Sejak tahun 1961 Bung Hatta telah mengingatkan kita agar mencegah ---korupsi jangan membudaya---kini 2009 korupsi telah membudaya. Mencuri orang masih malu, tetapi menjadi koruptor mereka cengengesan, tidak tahu malu ! Mendapat wewenang dan kehormatan semu dengan jalan korupsi menjadi “way of life”---merekayasa hukum dan segala sistem sosial di Indonesia-ku, bukan pekerjaan hina dan menghinakan. Rakyat lapar, kurang makan, kemungkinan kurang makan---macam-macam tabir asap diciptakan. Bukan pemecahan yang lugas dan terhormat ! Oh.
Serial ini akan merunut kembali kekayaan budaya berfikir Indonesia-ku, “message” nenek moyang hingga pemikiran Bapak Republik dan para Budayawan mutakhir. Gerakan Reformasi tahun 1998 adalah kesempatan “koreksi” terhadap kehidupan berbangsa. Tetapi yang dikembangkan kini justru. Tabir Asap ! Mata kita dibutakan dengan angka-angka dan harapan semu tidak meyakinkan. Bangsa ini bisa gagal, dan masuk dalam perangkap PBB, sebagai bangsa naif---di bawah pengampuan. Mau ? Kaum Republiken tidak mau. Mengerti !
Berantas-lah korupsi dengan tegas dan lugas---bukan karena sumber daya yang tak terkendali, tetapi “korupsi” telah menghina anak bangsa ini, menjadi labi-labi di negerinya sendiri !
Adalah sejarah yang dinukilkan secara naluri dan adat bangsa-ku. Budaya, Ada yang memerintah-- Ada pula yang menjadi rakyat---apatah derajatnya kaya atau jelata. Itulah yang dinamakan Amanah. Apakah Golongan Menengah---apakah Murba---apakah Manajer atau Pengusaha---apakah Marhen---apakah Birokrat---apakah Buruh papa, Tani yang turun temurun tetap miskin saja. Inilah Ampera, Amanat Penderitaan Rakyat……………………
Di Bukit Seguntang, yang terletak di tengah Sungai Tatang. Sungai itu berhulukan Gunung Mahameru, di Palembang. Di sekitarnya terdapat suatu kawasan yang dinamakan “Melayu”. Konon dari sinilah puak suku Melayu berasal---kemudian menyebar ke seluruh pantai-pantai Kepulauan Nusantara, termasuklah Semenanjung Tanah Melayu dan se-antero negara Asean ! Tata Adat dan Pemerintahan terdapat dalam bentuk sastra Melayu yang tercantum dalam Sejarah Melayu. Yang ternukil dalam berbagai media paradigma berpikir nenekmoyang orang Melayu. Ada yang bersifat Legendaris, Mitologis, Kronikel Sejarah, Dongeng Bijak Bestari, Adat-Nasab-Prilaku, Epos Kepahlawanan dan Penghianatan, Referensi Relijius : Hindu, Buddha dan Islam, melahirkan Budaya Berpikir dan Sistem Sosial Etnografis---tentulah ada “message” yang bersifat kontemporer. Yakni bersifat Politis.
Sejarah Melayu ditulis untuk menegakkan kebesaran dan kedaulatan Raja-raja Melayu---Raja berwewenang berbuat apa saja, sebaliknya Rakyat harus setia dan menyerah ke-duli Yang Di Pertuan Agung. Tetapi taat setia kepada rajanya bukanlah berdasarkan paradigma, bahwa raja adalah dewa atau titisan dewa, tetapi karena ada “Kontrak Politik”, perjanjian yang dibuat antara SriTri Buana, Raja Melayu yang pertama, dengan Demang Lebar Daun---mewakili rakyatnya, orang Melayu. Dengan Perjanjian ini, Sri Tri Buana bersumpah tidak akan memberi aib kepada rakyat Melayu; sebaliknya Demang Lebar Daun bersumpah, bahwa rakyat Melayu tidak akan mendurhakai dan memalingkan wajahnya (berkhianat) dari Sang Raja. Tetapi, ingat Adagium Hang Jebat di kemudian hari, pada Serial (01)--- “Raja Adil raja disembah, Raja lalim (zalim) raja disanggah”.
Raja atau Pemerintah yang tidak menjalankan Konstitusi---berarti membuat kerusakan---apatah lagi membuat aib dan kehinaan bagi rakyatnya---menjadikan rakyat sebagai labi-labi---menyuruk-nyuruk dalam kumbangan IPOLEKSOSBUD HANKAM yang makin retrogresif dan naif. Pahit sekali saudara-ku !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H