[caption id="attachment_132770" align="aligncenter" width="620" caption="Pemimpin Indonesia Kontemporer hanya Menyia-nyia-kan Sumber Daya dan Potensi Bangsa ini !"][/caption]
Tahun 1950-an Distribusi Garam Rakyat kiranya telah tertata rapi --- pikiran kotor para Birokrat saja yang membuat potensi Rakyat menjadi terkerdilkan. Garam adalah mineral vital bagi manusia --- di seluruh dunia. Mengapa potensi Rakyat itu terpinggirkan ?
Perdagangan garam telah ada sejak jaman beheula --- katakanlah di Sumatera pesisir Timur (Oost Koost pada administrasi Kolonial), yang akan menjadi setting tulisan ini. Jaringan Perdagangan Garam dari Pantai Pesisir Timur Pulau Sumatera, diangkut ke Pedalaman sampai ke pantai Pesisir Barat Sumatera. Alat pengangkutan di Abad XVII - XIX adalah kuda beban --- kafilah itu mengikuti jalan tikus yang makin menanjak --- dari pesisir yang landai sampai ke pegunungan di Mandailing.
Adalah Keluarga Nasution di Jaman itu yang menguasai Logistik dan Distribusi garam --- Garam adalah mata dagangan yang vital. Sebagai kargo perdagangan dari pedalaman ke Pesisir Timur, adalah hasil hutan dan pertanian-perkebunan Rakyat.
Pertumbuhan Onderneming Kolonial di Sumatera Timur (penghujung Abad XIX), pelan-pelan tetapi pasti merombak pola perdagangan dan distribusi garam --- pembangunan jalan raya dari Sumatera Timur, pusat pertumbuhan Perkebunan ke Selatan dan Utara Sumatera --- merombak migrasi penduduk Nusantara (konon Prof Mohammad Ali, pernah mengajukan studinya, bahwa Kebangkitan Nasional sebenarnya dimulai dengan asimilasi dan pembakuan “rasa senasib sebagai bangsa” adalah di Sumatera Timur, pada tahun-tahun 1800-an akhir --- Budi Oetomo adalah dalam bentuk organisasi politisnya, 1908). Begitu pula jaringan logistik dan distribusi garam.
Setelah Kemerdekaan, Propinsi Sumatera adalah Modal utama Republik ini --- Sumatera Timur penyumbang Devisa Terbesar dari hasil pekebunan, kehutanan dan pertambangan. Tetapi Garam tetap harus didatangkan dari luar daerah. Garam dari Pulau Madura !
Kotapraja Medan dengan Pelabuhan Belawannya, adalah daya tarik dalam khazanak perekonomian Indonesia, penduduknya bangga atas kemakmuran dan pertumbuhan setelah Indonesia Merdeka --- kami anak-anak hanya mengenal Belawan sebagai pelabuhan yang ramai untuk ekspor dan impor --- serta keberangkatan Jemaah Haji dari sebagian Pulau Sumatera.
Keluarga kami dari suku Melayu Karo, Haji Abdullah, menjual kebunnya di Kota Maksum Medan --- ia berganti profesi menjadi Nelayan di Belawan. Rumahnya berada sangat dekat dengan Gudang Garam dan Pelabuhan Garam. Itulah yang memasukkan ‘item garam’ ke dalam memori yang sangat indah. Bukan sekedar asinnya garam tetapi garam sebagai komoditi dalam mata rantai logistik nasional.
Itu tahun 1950-an.
Ada 3 kapal garam yang secara reguler berlabuh di Pelabuhan Garam itu --- membongkar muatannya ke gudang untuk beberapa hari. Anak Buah kapal itu --- dari Kaptennya sampai semua pangkat yang terendah dari kapal garam yang berlabuh, selalu menjadi tamu terhormat dari keluarga Haji Abdullah. Mereka menjadi bahagian keramahan dan kekeluargaan yang akrab. Begitu pula sebaliknya keluarga Haji Abdullah selalu menjadikan Kapal Garam sebagai tempat pesiar. Alangkah indahnya hidup di kapal yang besar (tonnase ?), pelabuhan garam itu kira-kira 200 meter panjangnya --- kapal itu bersih, baru, dan makanan di sana enak-enak --- makmur !
Kapal garam itu bernama , Giligenteng (tentu MV), MV Gilimanuk, dan MV Kalianget. Hore, kami selalu menjadi tamu yang terhormat di sana. Kenangan yang sangat indah. Kami selalu mencocokkan jadwal kedatangan kapal garam, Sabtu dan Minggu kami menginap di rumah Haji Abdullah --- memancing ikan bersampan-sampan, atau cukup memancing ikan di Pelabuhan Garam, dan ………kalau kapal Garam yang mana saja berlabuh, berarti kami bisa turut menikmati kemakmuran di kapal garam.
Tahun 2011 tersentak --- bukan saja tersentak dengan berbagai kebobrokan dan kemunduran Budaya Kinerja bangsa ini, kali ini rasa asin yang berpuluh tahun tidak disadari, mengusik kesadaran --- bahwa Garam adalah item impor Indonesia, sudahlah mencukupi kebutuhan dengan mengimpor --- bodohnya lagi, bangsa ini --- impor dan penyelundupan garam itu menghancurkan pula pendapatan dan produktivitas petani Indonesia.
Sedih, gundah dan malu --- sebagai Rakyat yang memiliki Wilayah berpantai terpanjang, lautan yang luas, petani yang rajin dan sabar --- mengapa mendapatkan Pemimpin yang tidak cerdas ? Birokrasi yang berpikiran culas --- pengusaha yang manipulatif ?
Mengapa ?
He Pemimpin, jadikan Garam sektor produktif untuk meningkatkan pendapatan Rakyat Petani. Petani Garam Indonesia harus menjadi tulang punggung “ outward-linkage” perindustrian Indonesia, konsumsi garam Negara Indonesia harus dicukupi oleh Petani Indonesia.
Kamu harus malu --- masa Garam harus di-impor dari Australia, India, Cina, atau dari mana pun. Masa Pemimpin dan Birokrasi Indonesia tidak bisa me-manage per-Garaman dari Perencanaan sampai Pengendalian ?
Dalam 5 tahun ini Rencanakan dan Kendalikan bahwa, Petani Indonesia mampu menyediakan Garam bagi konsumsi dan Industrial Indonesia --- kalau betul ada program investasi per-garaman di NTT, libatkan Rakyat Petani --- agar mereka juga tertolong dari kemiskinan dan ancaman kelaparan.
Huh, pantas Negeri ini terseok-seok --- garam hanya ditelan, dicemplungkan dalam proses industrialisasi --- tetapi tidak disadari potensinya.
Pikiran manipulatif dan ‘keuntungan rente’ saja yang dipunguti. Hanya itu !
Orang Romawi sampai membuat ‘kata-kata bijak sebagai berikut : “Cum grano Salis, dengan sebutir garam --- maksudnya, Sedikit Berhati-hatilah !”
Tragis memang Bangsa ini, ini pepatah warisan Leluhur : “Garam tumpah Apatah tempatnya ? --- Kematian Rakyat Miskin dan/atau Hina, tidaklah menjadi perhatian bagi Pemimpin-pemimpin yang Bebal “ [MWA]
*)Grafis ilustrasi ex Internet
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H