Mohon tunggu...
Muhammad Wislan Arif
Muhammad Wislan Arif Mohon Tunggu... profesional -

Hobi membaca, menulis dan traveling. Membanggakan Sejarah Bangsa. Mengembangkan Kesadaran Nasional untuk Kejayaan Republik Indonesia, di mana Anak-Cucu-Cicit-Canggah hidup bersama dalam Negara yang Adil dan Makmur --- Tata Tentram Kerta Raharja, Gemah Ripah Loh Jinawi. Merdeka !

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Epos Medan Kota Dollar (03) Mendebat Tan Malaka (Juli 1942)

27 Mei 2010   13:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:55 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Di Langgar  Percut Sungai Tuan --- selesai sholat Magrib, tampak paman Suwarsono berbisik-bisik dengan  ustadz Karim, kemudian paman Warsono menggamit Slamet.  Tidak jelas apa yang diperbincangkan. Tampaknya itu hari bulan ke 17 jadi sinar bulan masih temaram, menyinari sekitar perkebunan tembakau di Percut dan Sungai Merah --- samar-samar tampak jalan permanen maupun jalan kebun  ada terbentang di alur tanaman tembakau.  Di tepi jalan permanen kiri kanan ada pohon jati yang tingginya sudah menyamai pohon kelapa.  Bayangan pohon-pohon besar dan barisan tembakau --- memberikan nuansa misteri dan penuh rahasia.

Mungkin jam telah mencapai pukul 9 malam barang kali --- majelis pertemuan itu sekitar 12 orang.  Paman Suwarsono adalah  mandor pengawas pemilahan tembakau. Ia dikenal juga sebagai aktifis pergerakan --- ada juga yang menggolongkannya anasir radikal.  Hisyamuddin pemuda nelayan muara Sungai Tuan juga hadir. Lantas Marpaung  orang dari bangsal peragian.  Banyaknya orang kampung yang turut dalam pertemuan itu --- hanya ada dua orang asing yang menghadiri majelis, tidak dikenal oleh orang kampung.

Lamat-lamat di pinggir jalan dan jembatan seperti petugas pemuda yang mengawasi kampung malam itu.

"Tuan Guru Karim, Encik Hisyamuddin, Cik Badaruddin, Kang Slamet dan semua hadirin ," suara paman Warsono lembut tetapi berwibawa.

"Malam ini kita kedatangan seorang tamu --- dari tanah Melayu, tanah seberang, beliau akan memberikan oleh-oleh dan petuah mengenai perkembangan serangan pendudukan Jepang di Tanah Air kita, juga di Semenanjung Malaya, yah seluruh Asia akan panas --- Jepang akan melibatkan negeri dan rakyat kita untuk bertempur melawan Sarikat"  sebentar paman Warsono berhenti berbicara --- diedarkan teh tawar berkeliling.

"Nippon, Dai Nippon sama saja --- mereka fasis yang akan menjajah negeri kita juga.  Belanda dan Inggris telah takluk --- tetapi Sarikat akan memperluas perang ke seluruh dunia --- rakyat kita, kalau tidak berbekal ilmu dan pengetahuan yang teliti, niscaya akan tetap dalam cengkraman para penjajah.  Entah dari negeri Eropa atau Barat maupun dari Dai Nippon. Kita harus berakal menghadapi hal ini, baiklah saya bersilahkan Tuan, atau Encik Lukman Hakim menyampaikan beritanya "  paman Warsono mempersilahkan tamunya.

"Assalamualaikum wa rakhmatullah wa barakatu --- saye ni dari Trengganu, tanah air bangse Melayu,  saye bekerje sebagai Cik Gu dan pemberite Surat Kabar  --- banyak lah berjalan ke Temasik, Siam sampailah Filipine dan Cine.  Kobaran peperangan ini tidak lain adalah perang sesame penjajah--- yang akan memperebutkan harte pusake negeri leluhur kite.  Di daerah ni mereke memperebutkan tembakau, karet, kalape sawit, coklat, pale, --- karet dan kelape sawit ni sangatlah dikehendaki tentare Jepun. Kalau yang lain tu hanye bergune untuk industri jangke panjang ---- tetapi kalau karet, minyak bumi, dan minyak kelape sawit sangat bergune untuk peperangan --- tidak diketahui sampai berape lame akan berlangsung. "  semua mendengarkan dengan seksama.

"Rakyat kite harus bersatu padu, merapatkan barisan --- akal kite harus dipertajam, kite harus mampu menggunakan teori dan hakekat falsafah  yang teruji untuk membasmi paham pare penjajah tu --- Kolonialisme, fasisme dan Kapitalisme hanye tunduk pade paham yang tajam dan handal. " Cik Lukman memandang berkeliling.

"Tidak ade kate berkawan dengan musuh Rakyat tu --- mereke itu semue adalah penjajah penghisap kekayaan alam dan tenage buroh, tani dan nelayan kite."  Tampak Cik Lukman meremas tangannya, ia membuka kopiahnya. Tampak gombak rambutnya --- matanya agak sipit seperti Cina, tetapi kulitnya tidak begitu terang. Dan ucapannya  elok seperti orang Melayu Semenanjung.

"Ape yang kite harus pegang paham yang handal untuk menghancurkan paham kapitalisme --- tidak lain dengan Dialektike.  Bahwe penghisapan kaum kolonialis atas negeri kite --- ape juge yang dibuat kaum kapitalis asing tu --- adalah same ade juge, adalah tesis mereke. Harus kitejawab tidak ade kompromi, tidak ade kooperasi, tidak ade kerjasame.  Non Koperasi ! --- itulah yang kite namekan antitesis.  Niscaye  akan timbul semangat dan kemenangan yang membuat kite Merdeke perseratus.  Atau seratus persin.  Itulah impian dan cite-cite kite --- pergolakan itu akan melahirkan Sintese. Percayalah ." Cik Lukman memandang ke arah Ustadz Karim.

"Jangan kita silap saudaraku, Cik Lukman Hakim , apakah cara  bepikir itu bukannya Komunis ?" tanya ustadz. Mereka saling memandang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun