Mohon tunggu...
Muhammad Wislan Arif
Muhammad Wislan Arif Mohon Tunggu... profesional -

Hobi membaca, menulis dan traveling. Membanggakan Sejarah Bangsa. Mengembangkan Kesadaran Nasional untuk Kejayaan Republik Indonesia, di mana Anak-Cucu-Cicit-Canggah hidup bersama dalam Negara yang Adil dan Makmur --- Tata Tentram Kerta Raharja, Gemah Ripah Loh Jinawi. Merdeka !

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Mini Cerpen (44) Bajouri Altramfen di-Eksekusi 1949 (Kisah Cinta Trilogi 2/3)

19 Agustus 2010   23:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:52 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Telegram Albertina kepada Djauharsyah ; “ harry datang ke Jkarta – aku akan pulang ke Medn menjelang puasa, ziarahi mami-papi.Albertina Bajouri” . Telegram tertanggal 23 Februari 1966.

 

Albertina menjeput Djauharsyah di Stasiun Gambir --- dengan Fiat 125 , mereka lantas pulang ke rumah Albertina di Jalan Teuku Umar.Djauhar ditempatkan di pavilyun yang warnanya sangat digemari Djauhar --- ruang tidur dengan warna pastel, lantas beranda tempat duduk-duduk dengan broken –white, bangunan besar juga dimainkan dengan dua warna yang dominan --- yang terkena bayang-bayang pepohonan dilabur dengan warna putih, sedang sisi yang terbuka, yang mungkin dipantuli cahaya matahari dicat dengan broken-white.Setelah mandi Djauhar menikmati suasana Menteng di pagi hari.

 

Djauhar mengenang studi-nya yang agak terbengkalai --- sementara Mas Kabul, sekretaris Pak Adam Malik menawarkan ia bekerja di Deparlu --- Pak Adam Malik sedang me-reorganisasi dan membersihkan Deparlu dari anasir BPI-Soebandrio.

Tawaran itu sangat menarik --- memang ia bercita-citamempunyai karier di Departemen Luar Negeri.Dalam hidupnya ada dua jalur nasib yang tidak jadi diraihnya, pertama ketika ia di Pulau Bengkalis, 1958 --- mendapat tawaran untuk mengikuti Advent School di Bandung, yang mana ia dijanjikan akan di sekolahkan lebih lanjut ke Australia atau Singapore. Tahun 1961 ia sebenarnya ingin mengincer Akademi Dinas Luar Negeri. Ia gagal memasuki ADLN --- karena di masa itu Indonesia masih sangat sulit hubungan kapal antara Belawan – Tanjung Priok. Ia terlambat. Deparlu menawarkan agar ia mengambil kuliah di Fakultas Hukum atau Fakultas Ekonomi --- belakang hari Deparlu memerlukan Sarjana jurusan itu. Itulah yang mengantarkannya kuliah di fakultas ekonomi.

 

“Har, enaknya kita makan siang di Regusa --- sate ayamnya enak, lantas minum es krim “Djauhar hanya tersenyum.

“Ingat kita berdua minum es krim di Jalan Kanton ?”Ganti Albertina tersenyum. Ia ingat itu --- ia tidak langsung pulang ke rumah, ia tidak mengikuti bus sepulang sekolah.Djauhar menunggu-nya di Kampung Keling, depan toko potretsebagaimana dijanjikan --- lantas mereka naik becake Jalan Kanton.

“Apakah itu cinta monyet ?”

“Enggak tahu gue”

“Lucu ya --- setelah itu kita tidak pernah duduk berdampingan begitu rapat ya “

“Di restoran es krim kita duduk berhadapan --- ingat ya, Harry menginjak sepatu putih-ku ?” Mereka saling memandang persis saat mereka menikmati es krem di Medan beberapa tahun yang lalu.

“Tahun berapa ya dulu itu ya”

“Tahun 1959 barangkali ya --- setelah nasionalisasi perkebunan

“Ya – ya !”Mereka tertawa sambil tetap bertatapan.

Dengan Fiat 125 mereka mengarah ke Mesjid Istiqlal --- parkir, memesan sate ayam dan memilih menu es krim.

“Lama sekali aku berniat menziarahi kuburan mami-papi, mami ‘kan meninggal tahun 64 bulan April, aku juga pulang ke Medan sewaktu mami sakit --- aku balik ke Belanda untuk atur-atur kepulangan ke Indonesia………. Mami wafat, aku pulang juga tetapi hanya menemukan pusaranya saja “Djauhar hanya mendengarkan dengan menatap wajah Albertina.

“Aku ingin pulang naik kapal --- kita ambil kelas satu, aku akan membawa sahabatku Reha --- nanti aku kenalkan. Anaknya cantik lho, you boleh naksir deh “Djauhar harus membalas dengan tertawa kecil dan tersenyum.

“Di kelas satu ‘kan untuk dua orang, Harry mungkin sendiri atau akan mendapat teman seperjalanan”

“’Ndak apa-apa.Saya juga ingin menziarahi makam ibu dan ayah”

“Almarhum ibu di mana dimakamkan ?”

“Di Pulo Brayan --- kalau ayah di Mesjid Perjuangan Jalan Muhammad Yamin, kawan-kawannya mengusulkan begitu --- para pejuang Jalan Serdang dan Gang Sado memang banyak yang dimakamkan di situ”

“Aku juga sangat rindu untuk menabur bunga di Sungai Ular --- papi-ku tidak mempunyai makam, jenazahnya dicincang Gurkha, kepalanya dipenggal, dan dibuang ke Sungai Ular”

“Bagaimana ceritanya itu ?” Djauhar antusias ingin mendengar kisah kematian papi si Albertina.Ada mendung di wajah Albertina.

 

Bajouri Altramfen adalah Asisten Perkebunan di Sawit Seberang --- ia memang Indo. Konon Nenek moyangnya adalah Orang Aden yang beristerikan Orang Belanda --- lantas mereka berdiam di Banten --- ketika ramai-ramai pembukaan onderneming di Sumatera Ooskust. Mereka pindah berdiam di Labuhan Deli.

“Jadi dari pihak papi, aku keturunan Orang Arab lawan orang Belanda --- papi cucu, keturunan generasi ketiga --- Namanya Bajouri Altramfen.Karena konon Oyang aku itu pelaut yang melayari beberapa pelabuhan --- ia belayar ke segala arah, pokoknya ke mana ada kargo --- dia o.k saja.--- itulah asal marga kami Altramfen --- cerita itu aku dapat dari Oma yang aku ikuti di Belanda “

 

Begitu Dai Nippon masuk dan menguasai Sumatera langsung meng-intenir Orang Belanda, Orang Indo, termasuk Asisten Kebun bernama Bajouri Altramfen.

Mereka di kumpulkan di Kamp Sibolangit.

“Papi menikahi mami tahun 1941, nama mami Tuminah --- gadis cantik dari Tandem Tanjung Beringin --- di lingkungan Orang Belanda kemudian mami diberi nama Magrette Tuminah --- di batu nisan tertulis demikian pula“

 

Kemudian diceritakan, bahwa Bajouri karena akrab bergaul dengan serdaduJepang, dia dipekerjakan sebagai petugas logistik pasukan Jepang, terutama sambil untuk mengawasi keamanan di perkebunan-perkebunan --- setelah pasukan Sekutu dan Nica masuk, Bajouri bergabung dengan beberapa serdadu Nippon menjadi pelatih Lasykar Rakyat, mereka desersi --- tahun 1949 Bajouri tertangkap --- dan bersama beberapa ekstremis pribumi dari Pasukan Hisbullahdi-eksikusi Gurkha di Sungai Ular.

 

“Dulu mami tidak pernah menceritakan nasib papi ini --- malah dulu katanya papi sedang pulang ke Belanda --- mami tidak turut di-internir, dulu mami ‘kan bekerja di Rumah Sakit Bangkatan Binjei --- aku juga lahir di rumah sakit itu. Sejak papi bergabung dengan para gerilyawan Indonesia --- papi tidak bisa lagi menemui mami “.

Papi di hutan-hutan, mami di daerah pendudukan, dan tetap bekerja di rumah sakit.

 

Magrette Tuminah setelah pengakuan Kedaulatan Indonesia pindah bekerja di Rumah Sakit Deli Mij di Medan.Dia bekerja sebagai Kepala Zuster.Dari hasil perkawinannya dengan Bajouri Altramfen ia mendapat dua orang anak.Silvy lahir tahun 1943 dan Albertina lahir tahun 1945.Sejak suaminya dipastikan telah meninggal --- ia tidak pernah menikah lagi.Kepastian kematian Bajouri Altramfen disaksikan oleh Guru Sahid yang turut di dalam truk pengangkutan tawanan dari Galang menuju desa Pulo Gambar.Di perjalanan ada beberapa lasykar mengamuk dan lompat melarikan diri --- tiga tewas tertembak sebagai Syuhada, hanya Guru Sahid yang selamat melarikan diri menembus hutan para di daerah Pulo Gambar. Dialah salah satu orang yang pada tahun 1953 memberikan kesaksian bahwa Bajouri Altramfen telah meninggal,dan dinyatakan sebagai Pahlawan - Legiun Veteran Republik Indonesia.

 

“Tahun 1964 adalah kali pertama aku menaburkan bunga dari tepi Sungai Ular di Pulo Gambar --- bungaaku taburkan dengan iringan Al Fatihaa, walaupun papi adalah pemeluk Kristen Protestan. Aku memohon Allah mengampuni dosa-dosanya --- Harry, Pulo Gambar benar-benar tempat yang sunyi senyap ……….tenang sahdu ………..dan permukaan air Sungai Ular di situ demikian tenang seperti permukaan kaca ……….itulah sebabnya desa di situ dinamakan Pulo Gambar. Kita akan berziarah lagi ke sana, ya”

 

Djauharsyah hanya terharu, termangu memandang wajah sahabat-kanak-kanak-nya yang mendung, dan kemudian menyeka sudut matanya yang meneteskan air mata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun