Mohon tunggu...
Muhammad Wislan Arif
Muhammad Wislan Arif Mohon Tunggu... profesional -

Hobi membaca, menulis dan traveling. Membanggakan Sejarah Bangsa. Mengembangkan Kesadaran Nasional untuk Kejayaan Republik Indonesia, di mana Anak-Cucu-Cicit-Canggah hidup bersama dalam Negara yang Adil dan Makmur --- Tata Tentram Kerta Raharja, Gemah Ripah Loh Jinawi. Merdeka !

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Epos Medan Kota Dollar (01) Filsafat Cinta dari Tanah Orang Buangan, Boven Digul

24 Mei 2010   04:54 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:00 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Orang Buangan --- Orang Perantaian, stigma yang mengerikan bagi keluarga yang mengalami anggota keluarganya, dibuang ke Tanah Papua, oleh pemerintah Hindia Belanda. Memang ada juga terbersit, rasa kebanggaan sebagai keluarga yang gagah berani melawan pemerintah jajahan yang lalim. Tetapi anak Haji Muhammad Salim yang terbuang, sebagai Orang Perantaian ---  Muhammad Yunus, tak pelak membuat gundah berkepanjangan bagi Haji Salim.  Anaknya itu dibuang Belanda dengan tuduhan sebagai ekstremis yang mengorganisir perlawanan Orang Melayu melawan Kaum Feodal dan Onderneming di daerah Langkat.

            Keluarga Haji Salim, adalah puak yang sebenarnya berasal dari Mandailing, arah selatan  dari daerah Sumatera Timur yang sedang pesat berkembang menjadi Perkebunan --- daerah itu menjadi andalan Hindia Belanda  menumpuk kekayaan untuk negerinya di Eropa. Bahkan kini beberapa negeri Eropa juga turut menanamkan modalnya di daerah itu. Mereka beramai-ramai menghisap negeri jajahan ini. Begitulah anak tertua Haji Salim telah tertuduh sebagai ketua gang ekstremis.  Sebenarnya ia adalah Guru Pencak di kampungnya, di Stabat --- begitu terjadi kemelut, rapat-rapat politik, sabotase, pemogokan, adanya fasilitas perkebunan yang terbakar --- maka polisi Hindia Belanda bertindak represif. Terutama setelah Pemberontakan Komunis 1926.

            Tahun 1930 "kapal Fomalhout" berangkat berlayar meninggalkan pelabuhan Belawan, di pesisir pantai Sumatera bagian Timur --- memasuki alun gelombang ombak Selat Malaka --- rantai di tangan dan kaki Abdul Hamid Lubis dan Muhammad Yunus Matondang bergemercing di lepas opas Belanda --- Abdul Hamid Lubis sudah merasakan jerat dan beratnya rantai itu sejak ia berangkat dengan kereta api dari penjara Siantar 25 hari yang lalu --- kalau si Yunus  merasakan rantai itu baru sejak dari Belawan akan diberangkatkan dengan kapal menuju Boven Digul.  Kedua orang itu seperti orang dungu --- memandang laut lepas.  Sejumlah orang perantaian yang lebih tua tampak berkumpul kembali dengan anak isteri yang ikut ke tanah pembuangan.

            Memang yang paling muda tampaknya si Hamid Lubis, baru 18 tahun --- Belanda menyebutnya “Anjing Ekstremis”. Ia bukan orang komunis --- ia seorang wartawan yang digelari “Banteng Kecil”.  Sedang Bung Karno adalah “Banteng Besar” --- sedang “Banteng Gemuk” adalah seorang tokoh wartawan lain di Sumatera.  Gelar si Hamid Lubis menggambarkan peranannya yang radikal --- ia anggota Partindo (Partai Indonesia). Tampak ia tidak bergeming disebut “Anjing” oleh opas atau polisi Belanda, ia telah menghilangkan kesedihannya --- berpisah dengan ibu dan ayahnya di Pangkalan Brandan.  Ia dan kedua orang tuanya  telah menyadari konsekwensi perjuangannya yang radikal --- walau ayah ibunya tidak pernah membayangkan bahwa anaknya itu akan mendapat hukuman berat --- dibuang ke Bovel Digul sebagai orang perantaian.

            Lain dengan si Yunus, 19 tahun --- ia memang guru silat dan pemimpin pemuda di kampungnya.  Meningkatnya perlawanan rakyat berupa gerakan politik dan sabotase --- menyebabkan pemerintah Hindia Belanda meningkatkan tindakan represif.  Dalam beslit yang diterimanya di penjara Medan --- si Yunus juga turut dibuang ke Boven Digul, negeri Papua.  Selat Malaka di mana kapal Fomalhout berlayar telah mengombang-ambingkan kapal itu dengan ombaknya --- tiada terlihat lagi daratan pulau Sumatera di kanan lambung kapal.  Nun jauh di kiri lambung kapal, tentunya daratan Semenanjung Melayu.

            Yunus menghembus-hembus lecet di pergelangan tangannya, tangan kirinya.  Lalat merubung lecet di kaki kirinya --- sebentar-bentar ia kibaskan lalat satu dua itu.  Ia dirantai Belanda dengan Hamid Lubis di kirinya --- tentu dua anggota badan sebelah kanan  si Hamid yang lecet pula. Yunus betul-betul mengalami duka yang dalam, isterinya Si Taing sedang mengandung anak pertama mereka, hamil tiga bulan. Berat keluarga melepas si Taing untuk turut ke tanah buangan.  Tanah yang seram dan menakutkan --- tidak ada orang yang bisa pulang selamat, belum ada terdengar, pembuangan berarti mati --- hukuman mati pelan-pelan.  Konon nyamuk malarianya sangat ganas.  Keluarga Haji Salim memutuskan membiarkan si Yunus mati di Boven Digul, asal ia mempunyai anak keturunan di Stabat, sebagai gantinya, kira-kira begitu jadinya kelak.

            Di Boven Digul si Yunus melatih anak-anak orang buangan dan siapa saja yang akan belajar silat --- memang orang buangan mengobarkan semua budaya untuk mempertahankan hidup --- membuka ladang dan bercocok tanam, mengajar di sekolah dan mengaji Qur’an, olah raga dan kesenian.  Di situlah peranan si Yunus, di bidang budaya Olah Raga dan Pengajian Qur’an dan tafsir --- ada pula Haji Safar mengajar Fikih dan Tauhid.  Maka cukuplah kegiatan kebudayaan di sana. Kematian di sana terutama menjadi korban penyakit malaria, dan ………ada juga usaha melarikan diri.  Mati sesat di hutan balantara, kena penyakit dan mati dimangsa buaya.

            Di sana sangatlah terbatas perempuan untuk dikawini --- gadis-gadis remaja anak orang buangan, adalah anugrah yang sangat berkah bagi pemuda lajang atau lelaki yang tidak mempunyai isteri --- adalah Ustadz Yunus walaupun ia telah mempunyai isteri di Sumatera, ingin diambil mantu oleh Pak Kirjo Mulyo, anak gadisnya berumur 15 tahun, Retno Kustiyah, ingin ia jodohkan dengan Sang Ustadz.  Ustadz belum menjawab tegas, tetapi ia juga belum menampik.  Retno Kustiyah gadis yang cantik, baru mekar-mekarnya --- ia telah mengkhatamkan Qur’an dengan bimbingan Sang Ustadz. Dalam hati kecil Sang ustadz, ia lebih berkehendak agar si Retno, dijodohkan dengan Orang buangan yang masih lajang.  Ia ingin mengajukan si Hamid Lubis.

            Tidak dinyana, pada bulan Oktober tahun 1935 ada kabar si Edo akan dipulangkan ke Ambon, dan si Yunus akan dipulangkan ke Medan.  Mereka mendapat kebebasan untuk dikembalikan ke daerah asalnya. --- itu berita yang menggembirakan, bukan saja bagi mereka berdua tetapi semua masyarakat orang buangan, mereka  merayakan itu --- beban penderitaan mereka terasa menjadi seolah-olah turut berkurang, dengan adanya kepulangan anggota masyarakat  mereka ke kampung halaman.

            Di Langgar Sang ustadz duduk di depan pintu, sedang si Retno berdiri di sisi tangga. Retno Kustiyah memang mengetahui kalau ayahnya akan menjodohkan dirinya dengan  ustadz.  Ia pun mengetahui, ustadz belum memberi penegasan.

            “Retno, sudah mendengar abang akan kembali ke Sumatera --- meninggalkan Digul ?  Retno mengangguk dan hanya melirik.

            “Retno ‘kan tahu saya sudah mempunyai isteri………..dan satu anak.  Kalau pun abang belum mendengar akan dipulangkan ke Sumatera ---- sebenarnya abang berat juga untuk melakukan pernikahan kita berdua………..”

            “Retno, abang belum menjawab setuju untuk pernikahan kita --- kita pun tidak terikat dengan pertunangan”   sunyi sepi, waktunya baru lepas ‘Ashar --- kelas itu tadi ditutup dengan sembahyang berjama’ah.  Ustadz menahan Retno, karena Yunus ingin melepas ikatan emosional yang mungkin telah berkembang di hati si Retno.

            “Retno, ini bukan kebetulan --- bukan pula saya mencuci tangan setelah ada kabar bahwa saya akan dipulangkan……….bukan”

            “Dikau masih belia, di sini masih ada jodoh yang sepadan denganmu --- apakah kamu sebenarnya telah mempunyai pilihan ?...........Retno Kustiyah merunduk saja, dia diam.

            “Namun adinda harus patuh pada orang tua --- patuh pada pilihan orang tua………….abang akan menyampaikan penegasan abang, abang akan pulang kepada istri abang di Sumatera……………., pada bapak Kirjo, abang akan sampaikan pikiran abang demikian”.     Sekejap mereka berdiam.

            “Kalaulah adinda telah terlanjur menaruh hati pada abang……………….abang mohon maaf,  siapa yang tidak menaruh hati kepada kecantikan dan perangai adinda yang luhur ----------- tetapi Allah yang menetapkan Langkah, Rejeki, Pertemuan dan Maut. Itu adalah kuasa Allah ---- pertemuan berarti juga jodoh.   Kita dipertemukan Allah di tanah perantauan. Di Papua ini pula kita berjumpa sebagai guru dan murid, mungkin kita tidak berjodoh sebagai suami istri ………. Semoga engkau dan ayahmu dapat memilih pemuda-pemuda pejuang yang belum beristeri di tanah pembuangan ini …………. Seperti si Hamdi Lubis, kenalkah engkau dengan Abang Lubis ?  si Retno hanya menggeleng, kemudian mereka berpisah.

            Tanggal 27 April 1936 “kapal Segeh” merenggang angkat jangkar, melepaskan tali kendali ---  kaum buangan masih menyanyikan lagu-lagu perjuangan di kade --- Tadi mereka menyanyikan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya untuk melepas Edo dan Yunus.  Hati Yunus antara sedih duka dan gembira --- bagaimana pun ia ingin sekali memeluk anaknya yang telah lahir --- janin  yang ditinggalkan masih dalam kandungan itu, kini sudah menjadi anak yang berumur lima tahun.  Mungkin ia telah pandai berlari-lari dan bercakap=cakap dengan lucunya.  Ia merindukan si Taing, isterinya.

            Di pelabuhan Belawan Yunus melihat empat lima kapal yang sedang berlabuh, yang akan mengangkut  hasil perkebunan --- yang akan menjadi dollar yang membuncitkan perut kaum kapitalis di Eropa --- sepanjang jalan sejak keluar Belawan, ia menyaksikan deretan pohon  kelapa sawit, kemudian menjelang masuk kota Medan berderet pula pohon karet ---- tidak jauh dari tempat ia lewat di kawasan timur dan barat Medan terhampar pula perkebunanan tembakau Deli yang tersohor ---- hati Yunus mendidih mengenangkan anak negeri yang tetap miskin, sementara penduduk negeri Belanda dan Eropa lainnya --- hidup makmur dengan hasil isapan Bumi dan Tenaga Kerja orang Indonesia. Kesadaran politik Yunus jauh lebih hebat saat ini --- hasil pendidikan politik dalam masa pembuangan lima tahun lebih, di Boven Digul  Belanda dan kaum Kapitalis serta kaum Feodalis harus dienyahkan dari negeri ini.  Sepanjang jalan ke Stabat, sekeliling kotaMedan adalah  Onderneming, Lautan perkebunan.

            Di Stabat barisan murid-murid sekolah Al Jamiatul Washliah menyambut dengan kesenian rebana dan nyanyian salawat nabi , ada juga pasukan pencak silat--- Pandu Al Jamiatul Washliah berbaris rapi dengan genderang dan trompet --- Ibu-ibu pengajian menaburkan bertih dan beras kuning, serta siraman air sedingin. Mereka menyambut kepulangan Yunus, anak Haji Muhammad Salim.  Allahu Akbar bergema, tak henti-henti-nya.

            Langkah, Rejeki, Pertemuan , dan Maut adalah Kuasa Illahiah --- itu ajaran yang selalu didengarkannya dari nenek dan guru-guru --- alangkah jauhnya ia dibuang di timur Nusantara --- tak jelas kapan akan kembali. Dengan kuasa Allah ia kini kembali di kampung halamannya, kembali dalam pelukan Ayah bunda, kembali dalam pelukan isteri ---  dan ia diberkati untuk dapat  memeluk puterinya, si Amah, kini berumur sudah 5 tahun.

            Terkenang dalam sakitnya, panas dingin menggigil --- ia terkenang Boven Digul di Tanah Papua. Ribuan orang Indonesia berjuang untuk kemerdekaan Indonesia --- diterkam nyamuk malaria.  Ia terkenang Hamid Lubis, Pak Kirjo, ingat si Retno Kustiyah --- siapakah jodohnya ?  Ia teringat si Retno Kustiyah mencium punggung tangannya.  Gadis itu menangis.  Ia ingat falsafah hidup.  Langkah, rejeki,  pertemuan, dan maut. Kuasa Illahiah.

            Yunus meninggal oleh kambuhan serangan penyakit malaria --- ia dikebumikan di tanah tumpah darah Orang Melayu. Di mana nenek moyangnya sampai cucu, cicit, canggah --- yang  hidup, mengabdi dan menutup mata.  Yunus meninggal dunia pada usia 25 tahun.  Masih muda.

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun