Mohon tunggu...
Muhammad Wislan Arif
Muhammad Wislan Arif Mohon Tunggu... profesional -

Hobi membaca, menulis dan traveling. Membanggakan Sejarah Bangsa. Mengembangkan Kesadaran Nasional untuk Kejayaan Republik Indonesia, di mana Anak-Cucu-Cicit-Canggah hidup bersama dalam Negara yang Adil dan Makmur --- Tata Tentram Kerta Raharja, Gemah Ripah Loh Jinawi. Merdeka !

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Damar Kurung meramalkan Prenjak Manggung (Novel 03/09)

7 Januari 2012   00:05 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:14 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

(1)

Setelah mbok Atun berbuka puasa Kamis senja itu, ia membakar setanggi kemenyan putih, malam Jumat Kliwon 12 bulan Jawa --- saat demikian terasa seluruh rumah besar joglo itu khidmat dalam suasana magis. Para emban telah membakar dupa di banyak tempat.

Adipati Wiro Branjangan telah 24 hari berangkat ke Kadipaten Gebang di Kesultanan Cirebon. Kapal Jung utusan yang akan membawa Tunting Wulandari ke pelabuhan Gebang telah 3 hari berlabuh --- mereka menantikan Sang Adipati pulang, untuk memastikan bertolak kembali ke pelabuhan Gebang.

Di salah satu pojok ruang tengah damar kurung berputar, pantulan cahaya sorot berputar-putar berwarna-warni, sangat indah berkelap-kelip menggambarkan hiruk-pikuk nasib alam kehidupan manusia. Ada gelap ada mendung. Berputat-putar bergelombang, terkadang kuning ke-emasan, ada kalanya merah merona, hijau tentram penuh kemakmuran, biru yang kelam yang langgeng-pupus-blengsatan, tiba lagi putih cerah ceria sepertinya manusia harus menerima takdirnya …………………..

mBok atun bernyanyikan tembang macapat --- yang berganti irama begitu damar kurung berhenti, dan gambar tersorot ke gebyok sisi Lor. Ia melanjutkan dengan sikap semadhi.

 

Berkali-kali bersikap begitu --- menembang, merefleksikan, kembali hening-heneng. Hanya Tunting dalam diamnya bersimpuh atau bersila, hatinya berbunga memandangi indahnya perputaran damar kurung dan gambaran nasib yang bergonta-ganti di persada dinding --- kalau diikuti dengan lirikan, gambaran itu makin jauh makin membesar, lantas redup digantikan warna dan gambaran nasib berikutnya.

“Tunting,  ‘prenjak manggung’  memang gambaran jelas dan nyata --- jung kencana telah berlabuh --- adanya ‘mega mendung’ di biru langit tafsirnya Sang Adipati menghadapi kebimbangan --- damar kurung berhenti pada ‘begal nyusul pendopo’ berwarna merah, diikuti kembali gambaran biru ‘kuda sembrani madah kelana’ ………………. Bagus  Tunting, sepertinya kamu akan tiba di Negeri yang jauh, anak-ku.  Tabah, tegar  --- ada 2 cundrik mengiringimu,  satu berhulu gading dari Ratu Siem, yang satunya ‘paku Ong Tin’ --- kedua senjata ini bukan untuk  melukai --- itu ‘piyandel’, senjata andalanmu adalah lambe manis dan garba saresmi”

Mbok Atun dan Tunting khidmat berdoa ke Hadirat yang Maha Kuasa --- sementara itu  aroma dupa setanggi masih membaui seantero Joglo Sinom Apitan.

 

(2)

Rudolfo tampak serius berbincang di gazebo di utara halaman rumah panggungnya --- yang datang itu adalah utusan Woutter Walhoff  membicarakan tentang Legiun Afrika yang akan dibentuk baru  untuk memperkuat pertahanan Hndia Belanda dan menumpas binnenlandsche vijend  (musuh dari dalam negeri).

Untuk kedua kalinya Rudolfo mendapat tawaran untuk masuk teken soldad di dalam Oost Indische Leger.  Ia bimbang, tidak menjanjikan apa-apa. Ia menyatakan akan ke Pulau Penang dulu setelah habis kontraknya dengan perkebunan Kandy di Pulau Ceylon.

Tawaran gaji besar dan kenaikan pangkat dua tingkat menggoda hati Rudolfo --- pengalaman  4 bulan mengurus perkebunan dengan buruh anak Negeri Timur telah memperkaya tekadnya untuk  tetap akan meninggalkan dunia militer.

 Rudolfo Moravia menghadiri pesta malam tahun baru 1872 di Society Perkebunan Ratnapura, karena rindu pada suasana Eropa --- yang telah ditinggalkannya lebih kurang 6 bulan. Ia ke Ratnapura juga untuk memperbincangkan rencana perjalanannya dengan Mr. Brant.

“Brant, akhir Februari aku tidak memperpanjang kontrak, sesuai dengan rencana, aku akan berlayar ke Pulau Penang --- syukur kalau bisa kamu memberikan referensi agar aku dapat bekerja di perusahaan dagang Inggris

Brant hanya berdiam diri sambil menggenggam gelas brandynya. Terdengar pula suara Rudolfo melanjutkan, “Bagaimana prosedurnya apabila aku membawa Karsiyem ikut serta ?”

Terperanjat Brant, dia tidak menyangka akan mendengar pertanyaan yang menyangkut Karsiyem,

“Wah, agak repot itu kawan, biar pun Karsiyem tergolong orang merdeka --- dia tetap dibebaskan dari pasar budak di Muskat dengan uang perusahaan --- mungkin you harus membayar ganti rugi --- nanti saya bicarakan dengan Mr.  Galestines “

“Mengapa sampai engkau harus membawanya pergi --- kamu menyintainya ?

Rudolfo menggelengkan kepalanya.

“Aku ingin mengembalikan hidupnya di desanya di Jawa “

Beberapa hari kemudian Rudolfo Moravia mendapatkan surat Mr. Galestines --- bahwa ganti rugi untuk Karsiyem senilai 120 tail 10 uang emas. Tidak ada cara lain, Rudolfo harus ke Colombo untuk menghubungi Agen Hindia Belanda di Madras --- untuk meminta panjar teken soldadu.

                                     

Di suatu senja ketika Rudolfo memangku Karsiyem dalam permainan cinta --- yang dikatakan Karsiyem ’ketek momong’ berkali-kali mereka mendapatkan sesi jeda --- setelah Karsiyem mencapai orgasme.

“Bulan Maret kita akan berlayar ke Pulau Penang --- kita kira-kira sampai Oktober 1872 di sana --- aku akan bekerja untuk Inggris dan Belanda.  Sebelum akhir tahun kamu akan sampai di Bagelen. Basis Legiun Afrika juga berada di daerah itu”

Rupanya itulah kebahagiaan Karsiyem, ia bisa mencapai multi-orgasme --- sementara Rudolfo dapat jeda memperpanjang kenikmatan.  Rudolfo menyenangi gaya ‘ketek momong’, begitupun Karsiyem.

 

Karsiyem tersenyum dalam pelukan Rudolfo, ia merapatkan wajahnya di dada Rudolfo --- ia menjilati puting  di dada kekasihnya itu --- lantas ia sembunyikan hidung dan wajahnya di ketiak Rudolfo, Rudolfo  merasakan kenyaman ketika Karsiyem mengecupi pinggiran ketiaknya sampai ke pinggang --- dan perempuan itu  menyentuh paha dan penisnya yang mulai layu.

 

“Tuan, aku bersedia mengikut  tuan ke mana pun !”.

“Tuan, aku merasa merdeka mengabdi pada tuan --- aku cukup melihat sejenak kuburan bapak di Mengkowo --- lantas  mencium mboke kalau masih hidup.  Cukuplah kalau dia telah berjumpa lagi dengan anaknya ………….. koeli kontrak Soeriname yang ternyata masih hidup.”

[MWA] (Damar Kurung Nyai Moravia --- novel; bersambung )

[caption id="attachment_154627" align="alignnone" width="614" caption="cucu 01"][/caption]

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun