Mohon tunggu...
Muhammad Wislan Arif
Muhammad Wislan Arif Mohon Tunggu... profesional -

Hobi membaca, menulis dan traveling. Membanggakan Sejarah Bangsa. Mengembangkan Kesadaran Nasional untuk Kejayaan Republik Indonesia, di mana Anak-Cucu-Cicit-Canggah hidup bersama dalam Negara yang Adil dan Makmur --- Tata Tentram Kerta Raharja, Gemah Ripah Loh Jinawi. Merdeka !

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Planet Kemiskinan (18) Pensiunan Memilih Mati Sufi

24 Agustus 2010   11:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:45 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Tahun ini ia benar-benar menjadi orang miskin --- Koran-koran, karton apa saja telah ia jual untuk makan, sarung, baju takwa, apa saja telah dijualnya ---- dulu ia masih bisa tutup lobang gali lobang.  Kini ia benar-benar menjadi orang miskin --- setelah mengambil uang pensiun ia lunasi seluruh utangnya


Tetapi mengapa tempat ia berutang itu begitu cepat pulang kampung  ? Di mana lagi ia harus berutang, tidak satu pun orang yang akan percaya kepada orang tua renta ,  berumur 82 tahun. Tetangga sekitarnya adalah para pemulung dan pengemis. Sisa-sisa obat dari klinik telah terjual --- sekarang klinik pun tidak bisa lagi memberi obat yang cukup seperti dulu ---  ia merasa rugi di ongkos kalau ke klink tempat ia bekerja dulu --- ia sudah letih dan ingin menyerah --- ia tidak takut terhadap penyakit.


Ia tidak mau menjadi pengemis --- biarlah ia mati saja, doanya.  Ia sudah puas hidup, dan ia kini sebatang kara --- ia tidak membutuhkan orang lain menangisi kematiannya


Azan Zuhur sayup -sayup berakhir .........Hayya Alal Falaaah .

Assalamu alaikum (suara itu tegas dan jelas) --- Alaikumussalam (jawabnya lirih). Ia terbang melayang jauh, jauh jauh ---------kain ihramnya berkibar-kibar.  Ia tidak pernah melihat ke arah bumi lagi.  Horizon langit bendrang berkilau tidak menyilaukan tetapi teduh.  Haji Abdul Karim meninggalkan duniawi . Allahu Akbar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun