Mohon tunggu...
Muhammad Wislan Arif
Muhammad Wislan Arif Mohon Tunggu... profesional -

Hobi membaca, menulis dan traveling. Membanggakan Sejarah Bangsa. Mengembangkan Kesadaran Nasional untuk Kejayaan Republik Indonesia, di mana Anak-Cucu-Cicit-Canggah hidup bersama dalam Negara yang Adil dan Makmur --- Tata Tentram Kerta Raharja, Gemah Ripah Loh Jinawi. Merdeka !

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Planet Kemiskinan (13) PHK Kesatu dan PHK Kedua

4 April 2010   10:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:00 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kesatu

Mamiek sepanjang malam hampir tidak tertidur --- ia sumuk dan kepanasan, tetapi bukan itu saja masalah yang terus menerus mendera benaknya --- bagaimana, agar bisa menjual empat karung jaket PHK yang didapatnya dari perusahaan yang mem-PHK dirinya.

Besok ke-empat karung itu harus laku dijualnya. Uang belanja mereka telah gawat.

Haji Safar hanya berminat membeli setengah kodi, di pasar Parung, sedang pasar-pasar Bojonggede, Pasar Anyar, Pasar Ciawi --- tidak satu kios pun berminat untuk membeli jaket PHK itu. Memang unik barang itu, ukurannya semua XL --- barang sisa ekspor perusahaan tempat ia bekerja dulu. Barang di dalam karung itu, telah menyita ruang tamunya --- sehingga anak-anaknya tidur bersama ibunya di kamar, Mamiek mengalah tidur di gang menuju dapur.

Ke-empat karung itu harus laku terjual segera --- bukan saja uang belanja mereka telah menipis, tetapi juga anak-anak agar kembali tidur di ruang tamu, seperti biasa kalau malam.

Ketika Pak Jum'at mulai membaca doa bangun tidur dan memberi aba-aba, segera akan sampai waktu Subuh--- Mamiek masih mereka-reka bagaimana menjual barang pesangon PHK itu --- Azan Subuh dikumandangkan Pak Jum'at.

Ia jarang turut sholat berjamaah di Mushala dekat rumah kontrakannya itu --- tetapi pagi ini ia tergerak untuk turut sholat Subuh berjamaah.

Selesai sholat ia tidak langsung pulang tetapi ia turut wirid dan zikir dulu dengan beberapa anggota jemaah. Cahaya terang pagi telah membias di langit timur. Seorang anggota jemaah yang tidak dikenalnya meng-angsurkan tangannya untuk bersalaman.

“Bapak tinggal di mana ?'

“Di rumah petak pak Rudin --- bapak orang baru di sini ?”

“Ya saya baru pindah, menempati rumah Mak Minah --- menggantikan si Ucok”

“O, bapak bekerja apa ?”

“Saya pedagang keliling--- ke daerah-daerah “

“Dagang pakaian ?”

“Ya- macam-macam, apa saja --- saya belanja di Cipulir dan Tegal Gubug --- barang-barang di bawa dan dijual terkadang sampai ke Indonesia Timur, sampai Irian”

Pak Pian tertarik untuk melihat jaket PHK Mamiek --- memang ada juga sedikit simpati mendengar keadaan ekonomi Mamiek, yang sengsara karena PHK.

“Begini yang setengah kodi Pak Mamiek segera jual kepada siapa tadi yang minat, lantas nanti saya pinjami uang belanja untuk di rumah --- barang itu kita bawa ke Gunung Bromo--- biaya angkutan tidak usah dirisaukan, termasuk truk sewaan saya”

Mamiek tidak pernah membayangkan berdagang pakaian --- tetapi karena pesangon "in natura" ini, ia tepaksa berkeliling pasar-pasar menawarkan barang itu --- tidak membawa hasil. Kini ia percaya bahwa Pak Pian akan membimbingnya untuk mencairkan pesangon itu.

“Sudah ayah ikut saja dengan Pak Pian berdagang, mana tahu ini jalan yang ditunjukkan Allah untuk mengatasi kemelut kehidupan kita.”    Itulah pesan dorongan istrinya menjelang Mamiek pamit untuk berangkat ke Cirebon terus ke Jawa Timur  ”membawa dagangannya”.

Kedua

Keluarga Mansyur panik juga --- telah tiga belas tahun ia bekerja di pabrik pembuatan lantai granit itu ---- walaupun selama ini hidup keluarganya terbilang pas-pasan, dari upah di bagian peng-gergajian batu, tetapi ada yang diandalkan untukmembeli pangan mereka. Seluruh pekerja di-PHK karena pabrik tutup ---- pasaran tegel granitnya macet --- setelah segala sisa barang jadi dijual murah, mesin, gerinda, gergaji dan segala peralatan serta mobil truk terjual --- uang pesangon ala kadarnya telah disepakati mereka.

Sebenarnya bukan hanya Mansyur yang tergoncang lunglai --- semua pekerja disitu merasa terpukul, tidak mudah mencari kerja di desa atau di lingkungan kecamatan mereka. Di kecamatan tetangga yang banyak pabrik rotan juga telah banyak yang mem-PHK buruhnya. Di pertanian sudah tidak mungkin lagi mengharapkan pendapatan sebagai buruh tani. Bagaimana pun mereka  harus pergi mencari lowongan.

Ada tawaran pekerjaan bagi Mansyur, yakni bagian memahat batu nisan dan membuat cowek di tetangga desa --- ia bisa berjalan atau menggunakan speda untuk pergi dan pulang bekerja, jadi hemat --- tetapi pekerja harian itu tidak tetap, sangat tergantung pesanan, dan di hitung-hitung upah yang diperoleh pun sangat minim. Antara Rp.15.000 sampai Rp. 20.000 sehari. Ia menyerah saja --- ia tidak mengerti bagaimana nanti cara istrinya menyiapkan makanan untuk mereka ber-enam.

“Bu, kalau ada pekerjaan, bapak bisa mendapat pembayaran Rp. 15.000 atau Rp. 20.000 bu --- itupun kalau ada pesanan bu, Anak-anak sekolah 'kan gratis.”

“Apanya yang gratis pak, ada-ada saja nanti uang sukarela yang diminta, pak”

Dua manusia itu seperti kehilangan kata dan pemecahan --- senyap, kelu dan buntu otaknya. Karena mereka jadi ingat urunan listrik yang juga harus disisihkan --- kalau tidak listrik diputus --- dan anak-anaknya tidak bisa belajar malam-malam.

“ Pak, apa saya jadi pembantu saja pak ?”

“Kalau menginap tidak boleh Rum --- nanti anak-anak dan bapak keleleran lho, kamu cukup-cukupkan-lah sebisa-bisanya...............nanti bapak keleleran. “

Rumisih isteri Mansyur hanya tersenyum, tersipu-sipu. Hanya itu hiburan mereka.

Apa lagi yang bisa diraih mereka ?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun