Mohon tunggu...
Muhammad Wislan Arif
Muhammad Wislan Arif Mohon Tunggu... profesional -

Hobi membaca, menulis dan traveling. Membanggakan Sejarah Bangsa. Mengembangkan Kesadaran Nasional untuk Kejayaan Republik Indonesia, di mana Anak-Cucu-Cicit-Canggah hidup bersama dalam Negara yang Adil dan Makmur --- Tata Tentram Kerta Raharja, Gemah Ripah Loh Jinawi. Merdeka !

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Seri Budaya Pengobatan dan Kuliner (01)

30 Mei 2010   00:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:52 361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tuk Elok dan Pengobatan “Keteguran “

Tuk Elok, terkadang lingkungan masyarakatnya juga memanggilnya Cik Elok. Nama aslinya adalah Siti Aminah, dia lahir kira-kira tahun 1900 di Tanjung pura dan meninggal dunia pada tahun 1989. tidak pastiberapa banyak ia bersaudara, tetapi yang diketahui ada empat saudara perempuannya yang hidup di Medan beranak cucu di Indonesia , dan ada satu abangnya beranak pinak di Pulau Pinang (baca Pulau Penang, masuk negara Malaysia kini ). yang istimewa perempuan ini memang cantik, keelokannya terpancar hingga akhir hayatnya. Dia perempuan yang gigih, mandiri dan sangat kreatif.

Dinyatakan gigih, karena ia wanita yang tidak mau menyerah dalam hidupnya. Setelah suaminya meninggal dunia tahun 1937, saatberobat kanker (?) di Batavia--- ia tak pernah menikah lagi, ia sendiri saja membesarkan tujuh anaknya berumur antara 16 – 5 tahun. Baru satu anak gadisnya yang menikah saat itu, yakni anak sulungnya. Waktu pendudukan Jepang (1942-1945) ia bekerja di pabrik limun (sejenis soft drink), ia mengalami kecelakaan kerja, ruas jari telunjuk tangan kanannya putus ditelan mesin industri di pabrik itu. Itulah kenangan manis dia dan anak-cucunya selama hidupnya. Ia mempunyai pekerjaan pokok, menghasilkan barang-barang yang ada pasaran di lingkungan masyarakatnya---ia menghasilkan kerudung bersulam breyein atau sulam cabut benang, lain kesempatan ia membuat dan menjualtabir dari perca, atau clemek untuk menampung liur anak balita (di Jawa disebut tadah iler). Yang hebatnya ia sangat dinamis, ia juga bisa menghasilkan kue dan sagon, pada saat hari raya ia menghasilkan manisan--- yang beken adalah agar-agar kering dan halwa masqat, juga manisan pepaya muda dan pucuk daun pepaya. Wah ia memang hebat, penuh dengan kreasi dan ketrampilan. Industri-nya tidak kenal berhenti menghadapi perubahan di pasar.

Kali ini kita ingin menceritakan ketrampilannya yang lain, yang diakui lingkungan masyarakatnya.Pekerjaan itu tentunya menyita perhatian dan waktunya. Tetapi ia abdikan itu tanpa pamrih,sikap yang memang ada dalam masyarakat kita yang waktu itu pekat dengan tradisi peguyuban. Ciri dalam pengobatan tradisional adalah selalu kita jumpai, satu obat atau pun prosesi yang sama untuk spektrum banyak penyakit. Prosesi dan obat penyakit yang gejalanya disampaikan kepada Tuk Elok, kita yang menamakannya : Pengobatan Keteguran. Sebelum saya lanjutkan, saya mau mengatakan jangan-jangan cara pengobatannya itu, dari bacaan terakhir yang saya baca—paralel dengan penemuan ilmu kedokteran modern, lho !

Tuk Elok tidak selamanya menemui orang yang sakit itu, ada kalanya ia hanya mendengarkan penuturan orang yang mewakili si Sakit tentang gejala dan keadaan orang sakit itu. Si Sakit dari bayi baru lahir sampai para Lansia. Wah. Setelah mendengar gejala penyakit dan berdialog singkat. Mulai Tuk Elok mengambil kunyit (kunir), mengupasnya, mulutnya kumat-kamit--- tidak pernah ditanyakan apakah iamembaca mantera atau doa secara Islami. Sayang sekali warisan budaya itu. Setelah itu ia membelah potongan kunyit itu, dan berkali-kali melambungkannya ke atas dan dibiarkan jatuh di meja atau lantai.

Itu proses pengobatan yang kita saksikan. Terakhir ia akan mengatakan pada si Sakit atau wakilnya, bahwa sakitnya itu “keteguran arwah kerabatnya”. Bisa arwah anaknya, isteri atau suaminya, bisa paman, nenek atau bahkan tetangga-nya yang telah meninggal dunia, bisa siapa sajalah. Dan uniknya “teguran” itu selalu berkonotasi baik, kangen/rindu, menyapa “just say hello” , pokoknya sinyal dari arwah yang positif dan sama sekali tidak pernah berkesan seram dan jelek. Kunyit setangkep (sejodo) itu kemudian dioleskan/dituliskan di kening (jidat) si Sakit, di antara dua alisnya, dengan tanda silang (+), positip. Boleh dilakukan langsung oleh Tuk Elok sendiri atau yang mewakilinya. Memang tanda bentuk (+) ini banyak dijumpai dalam berbagai ragam hasil budaya bangsa kita atau suku lain bangsa.

Di ukiran, di lukisan atau hasil tulisan lainnya. Yang hebatnya, bisa singkat, bisa membutuhkan sejumlah waktu, si Sakit ternyata sembuh. Masyarakat percaya prosesi pengobatan itu manjur. Kenapa ?

Lain waktu kita bicarakan cara pengobat Tuk Elok yang lain, yang metode-nya sangat simpel dan rational. Bisa dirunut dengan kesimpulan pengobatan modern, dalam kasus-kasus tertentu---paralel !

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun