo Husodo :

Dengan praktik berbeda, perekonomian masa Soekarno dan Soeharto gagal karena mismanajemen politik dan ekonomi. Mau berjalan ke mana perekonomian Indonesia nanti juga ditentukan kemauan kita membenahi sikap mental, etos kerja, dan semangat kejuangan merebut berbagai peluang di era globalisasi ini. Pemberantasan korupsi dan suap di lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif serta di masyarakat sangat menentukan kemajuan dan kemakmuran negara dan bangsa kita.

Memang --- Merdeka ! [MWA].

*)Foto ex Internet

   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun