"Kubacakan lebih lanjut, ‘ Katanya lebih lanjut : ‘Ibu Pertiwi meratap sedih melihat anak negeri ini banyak berubah. Nilai-nilai bergeser dan membuat ukuran-ukuran menjadi kacau. Cerdik semakin dekat dengan licik. Jujur semakin dekat dengan bodoh ..............Ada senyum yang penuh dengan prasangka, ada kebaikan antara pengusaha dengan penguasa yang sarat pamrih...........' "
"Alangkah bodohnya kita --- lima belas tahun yang lalu, gejala budaya yang retrogresif itu telah terasa --- tidak kita koreksi, sewaktu kebangkitan reformasi tahun 1998 , kita hanya mengusulkan koreksi terhadap hal-hal yang pragmatis --- yang praxis; itu pun sampai sekarang morat marit prosesnya," tanggapan Pak Amir tukang servis jam (tetapi ia drop-out mahasiswa Angkatan 78).
"Jangan-jangan bangsa ini tidak pintar, kalau menjalankan hal yang sistematis --- ia baru terkejut-kejut kalau ada gejala sistemik --- buat sistem saja morat-marit. Barangkali ia baru cocok kalau hidup dalam proses perubahan yang revolusioner, yang eksplosif --- yang meledak-ledak. Maka dalam budaya bangsa ini ada ‘seni upacara dengan petasan, meriam bambu, meriam karbit' --- mereka suka dengan kejutan, " ditimpali pula oleh Cik Awab, wong Palembang 'tu.
Mereka saling memandang satu sama lain --- seperti orang yang baru saja merefleksi-kan ledakan petir di siang bolong. Mereka semua tersenyum, dan tertawa terbahak-bahak --- melepaskan pikiran buntu atau malah meledak melepaskan ke-bloonan-nya.
"Dengar lanjutan tulisan itu, biar kita selamat dari kebuntuan dan kebloonan ---‘ni otak ‘ni sudah kekurangan oksigen, pembuluh otak bangsa ini telah dipenuhi karat kekecewaan, dan karat kebencian --- bukan kolesterol yang menyumbat otaknya ---tetapi kekecewaan dan kebencian. Tunggulah ledakan strokenya ." kelakar Cik Yung melihat audien-nya masih terbengong-bengong.
"Cobalah kita renungkan, bukankah nada ucapan-ucapan yang juga berwarna puitis itu mengingatkan kita akan kata-kata bersayap Ki Ranggawarsita. Perihal wolak-waliking zaman, jungkir baliknya perubahan zaman, " lanjutan bacaan Cik Yung.
"Ini lanjutannya, ‘Jeritan hati yang diungkapkan oleh Ir Siswono, seberapa jauh juga dirasakan oleh orang lain, seberapa jauh perasaan itu juga hidup bahkan berkecamuk dalam berbagai lingkungan masyarakat serta pemerintah ? " Cik yung memalingkan wajahnya ke Pak Lik Surojo, tukang bakso keliling, yang dulunya tukang memukul gong di rombongan wayang kulit Dhalang Tukidjan.
"Masyarakat dan Pemerintah ? Yah, waktu itu Pak Harto-lah yang berkuasa --- konon dikatakan masa otoriter --- tetapi setelah 1998 rupanya proses reformasi tidak menjiwai keadaan suasana batin yang digambarkan Siswono --- Mengapa ? Mengapa, aku bertanya ?" O, lagak juga tukang bakso itu.
Mengapa ? Cik yung mengarahkan wajahnya kepada Pak Lik Surojo, karena ia memang orang jernih pemikirannya. Konon ia pernah kuliah di filsafat Gama.
"Mengapa ?" tanya Cik Yung.
"Kalau begitu penyakit bangsa ini --- kian parah Cik"
"Ia telah mati rasa --- kalau tidak, masa bisa, anggota DPR tidak tahu malu --- korupsi dari proyek, dari anggaran, dari legislasi, dari menilep kata-kata rumusan hukum . Gila ! Masa pemungut pajak ramai-ramai mencuri uang negara --- tanpa malu. Lihat betapa polisi rayahan uang suap, uang korupsi, uang perkara, uang bukti --- mereka saling tuding seperti lakon ketoprak. Tunjuk-tunjukan hidung. Telanjang menelanjangi Gila !" sergah si Bistok atau si Poltak , enggak jelas namanya --- memang ia jarang-jarang pulang ke kompleks itu. Ia tukang kredit ke kota-kota kecil --- seperti tukang kredit orang Tasik juga.
"Ini lanjutannya, ‘..........., kita juga dapat berada dalam suasana ewuh aya ing pambudi, serba enggan, serba segan, kelewat tahu diri. Adalah baik, tetap berpegang dan menghayati sopan santun serta etika tahu diri. Sebaliknya, terutama dengan dan dalam budaya sopan santun itu, kita agar mau dan sanggup mengatakan yang benar sebagai benar, yang salah sebagai salah , yang kurang benar sebagai kurang benar, yang patut sebagai patut, yang kurang patut sebagai kurang patut. "