Mohon tunggu...
Muhammad Wislan Arif
Muhammad Wislan Arif Mohon Tunggu... profesional -

Hobi membaca, menulis dan traveling. Membanggakan Sejarah Bangsa. Mengembangkan Kesadaran Nasional untuk Kejayaan Republik Indonesia, di mana Anak-Cucu-Cicit-Canggah hidup bersama dalam Negara yang Adil dan Makmur --- Tata Tentram Kerta Raharja, Gemah Ripah Loh Jinawi. Merdeka !

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perempuan yang Sama (Cermin)

18 Maret 2012   01:25 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:54 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Hari Kamis ia bergegas masuk ke dalam Busway --- bus yang bertolak dari Walikota Jakarta Timur lega sekali, tetapi hati Misye tetap gaduh, tepat di seberangnya duduk lelaki sepertinya tidak acuh --- walau pun hatinya gaduh, dalam menyelesaikan perkaranya ini, tampaknya ia membutuhkan lelaki.

 

Tiap halte selalu menambahkan penumpang naik, tidak tampak yang turun --- walaupun mata Misye ditutupkan, indra telinganya terbuka, ia sedang mendengarkan lagu-lagu favorit --- saat ini sedang memainkan The Beautiful Girl --- ia teringat ketika di Café di Palembang, ia berdua saja dengan Thamrin, tetapi ada sorot mata lelaki berseberangan meja yang sering seolah-olah beradu mata dengannya.

 

Lelaki di seberang itulah yang meminta dimainkan lagu the Beautiful Girl --- lantas makin seringmengirim signal bahwa, seolah-olah mengisyaratkan bahwa Misye-lah --- Si wanita cantik itu.

 

Saat ini, wanita itu memakai blouse yang tipis ditutup rapat dengan syal merah tebal menyala, se-olah ia membentengi dirinya, merahasiakan hatinya yang galau --- syal itu

 

 

 

 

 

 

 

ditutupkan seperti sehelai ponco, ia memakai pantelon warna putih, kakinya memiliki jari-jari dan kuku yang bersih itu, diperhatikan lelaki yang di seberangnya.

 

Ia sedang mendengarkan Lady Jane the Rolling Stone.

 

Lelaki itu mereka-reka ada masalah dengan wanita itu --- dilihatnya jemari tangan perempuan itu bersih sekali, tetapi setiap membuka matanya --- terpancar cahaya yang redup, sarat dengan masalah yang menghimpit.

 

Syal merah yang menutup dada dan seluruh tubuhnya menyembunyikan dada dan lehernya --- rambut sebahunya dilepas begitu saja --- potongan di kening kirinya, lantas rambut itu rapi letaknya di sisi kiri kepalanya, dan agak tersisir tipis di kanan kepalanya.

 

Mengesankan lelaki di seberang itu --- tetapi tampak ia tidak mengacuhkan, walaupun matanya tertutup, terbayang di pelupuk matanya --- lelaki itu sosok yang bijaksana.

 

Tampil pula sosok pengacara yang tampil --- Pak Dollah Matondang, Misye sebenarnya tidak sreg dengan lelaki itu, tampak ia tidak akan dapat membantu penyelesaian perkaranya. Malah dia tampak mempunyai tendensi.

 

Perempuan bersyal merah itu turun di halte Jatinegara II --- ia akan menuju ke kantor Pengacara itu.

 

 

Hari Jumat pada jam yang sama, sekitar 13.30 --- Misye mengenakan blouse tipis dengan warna pastel, celananya bell-bottom. Ia mengenakan syal kotak-kotak warna pastel juga dengan dipotong garis lebar warna kehitaman.

 

Misye memakai kacamata hitam lebar, berbingkai biru malam ada nuansa putih yang meredup. Ia bisa mengawasi lelaki itu. Ia telah memutuskan akan menarik perkaranya dari pengacara itu.

 

Kini ia tidak membutuhkan penyelesaian hukum --- ia telah mendapat kontak dengan encik Mochtar, di kota Malahayati --- nCik Mohtar akan turut menyelesaikan perselisihannya dengan Wan Hamid, suaminya. Tetapi Encik Mochtar juga adalah seorang Buaya Darat pula.

 

Kelakuan Encik Mochtar, Wan Hamid --- suami siriknya, mirip sama saja, mereka adalah partner Misye dalam Usaha Garment patungan berbasis di Pekalongan.

 

Ia membutuhkan lelaki lain di pihaknya --- lelaki di seberang itu dari perawakan dan wajahnya memberikan kesan sosok yang tepat, tetapi siang ini Misye kecewa dengan gaya lelaki itu --- ia masih berbaju koko. Memangku tas punggung, dan di bawah lututnya tergeletak kopor tanggung.

 

Apakah ia pedagang kecil, pikir Misye.

 

Tanpa sadar, Misye kini beralih ke masalah usaha garmentnya di Pusat Industri Kecil di Penggilingan --- ia butuhkan seorang lelaki pula untuk mengawasi perusahaannya itu --- ia rada panik menghadapi gejolak harga BBM, sementara ia akan berangkat ke Malaysia untuk menyelesaikan masalah yang lebih besar. Beberapa bukti pemilikan asset dan SHM propertinya dilarikan suaminya, orang Malaysia itu.

 

Lelaki yang kini duduk diagonal jaraknyadengan Misye mencoba memejamkan matanya --- terbayang perempuan yang memakai katamata itu --- kini kacamata dilepasnya, mata itu memancarkan aura yang redup, perempuan itu dibebani masalah berat --- sayang syal itu membelit lehernya, kulit wajah perempuan itu putih bersih seperti kemarin, kulit tangan dan kakinya, kukunya pun bersih terawat.

 

Lelaki itu membayangkan, leher perempuan itu juga tentunya berkulit putih.

 

Perempuan itu melintas untuk turun lagi di halte Jatinegara II, Ibnu Rushdi ingin berjumpa lagi lain kali dengan perempuan yang sama itu.

[MWA} (Cermin Haiku – 27)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun