Mohon tunggu...
Muhammad Wislan Arif
Muhammad Wislan Arif Mohon Tunggu... profesional -

Hobi membaca, menulis dan traveling. Membanggakan Sejarah Bangsa. Mengembangkan Kesadaran Nasional untuk Kejayaan Republik Indonesia, di mana Anak-Cucu-Cicit-Canggah hidup bersama dalam Negara yang Adil dan Makmur --- Tata Tentram Kerta Raharja, Gemah Ripah Loh Jinawi. Merdeka !

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Epos Medan Kota Dollar (05) Migrasi ke Pulau Pinang

30 Juli 2010   14:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:26 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Setelah Pemberontakan Sunggal bulan Mei tahun 1872--- terbetik berita di bulan Juli 1902 pemerintah kolonial Belanda mencium adanya persiapan pemberontakan lain --- karena ketidak puasan masalah tanah garapan di Sumatera Timur. Tengku Temenggung Encik Mabar, Tengku Temenggung Tanjung pura, serta Datuk Angin Tanjung Morawa berusaha melindungi segenap handai taulan yang terlibat --- “Daulat Tuanku patik memohonkan ampun pare sanak keluarge puak orang Melayu, tidak kami bersedie menanggung dose, pabile Tuanku pule tidak berkenan melindungi segenap rakyat Melayu --- kite menyadari niat pemberontakan puak Melayu karene tidaklah puas di segenap kerabat Orang Melayu, Orang Karo, dan Orang Simalungun --- mengapatah tidak diperlindungi hak mereke untuk bercocok tanam seperti dahulu kale --- tanah Melayu ini telah digadaikan ke Belande --- adalah adil Paduke mengampuni mereke semuenye--- berilah ampun patik atas kelancangan ini Paduke “

 

Sultan Deli dengan seksama mendengarkan permohonan Tengku Temenggung yang sangat berpengaruh itu --- memang ia memahami bahwa kebijakannya memberikan lagi tanah untuk onderneming telah makin menciutkan tanah anak negeri --- kalaulah ia membenarkan Belanda kembali memadamkan pemberontak itu seperti cara memadamkan pemberontakan Sunggal --- alangkah lalimnya ia sebagai Raja Orang Melayu.

“Temenggung --- dapat bete pahami maksud andike, namun inginlah bete mendengar care ape yang bisa ditempuh --- beta tidak berkehendak Belande menumpahkan lagi darah anak Melayu…………tetapi kiranye haruslah terjadi mengurai rambut, namun tepung tiade terburai……..”

 

Maka diuraikanlah oleh Datuk Temenggung Mabar bagaimana memenangkan tuntutan rakyat petani itu --- tetapi pihak Belanda tidak boleh mengerahkan buruh Cina untuk digunakan  menumpas anasir pemberontak itu --- sejumlah orang yang menjadi pemimpin gerakan itu --- akan diberikan jalan untuk bertolak berpindah ke Semananjung Melayu. Kiranya ini juga adalah jasa Sultan Kedah yang tak ingin menumpahkan darah puak Melayu di pesisir,timur pulau Sumatera.

 

Sultan Deli sendiri menyadari suasana di tahun 1902 itu sudah sangat tersudut --- karena para pembesar negeri, Penguasa dan Pengusaha Ondernemeng telah begitu koruptif sehingga --- ukuran para Ningrat dan Bangsawan yang pro Rakyat hanya satu ---- Sultan dapat atau tidak meluluskan tuntutan mereka --- istilahnya baik Sultan maupun tuntutan Rakyat harus saling memberi. Kebetulan tahun 1902 itu Residen Sematera Timur akan pensiun --- buruh Jawa yang diperlakukan tidak adil juga telah menunjukkan tanda-tanda akan turut bersama Rakyat menuntut hak tanah garapan.

 

Jelas elit para penguasa telah sangat dibenci Rakyat, Sultan mengerti kalau pemberontakan itu kembali Belanda mengadu domba kekuatan buruh Cina dihadapkan pada kekuatan Rakyat --- niscaya seluruh Rakyat di Sumatera Timur akan melawan Belanda dan Penguasa yang menjadi kaki tangan Belanda. Onderneming akan sangat dirugikan --- Sultan juga akan kehilangan cukai dan bea yang menjadi haknya setiap kali hasil pengapalan tembakau, karet dan berbagai hasil lainnya. Jangan terjadi lagi pertumpahan darah --- Batavia pun sepertinya sependapat dengan cara pemadaman yang tak berdarah.

 

Kesempatan diberikan oleh Sultan dan pejabat-pejabat Binnenlands Bestuur, untuk memberikan jalan keluar sebagaimana diusulkan Temenggung Mabar, Temenggung Tanjung Pura dan Datuk Angin  Tanjung Morawa --- bahwa para pemimpin pemberontak dan siapa saja Orang Melayu yang tidak berkenan, dapat meninggalkan Sumatera Timur menuju Tanah Semenanjung………….

 

Di pagi buta bulan Juli tahun 1902 terlihat iring-iringan sado tiga buah meninggalkan Kampung Sungai Mati --- terdengar tapak kuda berderap slow dengan sekali-kali terdengar seruan sais “hos sssshos hoooooooooos”dengan ditingkah bunyi cemeti lembut menggoda punggung kuda , terdengar derap kaki kuda makin seru --- membelok menuju Padang Bulan, melintasi Sei Babura ………..(Sei = dibaca Sungai).

 

Di Kampung Lalang banyak Rakyat berkerumun --- dengan bersenjata tombak dan kelewang berkilat-kilat memantulkan cahaya matahari pagi --- mereka bersorak-sorak begitu melihat Penunggang-penunggang Penyongsong telah menderu berbalik arah --- debu beterbangan memutih ditimpa sinar matahari.Rakyat mengibar-ngibarkan bendera Kuning --- lambang kelembagaan Rakyat Melayu yang bersatu padu sepanjang jalan.Kini iring-iringan sado telah bertambah menjadi tujuh. Rakyat memekik-kan takbir “Allahu akbar…………. Allahu Akbar”

 

Di Bangkatan Binjei bergabung pula dua sado --- para ponggawa berkuda dari Tanjung Pura telah pula menyongsong iring-iringan berkuda itu menuju Langkat --- daerah tanah Melayu sejak tahun 1881 telah menjadi enam Ondrafdeelingen, tahun 1887Medan menjadi kota residentie Oostkust (Pesisi Timur menurut geografis Kerajaan Aceh dan Melayu) --- yaitu sejak kota Medan dari mana mereka tadi bertolak, kini  rombongan Migrasi itu telah melewati lautan manusia menebarkan beras kuning dan bertih, cara upah-upah orang Melayu mengiringi doa, menghantarkan rombongan itu telah menuju Langkat Tanjung Pura.

 

Pemerintah kolonial menerima gagasan itu karena sejalan dengan usaha untuk mengurangi serangan sporadik yang makin sering di seluruh Ondernemings. Kini pihak Sultan, Elite penguasa dan pemerintah Kolonial merasa lebih aman --- dengan bertolaknya beberapa pemimpin Rakyat Jelata yang sudah berakar di berbagai afdeelings, menggantikan karisma pemimpin tradisional yang mulai lapuk dimakan jaman.

 

Adalah tadi yang berangkat dari Sungai Mati, Pak Ngah atau namaaslinya Muhammad Ali --- seorang saudagar garam yang menguasai pengaruh dari Labuhan Deli Sampai Serdang , dari Sempali sampai Tamiang --- ia bukan saja berpengaruh pada puak Melayu tetapi pula, menjadi pemimpin para Perantau Mandailing --- maupun puak suku Karo dan Simalungun. Kini ia dan sebagian keluarganya akan bermigrasi ke Pulau Pinang di Tanah Semenanjung Melayu.

 

Keluarga Pak Ngah terdiri dari seorang gadisnya Cik Utih, Encik Andak --- pemuda 17 tahunnya --- sedang anak Sulungnya telah ada di Kerajaan Kedah di Semenanjung. Kepindahannya, sebenarnya sambil menerapkan rencana usahanya berupa perdagangan kuda dari pesisiran timur Sumatra, yang akan dipusatkannya di Pulau Pinang --- isterinya sendiri Siti Langgai masih ia tinggalkan di Medan Deli, dikarenakan masih mengurus anak bungsu mereka, yang masih berumur dua tahun --- lagian pula kepentingan mereka dalam perdagangan garam masih harus diteruskan --- sepeninggal Pak Ngah urusan itu di selengarakan oleh Cik Mat Kuala Bingei, sang iparnya.

 

Di Pulau Sitanggang --- rombongan itu disambut khalayak dengan Rebana dan barisan Kesultanan Langkat yang lengkap dengan hulubalang bersenjata api --- tetapi yang sangat mengherankan adalah sambutan rakyat yang akan menghantarkan para Pemimpin Rakyat Jelata, yang sebelumnya tidak pernah ada --- kecuali para pimpinan tradisional kaum feodal -- inilah kiranya bibit pemimpin masa Nasionalisme Nusantara.

 

Kapal layar dua tiang itu, yang dinakhodai Nakhoda Kobat --- salah seorang Pemimpin Rakyat Jelata yang telah berpuluh kali bertempur di laut baik bersama Kerajaan Aceh, maupun sebagai Angkatan Laut Kerajaan Melayu Siak --- Nakhoda Kobat dikenal sebagai petualang laut yang handal sejak mudanya --- ia telah biasa mengharungi Lautan Hindia sampai ke Gujarat dan Maskat --- membawa barang dagangan maupun jemaah haji dari Pesisir Timur Sumatra dan Semenanjung Tanah Melayu.Kini kapal layar itu membelah Selat Malaka menuju Pulau Pinang membawa para pemimpin Puak Melayu dan keluarganya yang ber-migrasi ke sana…………sebagai taktik perjuangan menegakkan ekonomi rakyat baik di Pesisir Timur, mau pun di Semenanjung Tanah Melayu................

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun