Mohon tunggu...
Muhammad Wislan Arif
Muhammad Wislan Arif Mohon Tunggu... profesional -

Hobi membaca, menulis dan traveling. Membanggakan Sejarah Bangsa. Mengembangkan Kesadaran Nasional untuk Kejayaan Republik Indonesia, di mana Anak-Cucu-Cicit-Canggah hidup bersama dalam Negara yang Adil dan Makmur --- Tata Tentram Kerta Raharja, Gemah Ripah Loh Jinawi. Merdeka !

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Features (20) Komentar dalam bentuk Puisi, Mengapa Tidak ?

22 Mei 2010   14:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:02 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Kira-kira pekan terakhir Oktober 2009 ---  mulai turut mengomentari tulisan di Kompas.Com, terutama politik, ekonomi, dan budaya --- bosan,  mulai masuk ke dunia kegemaran. Rubrik   Oase --- puisiku --- di sana banyak puisi, banyak pula yang mengomentari,  terlibat dalam keasyikan membaca dan mengomentari.

Puisi dibaca, macam-macam tema --- semua menyentuh syaraf apresiatif --- tanpa terasa, dikomentari dalam bentuk Puisi pula.  Meriah.

 

Ketika masuk di Kompasiana --- ternyata lebih banyak keindahan dan tema serta motif berpuisi --- lebih meriah.

Maka  mengomentari, terkadang dengan Haiku (Puisi gaya Jepang yang terdiri dari dua baris kalimat) --- tak jarang melampiaskan dorongan kreatif dengan Sanjak yang panjang --- mengomentari  isi, tema, atau motif si Kompasioner.  Mereka memang asyik semua, ada tema cinta sampai lingkungan hidup dan politik. Tambah meriah

 

Sayang, komentar yang di Oase – Puisiku, Kompas.com sudah sukar melacaknya, mungkin diperlukan kesabaran. Berikut ini, salah satu yang di Kompasiana, rupanya masih suasana Valintine Day :

14 Februari 2010 | 11:04

0

Jeng Nathalia !

------------------------------------

Dua kata yang menggetarkan cinta
dua kata yang menggetarkan proses bercinta
perlu
perlu di bulan februari — direcharge
recharge
dua kata itu
gumul
nafsu
dua kata itu, memang !
gumul, dan
nafsu

--------------------------------

Puisi yang indah setelah menikmati keceriaan Valentine Day. Cantik
Trims dan Hebat !

*15 Februari 2010 | 20:42

0

Bung Andi Gunawan !
­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­__________________________________________

Ku genggam keris — bukan buatan Mpu Gandring
tetapi Mpu Sedah
Terlepas
Dari gengaman yang bergetar
karena, tersingkap jarit Ken Dedes
Mengapa kau perlihatkan pahamu yang putih, dengan sudut yang bersinar
Mas, paha-ku akan mewariskan Raja-raja tanah Jawa.
Biarkan lah tanganmu ber getar dan keris terlepas
Wajar karena, mas seperti laki-laki lain
Mata keranjang !
………………………………………
Aduh aku dicerca Ken Dedes
……………………………………………
 Mas Andi, saya pecinta keris, sejak 1983 saya mengkoleksi keris. 1999 tidak ada lagi keris yang datang — hanya semangat keris yang tetap bergelora.
Trims dan salam hangat
Hebat !

**15 Februari 2010 | 21:35

0

Bung Dzul Multa !

______________________________________

Kubaca puisi, dengan nafas yang tersengal-sengal — sebuah drama mencekam benak-ku
Sangat dramatis
Mungkin aku sempat pucat, takut dan kuatir
Mengapa ada waktu yang menggari, membelenggu arti kehidupan.
Mengapa ada waktu yang memaksa langkah
Mengapa ada waktu yang harus memacu langkah
Tidak boleh letih
Letih berarti drama berakhir !
……………………………………….

Enak membaca Puisi — jantungku dipacunya.
Trims
Hebat !

***30 April 2010 | 06:57

0

Dik Sri Budiarti !

Kuingat
di SR Taman Siswa — kami pertama kali menyanyikan Ibu Kita Kartini
ada pohon Angsana di halaman sekolah
ada lapangan luas sekolah kami — tanpa rumput, tanpa taman
Indonesia baru Merdeka
Ibu Kita Kartini
Ibu Guru Salamah berkaca mata
Ia cantik sekali — ia berkrudung, cantik sekali
Ibu Guru Salamah berkaca mata
Ia cantik sekali — ia bersih dan menyuruhku berdiri
Berdiri di atas bangku, memimpin lagu
Ibu Kita Kartini
Kini selalu terbayang teras Ibu Kartini
di Jepara
Ia mengajar anak-anak perempuan Membaca
Ibuku

Salam hangat

(Puisi di atas secara spontan lahir, karena Kompasioner bercerita tentang Ibu kita Kartini) , berikut tampaknya tulisan menyangkut politik ---Tenderwatch adalah penulis yang produktif menyangkut Polhukam + Sosbud, terkadang Ekonomi pula.  Berikut komentar dalam bentuk puitisasi, puisi untuk beliau.

9 Mei 2010 | 14:30

0

Bung Tenderwatdh !

Mengapa Kebathilan Terorganisir bisa Menang dan Kuat ?.
Karena Motivasi Mereka : Uang dan Kekuasaan !
Mereka makin lama makin Kuat — akan mengalahkan semua Lembaga Politik dan Konstitusi di Republik
Indonesia
.
Uang dan Kekuasaan ‘
kan Hakekat Agresifitas dan Ketamakan Manusia ?

Hanya bisa dikalahkan dengan Moral
Dengan Gerakan Moral dan Revolusi Kebudayaan
Norma Etika, Moral dan Norma Hukum ada tingkat intensitasnya — pada tingkat kegawatan sekarang ini. Hanya satu Hukum Mati para Koruptor dan Kasus Suap dan Mafia Yang telah terbongkar.

Intensitasnya sudah sangat membahayakan Kehidupan Berbangsa dan Negara Indonesia.
Semoga MK terus melaksanakan penegakkan Wibawa Konstitusi, Menegakkan Rasa Keadilan — memberikan Inspirasi Gerakan Moral — Agar bisa menyelamatkan NKRI
MK adalah produk Gerakan Reformasi 1998, Amendemen UUD 1945 — Gunakanlah wewenang yang ada.

Trims Bung, Salam Hangat selalu !

            Komentar berikut ini menyangkut tulisan kategori Filsafat --- berat, dilembutkan dengan komentar berpuisi.

*15 Mei 2010 | 10:56

0

Dik Arum Lestariningsih !

Hakekat Hidup di Dunia ini — di alam ini — rupanya hanya soal memberi dan menerima. Kuhirup Oksigen kuhembuskan Karbondioksida —- CO2 dihisap flora dihiembuskanya O2. Kuhirup cintanya direguknya cintaku. Memberi dan menerima — manusia pula membuat gradasi dan degradasi .
Memberi menjadi membeli, menerima menjadi Mengemis — menikmati menjadi membenci. Memberi menjadi memperkosa. Mencuri mencadi Korupsi. Membayar Pajak menjadi menuntut Kemakmuran.
Budaya Manusia sih.
Jadi kita harus membuat Sensasi dalam memberi dan menerima di Sistem Alam ini.
Menikmati dan mensyukuri
Memberi sensasi dan memanipulasi sensasi — baru kita merasa makmur.
Tidak merasa terhina karena seolah dieksploitasi oleh si Dia — pada hal sebenarnya mempunyai kesempatan yang sama untuk mengeksploitasi sensualitas itu.
Aman-aman saja seperti menerima O2 dan membuang CO2
Cinta begitu juga — Oksigen dan Carbon Dioxide. Lho Ana-ana bae.

Trims, salam hangat

           

            Tulisan Kompasioner yang dikomentari,  memicu kenangan di jaman remaja, di kota Sang Kompasioner, di komentari dengan puisi --- Nostalgia !

18 Mei 2010 | 08:29

0

Dik Annisa !
———————————
Jalan Majapahit di Medan

Berkali-kali aku bersepeda
berkali-kali aku berlari-lari kecil, berlari-lari anjing
di Jalan Majapahit
Di sana ada gadis yang
cantik
teman belajar
lagi boy-code
Kukirim puisi, kukirim sanjak berjudul “Nada Piano”
Ia bisa memainkan piano
ia pemain piano
Kukirim sanjak-ku ke Harian Patriot Medan
Aku tertegun
Di tangga sekolah, dia di teras sekolah
Memandang senyum dan wajahnya yang cantik
Senyum terindah sampai saat ini, karena
di mata remajanya — kami berkawan lagi
di mana dia ?
Buatmu saja Annisa !
(Kenangan ini)
————————————

Masa remaja, engkau kirim ke Memori-ku, trims
Salam hangat !

          Sayang komentar dalam bentuk Haiku, tidak dapat dilacak --- karena terdiri dua kalimat saja . saya ambilkan dari file Hello Indonesia-ku                  Senyum adalah kelopak bunga kanthil putih dan kanthil merah —Harum “

                                                                                                            (MWA, 2010)

            Dan ini komentar dalam bentuk Puisi, menanggapi tulisan Kompasioner yang bertemakan ---- Lingkungan hidup dan kecendrungan  bangsa kita , jadi tukang mengamuk dan anarkhis.  Merusak aset bangsanya, milik publik atau milik orang tidak punya kaitan dengan urusan yang diperjuangkan.

22 Mei 2010 | 19:02

0

Bung Ign Joko Dwiatmoko !
_______________________

Burung kecil emprit beterbangan bingung
dilihatnya manusia Sang Komandan juga bingung — melolong seperti anjing di malam gelap
tiada tempat hinggap
anak-anak manusia yang kotor itu berlari ke dalam got, seperti tikus
memanjat gerbong seperti anak kera yang lapar
Masih perlukah anak manusia dan burung bertebaran di bumi ?
Kurasa “tidak perlu lagi mahluk hidup disini.”
Biarkan saja ruh mereka gentayangan di galaksi
Tidak perlu lagi kebiruan — yang hanya ada adalah the black hole !
Yang masuk tidak akan kembali.
—————————————————–
Hari ini aku senang berpuisi — membaca tulisan anda hatiku mendidih — ke mana biru ?
Buat apa bendera biru, apabila bumi tempat dipijak tidak lagi memberi beras dan ketentraman ?
Mengapa intrik lebih mudah direkayasa — dari pada mengatur reboisasi dan menyelamatkan trumbu karang. Menu budi adalah hidangan yang bijak — tetapi di sini sudah berkurang orang yang eling, semuanya ingin berlari menyelamatkan diri — seperti burung emprit takut melihat “orang-orang-an”

Salam hangat..

 

            Memang di malam minggu, akhir pekan ini --- kalau ada kesempatan, lihatlah kaleidoskop dalam kehidupan kita --- tenyata tulisan di Internet memperkaya batin dan intelektualitas serta kreatifitas. Salam hangat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun