Ketika Rakyat memanggul senjata untuk mempertahankan NKRI, kita hanya kenal kaum Republikein, atau lawan, Non Republikein.Yang langsung teringat hanya tiga nama Jenderal. Jenderal Besar Sudirman, Jenderal Urip dan Jenderal Gatot Subroto – banyak lagi yang harus diingat dari kalangan tentara saat itu, yang baik-baik.
Terutama yang telah menjadi pahlawan sejati, gugur bersama para pemuda dan, rakyat -- yang pada umumnya tanpa gelar pahlawan.
Kini rakyat juga terbelah antara yang mendukung Konstitusi --- yang mendukungNegara yang berbentuk Republik, dan kaum yang mengarang konsep dan gagasan yang bukan konstitusional.Kaum Republikeinharus menyatakan : Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bertujuan mencapai cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945 – Res Publika,Hanya untuk kepentingan Umum --- mendahulukan Kepentingan Publik.
Kebijakan yang melanggar Konstitusi, Undang-undang, Peraturan dan Ketentuan Hukum adalah tindakan yang tidak Republikein.Itu dia Non Republikein !
Teringat pada sebuah buku.Buku harian seorang wanita yang menjadi perawat pada Jawatan Kesehatan Tentara sekitar 1947 --- keluarganya terpecah dalam kategori Republikein dan Non Republikein (jaman itu berarti Penghianat !).Namanya Roswita T. Djajadiningrat, dengan bukunya Pengalamanku di Daerah Pertempuran Malang Selatan, Balai Pustaka, 1974/1975.
Ia mengalami pengorbanan yang luar biasa, merawat Repbulikien yang menjadi korban --- pemuda, rakyat, prajurit tentara --- ditembus peluru, diangkut dengan berjalan kaki 3-10 kilometer di atas tandu bambu, korban yang putus kaki atau tangannya, mengerang menantikan operasi yang kekurangan obat --- pemuda pejuang yang tiba di rumah sakit darurat sebagai jenazah, dengan kepala bolong dan wajah yang hancur.
Ia menyaksikan itu, dibawah bayang-bayang --- ada anggota keluarganya yang tergolong Non Republikein.
Perang kaum Republikein di jaman itu bukan hanya perang bersenjata --- tetapi juga Perang Diplomatik, di dunia internasional dan di PBB. Itulah kiranya buku itu, barang kali, mengapa di beri Kata Pengantar olehMohammad Roem, Jakarta 25 Maret 1972.
Dalam satu paragraf Mohammad Roemmenulis“……….Tapi ini sudah bukan persoalan keluarga lagi. Seluruh publiksudah mengetahui, bahwadi kedua pihak yang dipisahkan oleh garis demarkasi, terdapat Djajadiningrat-Djajadiningrat. Frank P. Grahamorang Amerika yang menjadi anggota Komisi Jasa-Jasa Baik, dalam pidatonya pada 17 Februari 1946, menyebutkan kedua pihak Djajadiningrat di depan Sidang Dewan Keamanan PBB, tatkala ia memberikan penjelasan mengenai persetujuan Renville. Kedua pihak adalah samasama nasionalis……………..”
Ini gambaran fasilitas bagi perawat-pejuang itu, tanggal “……….8-8-‘47……….Bersama-sama 4 orang gadis tidur di atas balai-balai bambu di sebuah ruangan yang terbuka, tak pakai bantal, seperai maupun selimut. Hawa sangat sejuk, terasasedingin es, yang bertiup dari segala jurusan…………….”
“10-8-’47……….di Dampit, suatu tempat yang terletak di gunung, di mana terdapat sebuah rumahsakit yang penuh dengan orang-orang yang luka………”
“(Jam) 22.30 Pasien-pasien mengalir masuk……………”
He, rasakan kisah ini. “ 11.8.’47……….Sungguh suatu penderitaan yang terasa seperti berabad-abad bagi mereka selama dalam perjalanan sejauh l.k. 10 kilometer !
Amputasi, tulang patah, luka yang menganga, dan sepanjang malam dokter-dokter dan perawat-perawat sangat sibuk……….”
“15-8-’47………Esok lusa adalah Hari Lebaran. Untuk pertama kalinya aku harus merayakannya sendirian, sendirian di tengah-tengah orang yang bukan kerabatku. Aku mempunyai perasaan yang aneh dalam tenggorokanku dan akupun buru-buru lari untuk merebahkan diriku di atas tikarku…………..”
“16-8-’47……….Hari sudah jam 2.12 malam, dan aku baru kembali dari rumahsakit. Seharusnya aku tidur sekarang, karenaesok pagi aku tugas…………”
Ini gambaran situasi perang, “Apakah yang diketahui oleh rakyat kebanyakan tentangpeluru meriam atau mortir. Seperti burung unta orang-orang itu berlindung di balik pohon atau di salah satu pojok rumah…………………………Wanita yang meninggal ini misalnya, berapa banyak orang, anak-anak yang masih harus disuapi dan masih membutuhkannya yang kini ditinggalkannya..Kejam sungguh perang ini. Pemuda-pemudapada pergi, pemuda-pemuda yang masih belum mampu memanggul senapan, belum mampu menembakkannya, yang baru saja lepas dari gendongan ibunya……………..”
Ternyata yang kejam bukan hanya Perang, tetapi juga mereka yang saat ini “menguntungkan dirinya, kelompoknya dan partainya saja --- tanpa sadar turut merampok kekayaan yang harusnya “untuk kepentingan publik”
Republik Indonesia !Rekayo rek .
Membaca buku ini, sungguh mengharukan, air mata bisa berlinang. “……….19-8-’47………
Aku harus menggigit bibirku agar tidak menjerit karena tidak tahan menyaksikan penderitaan itu. Secara otomatis aku membantu dokter. Sesudah gadis ini dibawa masuk seorang wanita dengan lubang di dadanya dan kemudian seorang perajurit dengan kaki yang putus kena tembakan………….”
“21-8-47. Jam 6 sore. Sehari penuh aku pergi dengan Roeli, seorang perawat. Sepuluh kilometer jarak yang kami tempuh dengan cikar, ditarik oleh dua ekor sapi. Kami harus ada di Bangalan untuk memberikan suntikan TCD kepada anggota-anggota militer. Bersama kami turut Bupati Lumajang bersama putera dan sekertarisnya………...”
Biar pun telah merdeka 64 tahun --- karena rakyat masih tetap miskin dan menderita, dan Negeri ini masih tergolong miskin --- banyak negara yang lebih kaya dan makmur, menterinya tidak diberi fasilitas mobil semewah menteri dan pejabat tinggi Indonesia.Tidak malu pada arwah pejuang ?
Ngah Ngooooooooooooooooooooh .Itulah suara dua arwah sapi penarik Cikar pejuang yang menjadi saksi sejarah perang kemerdekaan Indonesia-ku.
Insyafilah teks berikut ini. “21-8-’47…………Siang ini mengobrol dengan Dr. Sumarno. Dia memanggilku dan bertanya mengapa aku sekarang jadi pendiam.
Di Jakarta ia mengenalku sebagai anak yang gembira dan suka tertawa . Ketika itulah aku ceritakan kepadanya, bahwa hatiku penuh dengan persoalan-persoalan yang dapat membikin meledak. Maka dimintanyaaku menceritakan kepadanya dengan terang-terang. Keika itulah akuhujani dia dengan pertanyaan-petanyaan,……….Mengapa rakyat di Jawa Timur menentang kita ? Di Jawa Barat dan Jawa Tengah ini tidak terjadi.
Apakah pasukan-pasukan TNIdi sini tidak dicintai oleh rakyat dan tidak dapat berbuat sedemikian rupa agar dicintai oleh rakyat ?
Adakah mereka terlalu banyak melakukan teror terhadap rakyat ?
Apakah pemerintahan sipil terlalu lemah karena kekuasaan militer lebih menonjol dan mengambil-alih banyak kekuasaan, terlalu banyak ditekan dan dengan demikian menjadi non-aktif untuk sepenuh tenaga memberikan perlindungan kepada rakyat, dan memberikan penerangan mengenai kewajiban-kewajiban suatu bangsa yang merdeka ?
Pagi ini misalnya di Bangalan, jugadi sini militerlah yang berkuasa, mereka melakukan penindasan terhadap semua yang berasal dari rakyat.
Apakah semuanya ini merupakan akibat-akibat penindasan kekuasaan asing selama 350 tahun, hingga sesudah menggantikan kekuasaan mereka lantas bertindak sewenang-wenang ?
Luar biasa nas pemikiran ibu Roswita T. Djajaningrat ini --- di awal kemerdekaan telah berpikir untuk supremasi sipil dalam proses demokrasi -- Kerakyatan yang dipimpin hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan.
Ini suasana pertempuran. “26-8-‘47 “………Hari sudah jam 12.15 tengah malam ! Masih juga terdengar dentuman mortir dan tembakan meriam, diikuti oleh rentetan senapan mesin. Tidak jauh dari tempat ini masih terjadi pertempuran. Mulai jam 5 sore tadi dan belum juga berhenti. Aku bertugas di rumah sakit sampai jam 12.
Jam 8 tadi datang sebuah truk penuh dengan orang-orang yang mendapat luka
Lebih……dari separoh korban-korban itu terdiri dari kaum wanita, anak-anak dan lelaki tua. Semuanya rakyat biasa.hanya 3 orang tentera saja di antara para korban itu……….”
Tragedi tiba. “8-9’47………Pagi ini Imam menilponku dari Ngebruk. Aku sedang mandi, jadi tak dapat menerima tilponnya. Ketika aku baru kembali, Imam sudah menilpun lagi untuk kedua kalinya. Ia harus bicara denganku.
Dalam tilpon kudengar suaranya sungguh-sungguh. Dia berkata, bahwa ia membawa surat-surat dari Jogja untukku. Dengan nada mendesak aku berkata, “Katakanlah padaku, apa yang sebenarnya telah terjadi. Kurasa, kau menyembunyikan sesuatu terhadapku. .“
Dengannada yang luar biasa lemah-lembutnya dia menjawab, ‘Anakku, tenang-tenang sajalah dan tunggu sampai aku tiba’ .Aku jadi begitu gelisah.
Apa yang sudah terjadi. Aku merasa, bahwa ada peristiwa hebat.
Apa yang kutakutkan selama ini ternyata telah terjadi. Aahmad telah gugur. Mengapa harus dia, seorang pemuda umur sembilanbelas tahun, yang baru saja menginjak masa hidupnya yang paling indah ?
Mengapa bukan orang lain, yang tidak mempunyaimasa depan lagi dalam hidupnya ?……………”
Achmad adalah keponakannya, yang ia cegah untuk berangkat dari Jakarta, turut perang mempertahankan kemerdekaan. “Aku ingin menjadi laki-laki, hingga aku akan turut berperang. Tolong persiapkan Mama untuk menghadapi keberangkatanku. Aku baru akan memberitahukannya setengah jam sebelum pergi……….”
Di adegan awal. Percakapan Roswita dengan kakaknya Net, saat pamit akan ikut menjadi perawat di medan pertempuran.“ Apa yang harus kukabarkan kepada Ibu kalau terjadi sesuatu atas dirimu ?
Aku hanya tertawa dan berkata. ‘Benar-benar aku dapat berbuat lain, selain yang kelakukan sekarang ini. Kau sendiri mengirimkan putramu, Achmad ke front.
Mengapa aku, adikmu, tidak kauizinkan ?
Barangkali aku akan berada sama-sama dengan Achmad dalam satu pos.aku berjanji akan memperhatikannya. Biarkan aku pergi. Tidak ada apa-apa…….”
Mari kita semua kembali menjadi Republikein.Gugurkan kesetiaan pada partai-mu. Saat Negara dan Rakyatmu membutuhkan suaramu, hanya suara baktimu. Bukan yang lain !”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H