I
Penculikan bayi. Pencurian bayi. Penculikan dan Pencurian bayi dan anak-anak marak. Pencurian , penculikan dan penjualan orok-orok, bayi dan anak-anak. Marak---antara lain penyebabnya adalah kemiskinan.
I
Begitu azan subuh bergema. Marmo mengambil perkakas kerjanya. Karung, pengait dan seutas tali. Topi yang disampirkan di depan gubug kartonnya tidak lupa disambar dan dikenakan langsung, walau hari masih gelap gulita, baru hampir jam empat. Sekeliling Jakarta masih gelap, lampu penerangan masih terpasang. Marmo merayap ke komplek arealnya. Di sini ia tentram karena wajahnya telah di kenal satpam. Di depan pos ia ia merunduk-runduk memberi hormat---menyatakan kehadirannya di kompleks itu.
Ia mengais di jalan Boulevard arah Utara Selatan---ia belum bertemu satu pun pemulung lain. Memang kalau yang operasi pagi buta, barang kali ada 4 atau lima orang, makin siang makin ramai. Memang ada yang membawa gerobak ada pula yang membawa karung saja, seperti dia. Kaisan pagi buta adalah tumpukan sampah yang dibuang malam hari. Lumayan ada beberapa botol plastik dan kardus terkait. Ia lanjut menuju ke jalan yang sejajar sungai. Di seberang sana ada kompleks elite, tetapi berdampingan dengan daerah kumuh, rumah kontrakan dan kamar kontrakan untuk kaum miskin. Tukang mei, tukang Sol sepatu, penjual main anak-anak, yah-rakyat kecillah. Di sanalah mereka mengontrak kamar atau rumah secara patungan.
Di pinggir sungai ada beberapa bak sampah besar---selalunya pembuangan ranting, daun dan kayu penebangan, tetapi tidak jarang malam hari orang bermobil membuang harta karunnya. Kasur, bantal, baju-baju bodol, ini yang menguntungkan ---sepeda kecil, mobil-mobilan anak dan macam-macam plastik. Harta karun berarti rejeki bagi pemulung. Sementara ia mengais membalik-balik sampah. Ia harus waspada karena hanya bias lampu jalan yang diandalkan. Terdengar suara anak kucing apa tikus. Memang ia biasa berebut sasaran dengan mahluk kucing dan anjing. Tikus pun suka mencicit mengejutkan. Suara lagi---lemah seperti suara anak kucing. Tidak nampak.
O di pojok ada kadus. Di kait lembar penutupnya, hanya suara kucing. Diangkat ke luar bak. Di buka lebar-lebar penutup kardus. Aduh- ya Allah, bayi mungil dalam buntelan jarit. Kepala bergerak-gerak. Langsung tindakan tegas---masukan karung, robek sedikit karung untuk pernafasan. Bayi ini harus diselamatkan---biar ia mendapat kehidupan layak. Marmo berjalan seperti lambat tetapi cepat---kepala lingak linguk ke arah bak-bak sampah---tetapi jalan harus cepat. Selamatkan bayi ! Ia kuatir ada orang mengetahui , ia memungut bayi. Ia kuatir si pembuang bayi mengejarnya. Nafasnya memburu---ia harus terus menyamar, menyusur tepi sungai menyeberang, masuk kampung berliku-liku. Suara anak kucing itu terkadang terdengar ---mungkin ia kehausan.
Hari mulai terang, lalu lintas belum ramai . Ia melewati pasar. Ia tidak berani untuk melihat anak kucing itu. Kuatir dicurigai---lantas ada orang atau polisi memeriksa karungnya. Bila ketahuan ada anak kucing alias si jabang bayi dalam karungnya. Bisa berabe. Ia terengah-engah, mendobrak pintu pondok di tanah menganggur yang ada pondoknya. Pondok kang Juki. Karung dibuka. Udara segar dihirup si jabang bayi.
“Kang Juki bangun “ Marmo berbisik “ Kang, aku nemu orok”
“Ha ?”
“Segera selamatkan---aku kebagian berapa ?”
Dengan berboncengan motor Marmo dan Juki menuju ke Priok.
II
Di pinggir kali itu ada beberapa pohon dadap dan asem kandis---sehingga teduh sekali suasananya. Rumah yang berdempet-dempet sepanjang sungai itu seperti deretan kereta api dari sisi jembatan yang satu di selatan sampai ke sisi jembatan lainnya di utara. Begitu pula di seberang timur. Tak putus-putus deretan rumah. Sedang jalan hanya bisa dilewati motor---kalau dipaksanakan, bajajlah. Cuma pada saat berselisih harus salah satu mengalah ke halaman rumah orang.
Baru saja bajaj mengantar wanita hamil turun diantar seorang wanita lainnya---beberapa wanita hamil, gendut-gendut, seperti sudah dekat waktunya melahirkan. Berbisik-bisik, tertawa dan tersenyum. Memang sekarang jumlah mereka menjadi tujuh orang. Wanita-wanita yang berbahagia yang akan melepaskan tekanan kehamilan dan kemiskinan. Biasa di siang hari yang panas begini mereka duduk santai di pingggir sungai dinaungi pohon dadap dan asem kandis.
Dari sekian rumah yang berderet itu---yang istimewa rumah ini, yang berwarna putih dengan plirit kuning, seperti rumah bersalin. Memang di situ rumah bersalin bagi wanita miskin yang tidak mampu memelihara bayinya, atau wanita yang tidak menghendaki oroknya---karena tidak siap menanggung malu. Bayi itu atau orok itu ada nilainya. Melepaskan tanggung jawab, membebaskan diri dari tekanan sosial atau menembus kemiskinan. Tiga juta kalau bayinya mulus dan sehat !
Mengapa kemiskinan bisa merubah nilai ? Karena kemiskinan membatasi budaya---melebur budaya lama --menjadi nilai baru. Anak di masyarakat agraris mempunyai nilai strategis sebagai tenaga kerja, di samping penerus keturunan. Kini di masyarakat miskin perkotaan, anak adalah komoditi untuk menghasilkan sesuatu atau uang dengan cepat dan cair. Di lingkungan masyarakat miskin, anak harus menghasilkan setiap hari atau mereka mempunyai nilai jual sebagai cash.
Mata rantai jual beli orok-bayi dan anak-anak. Mulai dengan penculikan, pencurian dan muaranya diperjual belikan untuk motif akhir yang bermacam-macam. Bukan rahasia lagi ! Di mana itu berlaku ? Di dalam masyarakat kita---di bawah tanah, remang-remang dan gelap.
Sekarang mereka bertujuh lagi. Tiga hari yang lalu Warsem baru saja melepas oroknya untuk di tampung entah di mana oleh panti atau yayasan yang akan merawat orok atau bayinya. Untuk menanti transaksi. Warsem sang ibu dirute dulu ke Serang untuk istirahat sebelum menerima uangnya.
“Berapa bulan mbak ? tanya Semi kepada Neera, kawan barunya
“Saya dengar di sini hanya menerima umur delapan bulan, ya mbak ? Semua menangguk.
Rumah ini memang hanya menerima kehamilan delapan bulan. Karena mereka dijamin selama hamil dengan menu yang sehat selama menanti kelahiran oroknya. Ada bidan dan terkadang dokter memeriksa kesehatan mereka.
“Anak ke berapa ini mbak ?” tanya Kesti
“Anak pertama—saya kuatir dan sayang sebetulnya, tetapi bapaknya tidak bisa bertanggungjawab. Bapaknya Bos saya, sudah berkeluarga---saya juga tidak mungkin terbuka pada orang tua saya di Lumajang. Saya dengar dari teman saya ---yang pernah di sini juga. Anak dari sini terjamin hari depannya karena akan diasuh oleh orang tua yang membutuhkan anak” Neera meneteskan air manya.
Semua hening, biasa begitu di sini---ibu-ibu itu mudah terharu dan menangis. Neera hanya bisa menangis dan mengelus-elus perutnya.
“Ini lebih jauh lebih baik, dari pada membuang bayi dalam kardus ke tempat sampah. Orok bisa dirubung semut dan lalat mbak” Neera menangis sejadinya. Kesti memeluknya dan semua ibu-ibu itu menghiburnya.
“Mati kedinginan dan haus “ Neera menangis sejadinya.
Ibu-ibu yang menyerahkan nasibnya ke situ tidak tahu anak mereka dibawa kemana. Mereka hanya tahu mereka harus teken ini itu dan kemudian ditetirahkan ke Serang. Lantas masuk kembali ke jalur semula. Jalur kemiskinan atau dunia yang munafik. Semua orang tertegun membaca running text di televisi : 72 bayi diculik dari Rumah Sakit selama tahun 2009 ( itu yang di atas tanah---yang di bawah tanah belum dilaporkan). Hi !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H