Mohon tunggu...
Muhammad Wislan Arif
Muhammad Wislan Arif Mohon Tunggu... profesional -

Hobi membaca, menulis dan traveling. Membanggakan Sejarah Bangsa. Mengembangkan Kesadaran Nasional untuk Kejayaan Republik Indonesia, di mana Anak-Cucu-Cicit-Canggah hidup bersama dalam Negara yang Adil dan Makmur --- Tata Tentram Kerta Raharja, Gemah Ripah Loh Jinawi. Merdeka !

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Nyonya Ratri menyimak keluhan lansia Ramina (Novel 02/26)

6 Januari 2012   10:20 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:15 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_154633" align="aligncenter" width="614" caption="cucu 01"][/caption]

 

 

Sudah beberapa hari ini Ramina  di rumah Ratri di Simprug, ia ditugasi mempersiapkan menu makan malam untuk acara menutup tahun 2011 --- sementara Ratri masih sibuk mengurus evaluasi proyek Taman Budayanya, juga terlihat beberapa hari yang lalu pemilik pabrik jamu dari Cilacap dan yang dari Wonogiri pun, bergantian melakukan diskusi dengan Ratri dan Markus, tampak pula Nyonya Tris di sana.

Sore hari kedua sahabat itu tampak ceria duduk di beranda --- Ramina telah mengatur jaburan sore itu, mereka menikmati pisang kepok panggang ala Semarangan. Seolah-olah mereka ingin memutar kembali keceriaan masa remaja mereka di jaman SMA. Kenangan SMA mereka di kota Semarang, penuh petualangan dan keceriaan.

“Ram aku bersimpati terhadap masalahmu di hari tua ini --- tetapi aku menyarankan tegarlah, calonmu --- yang masih suami orang itu, adalah virus yang akan lebih mengacaukan hidupmu yang seharusnya tentram engkau nikmati.  Jangan ambil resiko, yang harusnya setiap saat harus kita nikmati – aku bisa merasakan masalah yang kau hadapi.  Tetapi coba kudengar apa alas an engkau ingin bersuami lagi ?

Ramina meremas kedua tapak tangannya, ia mempermainkan jemari-jemarinya --- mereka saling memandang, dan tersenyum.

“Rat, aku pikir apa yang kualami, juga menjadi alasanmu mengapa kamu akan kawin lagi --- memang bagimu perkawinan kali kedua --- sedang bagiku kawin kali kelima.  Rat, kamu tidak sesepi hidupku, kamu mempunyai anak-cucu. Aku……………. ? Tampak Ramina melenguh pelan.

 

“Rat, aku merasa sangat kesepian dan sangat takut menghadapi hari tuaku --- syukur aku merasa selalu sehat-sehat saja --- kalau melihat kawan, kerabat seumur kita. Mengerikan sekali, sakit-sakitan dalam kesepian.”

Kedua wanita itu saling memandang simpati --- dalam sekali tekanan emosi yang dirasakan mereka masing-masing, Memang kedua wanita itu  mempunyai latar yang berbeda pada saat ini.

“Rat, pahit sekali kurasa belakangan ini, di rumahku yang sepi bila restoran telah ditutup --- yang kuharapkan hanya satu --- panggilan teleponnya. Aku selalu terlena sekejap.”

“Rat, aku selalu kesepian, aku membutuhkan kehangatan seksuil --- aku membutuhkan lelaki, Rat.  Aku masih seperti kamu Rat, masih membutuhkan belaian lelaki !”

Ratri hanya mendengarkan --- mereka saling melemparkan senyum.

“Rat, aku sedih sekali bila, bila aku,  ada merasakan sesuatu yang sakit dan nyeri…………  entah pening entah sakit perut, tidak ada seorang pun yang menyapa atau menanyakan --- tidak usahlah lebih, aku hanya membutuhkan orang yang bertanya berempati.”

“Rat, aku tidak mempunyai kawan berunding --- memang ada anak-anak pembantu, apa daya mereka mengisi kegamanganku, apalagi aku memerlukan kawan berunding menghadapi masalah keluarga --- dengan kakak atau adik-adik-ku, masalah ke depan apa yang harus dipersiapkan, Ya memang aku selalu berdoa, aku sholat sebisa-bisaku.  Aku turut mengaji dan kegiatan kemasyarakatan --- tetapi semuanya kembali pada aku dan tuhan,  Tetapi aku tidak menyerah pada nasib semata --- aku ingin menata kehidupan masa depan sepertimu “.

Ratri menarik nafas dalam, bersimpati atas masalah yang dihadapi sahabatnya --- ia merasa beruntung dapat bertemu kembali dengan sahabatnya ini --- ia ingin berbagi, ia dapat merasakan apa yang dikemukakan Ramina.

“Ram, aku tetap menyarankan lepaskan suami orang itu --- itu akan membebanimu saja. Ram beberapa hari ini kamu kan aku beri bahan bacaan, entah sampai otakmu apa enggak, aku tidak mau tahu………………… “ Ramina hanya mengangguk saja.

“Dua proyek itu permainan masa tua-ku, aku tidak mau menyerah menjadi nenek-nenek yang lesu dan merengek-rengek --- kamu bisa bersamaku          bermain-main --- ada firman Allah  berkali-kali dalam al-Qur’an, ‘………….. Dunia adalah tempat bermain dan bersenda gurauan, tetapi yang lebih baik adalah Akhirat’ --- Allah Maha Pengampun, mari kita bertobat, paling tidak secara bertahap,  kamu bisa bersama aku.”

Kemudian Ratri mengajak mendiskusikan kedua proyeknya --- proyek Taman Budaya dan proyek Pabrik Jamu di Wonogiri.  Ratri ingin mengukur minat dan kesiapan mental Ramina untuk menjalankan tugas di salah satu bidang di proyek itu.

“Ram, sepulang dari Jakarta, kamu boleh pulang ke Purwakarta --- tetapi ada tugasmu kalau berminat dalam proyek Taman Budaya, yakni mengusut ahli waris pemilik Wayang Wong ‘Sri Wijoyo’ di Semarang. Kamu ingat panggung wayang wong itu ?   Dulu mereka mentas di jalan Kartini,  dekat Pasar Dargo, W.O. itu telah lama mati --- aku mau  gunakan nama Sri Wijaya untuk grup wayang wong kita --- aku juga akan cari anak pemiliknya yang di Jakarta. “

 

“Ram, kalau kamu sibuk dan harus mempertanggungjawabkan pekerjaanmu, kamu tidak akan merasa sepi dan kesepian --- pasanganmu bisa kamu temukan dalam organisasi perusahaan –ku --- aku banyak mempunyai bujangan pematung replika arca-arca, ada juga pelatih tari. Kamu akan sibuk nanti --- kamu juga kalau berminat menjadi pemain wayang wong, bagus juga --- aku merencanakan, aku akan ikut main dalam grup itu”

 

“Rat, kamu memang kaya segalanya ---kaya gagasan,  kaya sekali kamu,  aku juga mau jadi pemain wayang wong ………………….. lantas calon suami yang kamu sediakan, sebangsa brondong begitu ?”

Mereka saling cubit  dan berpelukan --- mereka sebagai wanita, sebagai lansia juga mempunyai perasaan yang lebih kurang sama.  Takut pada kesepian hidup.

Biasa mereka --- mandi berdua bersama, bila Markus tidak ada di sana ---berceloteh dan bermain gelembung busa,  persis kehidupan masa remaja mereka dulu.  Mereka adalah dua sahabat yang bisa saling berbagi. Berbagi mensirnakan ketakutan dan kekuatiran kehilangan segala kebanggaan di dalam kehidupan --- hilang satu per satu, hilang diam-diam, hilang dan menghilang menjadi buyar.  Mereka akan menemukan syukur di antara keruntuhan psikologis itu, bila mereka saling berbagi dan mengisi……………

 

[MWA] (Nyonya Ratri – novel; bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun