Mohon tunggu...
Muhammad Wislan Arif
Muhammad Wislan Arif Mohon Tunggu... profesional -

Hobi membaca, menulis dan traveling. Membanggakan Sejarah Bangsa. Mengembangkan Kesadaran Nasional untuk Kejayaan Republik Indonesia, di mana Anak-Cucu-Cicit-Canggah hidup bersama dalam Negara yang Adil dan Makmur --- Tata Tentram Kerta Raharja, Gemah Ripah Loh Jinawi. Merdeka !

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kesadaran Nasional (10) Korupsi adalah Pathologi Sosial Indonesia

2 April 2010   23:58 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:01 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Secara Budaya --- penyakit benalu ini harus diperangi seperti Demam Berdarah atau Flu Burung. Secara Politik, Hukum dan Keamanan , penyakit ini harus diperangi seperti Indonesia memerangi Terorisme.Korupsi dengan kelompok marganya, Suap, Kolusi , Nepotisme, dan Pengemisan dengan Pungutan Liar --- Harus dibasmi, kalau memang Negara Indonesia ingin lestari dan Agung.

Hanya Manusia yang diberikan kemampuan membuat “Isyarat” --- yangantara lain melambangkan “apa yang boleh, apa yang tidak boleh --- Untuk apa ? Untuk keselamatan hidup bersama.

Tujuan  Proklamasi 17 Agustus 1945 , dalam Preambule dan Undang -Undang Dasar 1945 amendemen, dan Falsafah Pancasila : di-isyaratkan sebagai Republik Indonesia --- artinya Untuk Kepentingan Umum.

Korupsi dan se-marganya adalah penyakit yang mengancam kepentingan umum. Apakah kita tidak bisa bertindak secara Budaya ?

Secara Budaya pathologi semacam ini di tengah-tengah Masyarakat Indonesia --- tiap hari ditonton di kantor-kantor Birokrasi, di pinggir-pinggir jalan, di Bandara, di Pelabuhan, di Pasar ----- dimana-mana.

Dari berita, dicerna otak dan di-induksi, dideduksi, direfleksi , dan hasilnya adalah : ini penyakit yang menyengsarakan rakyat.

Tidak-kah kamu pahami isyarat itu ?

Dulu semasa Orde Baru Prof. Soemitro Djojohadikusumo mengatakan 30 persen APBN dikorupsi --- sekarang berapa persen ? Kalau tetap angka itu 30 persen, maka ada lebih kurang 300 Triliunan uang haram itu memutar roda ekonomi.

Itulah yang turut mendorong konsumsi masyarakat inonesia, yang berhasil meredam Krisis Financial Amerika Serikat tidak sampai mengobrak-abrik di sini. Tetapi apakah itu syah ?

Tentu tidak --- banyak Anggaran yang harusnya “meng-Ambeg- Parama Artha” kepentingan umum, kepentingan rakyat --- berubah dicuci pada investasi pencucian uang ; memasuki pasar Properti, Pasar Modal dalam bentuk portofolio, Pasar Uang --- yang sepertinya turut menina bobok-kan, dan macam-macam trikmoney-laundring lainnya.  Economics of Corruption !

Uang hasil korupsi itu juga memenuhi pasar gelap yang di-manage kekuatan asing untuk kemudian gentayangan masuk ke pasar modal yang potensial hanya memburu “spread “ bunga tinggi, yang memang subur di pasar Indonesia. Hal ini mudah terjadi di dalam perekonomian Indonesia, yang menganut Rezim Devisa Bebas..

Apakah itu yang menjadi tujuan Indonesia bernegara ?Hanya menguntungkan pihak Koruptor, Spekulan, dan “Hit-man” ?

Gaji dan Tunjangan Tinggi tidak mungkin bisa membatasi Budaya Korupsi --- karena tuntutan yang terus meningkat, sebagaimana digambarkan pada Piramid Heirarchi Maslow.

Apa kamu tidak mengerti ?

Manusia Indonesia setelah memenuhi konsumsi fisiknya --- sebagai orang di-tengah gelanggang globalisasi --- ingin mengaktualisasi dan menyombongkan dirinya menjadi Orang Sukses dalam Material dan Keuangan..

Tidak bisa kamu tangkap “isyarat” itu ?

Untuk membangun Republik Indonesia yang Adil dan makmur --- Pemberantasan Korupsi hanya bisa berhasil, pendekatan Budaya : Hukum Mati !

Jadi saudaraku, pemimpin-ku--- hanya pendekatan Budaya. Contohlah Negeri Cina. Tetapi kalau penyakit ini tetap ingin dipelihara. Mari kita saksikan --- Budaya Retrogresif di tengah bangsa kita. Para pemimpin “bicara”- nya, mimiknya tidak sesuai dengan kata-kata, tidak sesuai dengan isyaratnya..

Apa yang dikatakan tidak sama dengan proses "waktu" --- bahwa ini bukan masalah normatif dan etika dalam korp atau Negara --- ini masalah Budaya, kemampuan manusia membuat isyarat dan membaca isyarat. Hai pemimpin kamu mengisyarat-kan ketida-berdayaan dan kepalsuan.

Sedang Konstitusi Negeri-mu mengisyaratkan “Kepentingan Umum” --- Res Publika.

Itulah berita tiap waktu --- menjadi allegoris --- menjadi film karton, menjadi karikatur.

Asyik sih, tetapi itu isyarat : Amanat penderitaan Rakyat terabaikan !

Pathologi Sosial semacam Korupsi dan sejenisnya harus dibasmi dengan norma hukum yang keras.Hukuman mati ---setelah Republik Indonesia Adil makmur , boleh engkau evaluasi lagi.

Mengerti ?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun