Mohon tunggu...
Muhammad Wislan Arif
Muhammad Wislan Arif Mohon Tunggu... profesional -

Hobi membaca, menulis dan traveling. Membanggakan Sejarah Bangsa. Mengembangkan Kesadaran Nasional untuk Kejayaan Republik Indonesia, di mana Anak-Cucu-Cicit-Canggah hidup bersama dalam Negara yang Adil dan Makmur --- Tata Tentram Kerta Raharja, Gemah Ripah Loh Jinawi. Merdeka !

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kuliner Nyonya Ratri di Musim Kemarau [Minicerpen -89 Novelet 02/16]

23 September 2011   13:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:41 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

[caption id="attachment_132867" align="aligncenter" width="298" caption="Nyonya Ratri membahagiakan Sahabatnya dengan berbagai Hadiah dan Kenangan. Bagi Ramina yang paling mengesankan adalah sebotol Parfum yang sangat Eksotik Aromanya."][/caption]

Rencana Ramina, Sang Sahabat akan pulang ke Purwakarta besok --- rencananya memang hanya 4 hari di Jakarta.  Tadi malam Ratri tidur di apartemennya.

 

Setelah makan malam bertiga dengan Markus di Restoran Domba Afrika --- wah, perut Ramina terasa penuh kekenyangan. Ia kuatir berat badannya akan melar mengikuti cara Nyonya Ratri berkelana kuliner.

 

Pagi ini Ramina mencoba mempraktekkan Meditasi dan Yoga cara Ratri --- ia yakin gaya hidup sahabatnya itu boleh ditiru. Badan Ratri tetap sintal di usia sebayanya. Kemarin ia teringat, sengaja mencubit pantat Ratri sebelum ia memasuki mobil bersama Markus.

 

Ramina ingin menggodanya ; “Sate Afrika panas --- langsung pulang berdua ke apartemen” .  Ratri dan Markus  tertawa-tawa. Dan mobil pun lenyap meninggalkan Jalan Martimbang.

 

Tadi malam dan sampai pagi ini Ramina membayangkan betapa kaya kasih sayang kehidupan Ratri --- sejak remaja sampai kini di harituanya.

 

Ramina merebahkan dirinya di sofa , meraih setumpuk buku yang dibelikan Ratri. “alangkah kayanya Ratri”, batin Ramina membayangkan sepanjang hari kemarin mereka berbelanja --- dari pakaian casual, sepatu dan sandal, juga baju muslim gaya Kaftan, yang lagi in.

 

Makan pagi di restoran Cina hidangan Dimsum --- disela pula di Pondok Indah Mall menikmati  es krim, lantas mereka ke Toko Busana Muslim --- memang sudah agak siang menjelang petang mereka tiba di restoran kuliner Afrika itu. Konon makanan kesenangan Markus.

 

“Oh, Markus” cetus hati Ramina.   Ia membayangkan apakah ia masih mempunyai kesempatan bercinta-cintaan dengan Brondong --- seperti Ratri. Ia menarik dalam-dalam nafasnya --- dan dihembuskan dengan halus sambil membayangkan kesehatan sistem pernafasannya.  Memang ajaran Ratri kaya gagasan dan ide.  Ya Ratri kaya segalanya, pikir Ramina.

 

Di sampul belakang novel itu tertulis dengan huruf warna merah, “Betulkah Perkawinan merupakan Prestasi terbesar bagi Seorang Wanita ?”. Terasa beratnafas Ramina --- ia rasa tercekik pada kata-kata ‘perkawinan’.  Ya, perkawinan, kata hatinya.

 

Telepon berbunyi.

 

“Ya Rat “ ……………………Ramina mendengarkan kalimat panjang Ratri bercerita tentang bangun pagi, berenang, berjemur, makan pagi berdua dengan Markus.  Semua intonasi dengan irama yang ceria, dan diselingi tertawa-tawa kecil  Persis sikap laku seorang pengantin baru.

 

“Asyik tadi malam, ber-malam pengantin dengan Markus ?”.

 “Ke situ lagi “

“Enggak, kedengarannya suara dan irama hatimu menyanyi terus --- riang gembira, bahagia.  Bersyukurlah kamu Ratri” . Ramai lantas perbincangan mereka --- terutama rancangan acara hari terakhir Ramina di Jakarta.

 

Iseng Ramina menarik sampul foto di antara album foto proyek Taman Budaya --- ternyata foto Markus bertelanjang , sebatas rambut pubisnya.  Dadanya sedikit meremang bulu halus.  Ya, Ratri memang senang pose macho --- apalagi itu tubuh Sang Kekasih.

 

Ramina tersenyum --- tadi Ratri mengatakan akan membawa kuliner Sumatera Barat untuk makan  siang mereka. Lantas Es krim yang mereka beli kemarin akan disantap “gaya Medan” --- apa lagi ono-ono wae si Ratri Es Krim Medan, pikir  Ramina.  Ia melanjutkan membaca  kulit buku novel itu ………..

 

“Pada hari ulang tahunnya yang keempat puluh. Madame Wu memutuskan untuk melepaskan  diri dari kewajiban melayani suaminya. Sekarang dia hanya akan mencari kepuasan jiwa saja. Dia akan membeli seorang gundik untuk melayani kebutuhan suaminya………………”

Tercenung mental Ramina, ia mengawang-awang memandang plafond --- ada isteri Orang Cina baru berumur 40 tahun --- telah bosan melayani suami --- memang pada paragraph sebelumnya berbunyi : “……….Sesuai dengan adat Cina, Madame Wu menikah dengan laki-laki pilihan Orangtuanya. Mereka dikaruniai empat orang putra.. Dalam rumah suaminya yang kaya-raya itu. Madame Wu menjalankan tugas-tugasnya sebagai seorang istri dan ibu. Dia adalah istri yang sempurna dalam segla hal…………”

Ramina merenungkan kedua paragraph itu --- nasibnya memang kurang beruntung.  Bahkan dalam hidup ini salah satu yang disesalinya, “mengapa ia tidak dikaruniai anak ?”. Ia ingat pesan Ratri --- tidak boleh melakukan monolog, apalagi menyesali.

 

Ia kembali melakukan meditasi ala Ratri.  Ia minta ampun tidak akan menyesali nasib sialnya itu --- kini memang ia tidak mungkin lagi hamil, ia telah menopause --- Cuma pertemuannya kembali dengan Ratri --- memberikan pencerahan baru.  Di hari tua ia harus tetap bahagia.

 

Ia mencari kebahagiaan --- “Madame Wu mencari kepuasan jiwa --- apa pula itu ?” .  Bahkan Nyonya Ratri di umurnya yang jauh melebihi Madame Wu masih menikmati “kepuasan Seks” .   Oh, Ratri.

 

 

Buku novel itu diletakkan lagi di meja kecil di samping sofa --- “aku akan mendiskusikan kalimat pengantar di kulit buku novel ini dengan Ratri”

 

Ramina memandang ke sisi kirinya dibidang dinding itu ada “hanging scroll” lukisan gaya Cina --- Early Spring, oleh Kuo Hsi.  Ramina tidak mengerti apapun mengenai lukisan --- tetapi ia yakini Ratri adalah wanita yang kaya gagasan dan mempunyai kecerdasan Estetika.

 

Nyonya Ratri memang seorang wanita kaya --- kaya harta, kaya kasih, kaya cinta, kaya gagasan --- ia menikmati hidupnya dalam kesehatan dan rasa syukur. Jalan hidupnya memang belum berakhir.  “Kapan tobatmu Rat ?” , pikir Ramina.

 

“Jalan hidup manusia berbeda-beda --- berakhirnya pun berbeda-beda --- hanya Orang Islam ingin mencapai Khusnul Khotimah “ , Ramina ingat itu pelajaran Agama Islam di SMA dulu.  Ia ingin mendiskusikan hal itu pula dengan Ratri.

 

“Alangkah hebatnya Ratri --- di dalam hidupnya yang gemerlap, penuh dengan ‘cinta terlarang’ --- ia masih ingat ‘agar Markus belajar mendalami Islam sebelum mereka menikah’ --- Ratri berarti, engkau ‘mendirikan Masjid’, Rat”.   Ramina melihat jam.  Tidak berapa lama lamat-lamat terdengar irama denting dan pukulan jam besar dari ruang Museum Pak Mul.

 

Nyonya Ratri akan datang dengan membawa kuliner Sumatera Barat yang lezat untuk makan siang mereka --- lantas menikmati Es Krim gaya Medan.  “Ratri, kamu memang kaya rasa, Rat”.

 

Ramina tidak sabar menantikan kedatangan Ratri dan Markus --- ia ingin menyaksikan pancaran kebahagiaan Orang yang sedang dimabok cinta.  Ratri dan Markus.   Ada rasa iri di hati  Ramina……………….

“Mungkin pamor mereka akan memancarkan aura pengantin baru”, pikir Ramina.

 

“Alangkah nikmatnya --- Es Krim gaya Medan itu, nanti ”, pikir Ramina setelah ia menyadari betapa panasnya Jakarta, begitu ia mencilakkan vitrase gordyn ruang perpustakaan Ny. Ratri.

 

“Ratri oh Ratri !” . [MWA]   (Bersambung Novel 02/17)

*)Foto ilutrasi ex Internet

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun