Â
Hari Kamis ia bergegas masuk ke dalam Busway --- bus yang bertolak dari Walikota Jakarta Timur lega sekali, tetapi hati Misye tetap gaduh, tepat di seberangnya duduk lelaki sepertinya tidak acuh --- walau pun hatinya gaduh, dalam menyelesaikan perkaranya ini, tampaknya ia membutuhkan lelaki.
Â
Tiap halte selalu menambahkan penumpang naik, tidak tampak yang turun --- walaupun mata Misye ditutupkan, indra telinganya terbuka, ia sedang mendengarkan lagu-lagu favorit --- saat ini sedang memainkan The Beautiful Girl --- ia teringat ketika di Café di Palembang, ia berdua saja dengan Thamrin, tetapi ada sorot mata lelaki berseberangan meja yang sering seolah-olah beradu mata dengannya.
Â
Lelaki di seberang itulah yang meminta dimainkan lagu the Beautiful Girl --- lantas makin seringmengirim signal bahwa, seolah-olah mengisyaratkan bahwa Misye-lah --- Si wanita cantik itu.
Â
Saat ini, wanita itu memakai blouse yang tipis ditutup rapat dengan syal merah tebal menyala, se-olah ia membentengi dirinya, merahasiakan hatinya yang galau --- syal itu
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
ditutupkan seperti sehelai ponco, ia memakai pantelon warna putih, kakinya memiliki jari-jari dan kuku yang bersih itu, diperhatikan lelaki yang di seberangnya.
Â
Ia sedang mendengarkan Lady Jane the Rolling Stone.
Â
Lelaki itu mereka-reka ada masalah dengan wanita itu --- dilihatnya jemari tangan perempuan itu bersih sekali, tetapi setiap membuka matanya --- terpancar cahaya yang redup, sarat dengan masalah yang menghimpit.
Â
Syal merah yang menutup dada dan seluruh tubuhnya menyembunyikan dada dan lehernya --- rambut sebahunya dilepas begitu saja --- potongan di kening kirinya, lantas rambut itu rapi letaknya di sisi kiri kepalanya, dan agak tersisir tipis di kanan kepalanya.
Â
Mengesankan lelaki di seberang itu --- tetapi tampak ia tidak mengacuhkan, walaupun matanya tertutup, terbayang di pelupuk matanya --- lelaki itu sosok yang bijaksana.
Â
Tampil pula sosok pengacara yang tampil --- Pak Dollah Matondang, Misye sebenarnya tidak sreg dengan lelaki itu, tampak ia tidak akan dapat membantu penyelesaian perkaranya. Malah dia tampak mempunyai tendensi.
Â
Perempuan bersyal merah itu turun di halte Jatinegara II --- ia akan menuju ke kantor Pengacara itu.
Â
Â
Hari Jumat pada jam yang sama, sekitar 13.30 --- Misye mengenakan blouse tipis dengan warna pastel, celananya bell-bottom. Ia mengenakan syal kotak-kotak warna pastel juga dengan dipotong garis lebar warna kehitaman.
Â
Misye memakai kacamata hitam lebar, berbingkai biru malam ada nuansa putih yang meredup. Ia bisa mengawasi lelaki itu. Ia telah memutuskan akan menarik perkaranya dari pengacara itu.
Â
Kini ia tidak membutuhkan penyelesaian hukum --- ia telah mendapat kontak dengan encik Mochtar, di kota Malahayati --- nCik Mohtar akan turut menyelesaikan perselisihannya dengan Wan Hamid, suaminya. Tetapi Encik Mochtar juga adalah seorang Buaya Darat pula.
Â
Kelakuan Encik Mochtar, Wan Hamid --- suami siriknya, mirip sama saja, mereka adalah partner Misye dalam Usaha Garment patungan berbasis di Pekalongan.
Â
Ia membutuhkan lelaki lain di pihaknya --- lelaki di seberang itu dari perawakan dan wajahnya memberikan kesan sosok yang tepat, tetapi siang ini Misye kecewa dengan gaya lelaki itu --- ia masih berbaju koko. Memangku tas punggung, dan di bawah lututnya tergeletak kopor tanggung.
Â
Apakah ia pedagang kecil, pikir Misye.
Â
Tanpa sadar, Misye kini beralih ke masalah usaha garmentnya di Pusat Industri Kecil di Penggilingan --- ia butuhkan seorang lelaki pula untuk mengawasi perusahaannya itu --- ia rada panik menghadapi gejolak harga BBM, sementara ia akan berangkat ke Malaysia untuk menyelesaikan masalah yang lebih besar. Beberapa bukti pemilikan asset dan SHM propertinya dilarikan suaminya, orang Malaysia itu.
Â
Lelaki yang kini duduk diagonal jaraknyadengan Misye mencoba memejamkan matanya --- terbayang perempuan yang memakai katamata itu --- kini kacamata dilepasnya, mata itu memancarkan aura yang redup, perempuan itu dibebani masalah berat --- sayang syal itu membelit lehernya, kulit wajah perempuan itu putih bersih seperti kemarin, kulit tangan dan kakinya, kukunya pun bersih terawat.
Â
Lelaki itu membayangkan, leher perempuan itu juga tentunya berkulit putih.
Â
Perempuan itu melintas untuk turun lagi di halte Jatinegara II, Ibnu Rushdi ingin berjumpa lagi lain kali dengan perempuan yang sama itu.
[MWA} (Cermin Haiku – 27)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H