Mohon tunggu...
Muhammad Wislan Arif
Muhammad Wislan Arif Mohon Tunggu... profesional -

Hobi membaca, menulis dan traveling. Membanggakan Sejarah Bangsa. Mengembangkan Kesadaran Nasional untuk Kejayaan Republik Indonesia, di mana Anak-Cucu-Cicit-Canggah hidup bersama dalam Negara yang Adil dan Makmur --- Tata Tentram Kerta Raharja, Gemah Ripah Loh Jinawi. Merdeka !

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Serial Mini Cerpen (06) Istri Muda

9 Desember 2009   09:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:00 681
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari beranda di lantai dua Imas memandang lepas ke arah selatan---lahan empat hektar yang dulunya menguning menjelang panen, kini bukan milik mereka lagi. Tetapi beranda itu tetap menjadi tempat favorit  suaminya dan dia. Suaminya Pak Marna, 64 tahun, orang kaya yang beken, tuan tanah dan pengusaha yang ampuh. Tiga kabupaten di sekitar Pantura mengenalnya sebagai pengusaha, tokoh politik dan penguasa efektip menundukkan para bajingan di Pantura. Tetapi itu dulu, kini pamornya mulai redup sejak panggung kekuasaan-nya di bidang  ekonomi, politik dan kriminal di sana perlahan tetapi pasti, pengaruhnya telah berkurang. Perlahan “fade away”.  Sudah tujuh tahun ini ia sakit-sakitan. Keluar masuk rumah sakit. Diabetes menggrogoti satu per satu organ tubuhnya.

            Pak Marna baru dimandikan Imas. Ia merasakan kesegaran pagi---apalagi rawatan rutin itu dikerjakan oleh isterinya dengan ikhlas, dari memandikan sampai menyuntikkan insulin. Menyiapkan obat dan, yang selalu menyegarkan hatinya adalah kesetiaan yang dipantulkan dengan pengabdian Imas. Tetapi ia menyadari perkawinan itu stabil hanya 4 sampai 5 tahun saja. Ia sadar itu. 

            Ia mengawini Imas pada umur sekitar 17 tahun, ia sendiri sudah 52. Imas isteri kedua-nya---isteri pertamanya kemudian meninggal setelah ia melakukan poligami. Memang mereka bertiga hidup rukun dan kompak, tetapi isteri yang memberinya empat anak itu meninggal karena demam berdarah.  Pak Marna memang menyadari sudah tiga tahun ini ia tidak menafkahi batin Imas---sebelumnya ia masih melayani kewajiban-nya karena  libidonya masih tersisa, ada caranya ia melakukan kewajiban itu. Tetapi tiga tahun ini libido pun sudah tidak muncul. Wadduh !

            Sewaktu Imas dinikahi Pak Marna, ia sebagai janda yang bekerja di toko barang kerajinan.  Imas memang dari keluarga msikin dari desa yang didiami penduduknya yang mayoritas buruh tani---apabila tidak ada kerjaan di desa, kaum lelaki desa itu pergi ke Jakarta menjadi buruh borongan kerja kasar. Yang wanita banyak menjadi TKW. Imas beruntung begitu dewasa mendapat pekerjaan di pabrik tekstil. Dan kawin sebagai pasangan buruh kecil, dan tinggal di kamar kontrakan. Pabrik bangkrut, PHK melanda, pasangan itu goyah---ekonomi memaksa mereka bercerai. Imas cantik, tetapi pribadinya kokoh, pantang menjadi wanita bayaran.  Dan ia tidak mau menumpang pada saudaranya---yang paling-paling ia menjadi pembantu tanpa gaji. Ia mencari  pekerjaan apa saja, asal halal ---dapat makan dan tempat berteduh. Rejekinya mulus, ia dapat lowongan sebagai penjaga toko.

            Yang mengatur perkawinan dengan Pak Marna, adalah pemilik toko---Hajah Asminah, yang melihat budi dan kelakuan baik Imas.  Imas pun menerima lamaran Pak Marna bukan saja karena kegantengan dan kekayaan Pak Marna---tetapi kesempatan itu sesuai dengan cita-citanya “keluar dari kemiskinan”. Ia ikhlas.

              Mimin Rusmini, isteri pertama Pak Marna, juga setuju perkawinan itu. Menjadi muluslah peranan Imas turut membantu mengelola empat restoran mereka. Hidup makmur dan bahagia. Sepeninggal isteri pertamanya, Pak Marna langsung membagi-bagi sebagian besar hartanya kepada ke-empat anaknya yang sudah pada kawin. Diucapkannya, bahwa restoran yang mereka diami ini untuk Imas. Jadilah Imas potensial menjadi wanita kaya, de fakto emas perhiasan dan tabungan ia punyai. Saat ini ia berumur menjelang 30 tahun. Ranum !

            Bukan masalah seksual yang mendera Imas. Yang menghantui hidupnya saat ini bukan penyakit suaminya, tetapi hasratnya ingin mempunyai anak. Anak baginya adalah hari depannya. Wah, cerdas dia.  Tetapi juga wajar kalau Pak Marna menyadari bahwa istri mudanya, saat ini menderita karena kehidupan seks mereka sudah tidak normal.  Ia paham psikologi wanita muda. Imas dilihatnya layu seperti pohon-pohon di tepi jalan pantura di musim kering. Ah !

            Banyak pria muda, beristeri atau pun bujangan yang menggoda Imas---di restorannya atau pun mencegatnya sewaktu belanja, bahkan sewaktu ada kesempatan ia mengurus suaminya di rumah sakit atau ke dokter. Eh, dokter pun ada yang kepincut padanya. Tetapi ia mempunyai prinsip mencari yang bujangan --- jangan lagi menjadi isteri muda. Yang ia tuju saat ini, ingin punya anak dan hidup tenang dalam rumah tangga. Itu idamannya yang wajar. Godaan pria terhadap Imas juga disadari Pak Marna. Itu wajar !

            Berbulan-bulan Imas mempertimbangkan, merenungkan, pergolakan rasa cinta-kasihan-sayang-cemas-rasa iba-kebimbangan-dan bayang-bayang kehidupan masa lalu dan masa depan. Ia kira-kira telah memilih salah satu pria idaman itu. Terkadang Pak Marna juga menemukan Imas tertemung-bengong atau seperti pelupa. Ia paham apa dipikirkan Imas. Kira-kira.

            Harta Pak Marna memang makin berkurang. Banyak faktor luar yang juga mempengaruhi bisnisnya, seperti pembangunan jalan tol, telah merubah rute perjalanan mobil yang melewati restoran-restorannya. Bisnis luar yang lain juga sangat terpengaruh dengan kesehatan fisiknya. Ia sudah jarang dan tidak sanggup melakukan perjalan bisnis antar kota. Untuk menjamin dan mengobati penyakitnya tidak ada jalan lain kecuali melikuidasi aset-asetnya. Ia lebih banyak merenung di beranda lantai atas rumahnya. Ruang lantai atas itu terdiri dari kamarnya berdampingan dengan  kamar Imas. Dihubungkan dengan “connecting door” . Dia turun dari lantai atas hanya untuk acara memanaskan mobilnya, ia telah lama tidak mengemudikan mobil. Bahkan sekarang ia  turun naik harus dipapah dan dituntun oleh Imas, atau Rusilah—pelayan di restorannya, tetapi lebih banyak oleh Pak Kus, tukang kebunnya.

            Pagi itu Imas menyingkapkan gordyn di dua bidang kamar Pak Marna, satu menghadap ke jalan raya, yang satu ke lapangan parkir restoran. Pak Marna dibimbing Imas untuk di mandikan. Memang saat begitu masih ada canda suami isteri. Imas memang pintar mengajuk hati suaminya. Saat demikianlah yang menghibur hati Pak Marna. Kemudian suami isteri itu duduk berdekatan di beranda. Bagi Imas bisa melihat lepas jauh ke bidang pepohonan di timur, juga ada kolam pemancingan di situ atau ke selatan. Ada sawah luas di sana. Bagi Pak Marna, kini jarak pandang jauh, tidak terlihat---hanya bayang-bayang berkas cahaya, penglihatannya sudah sangat terbatas. Dokter telah menyatakan, seperti juga dulu ia mendengar cerita orang, bahwa diabetes bisa membutakan. “Bapak………. saya tidak akan lari dari sisi bapak, tetapi rasanya kita harus bercerai---agar Imas bisa kawin lagi, betul bapak Imas menginginkan anak---setelah berumur 35 tahun konon wanita berbahaya hamil dan melahirkan”. Itulah kalimat yang paling sukar dikeluarkannya setelah bercerita macam-macam sambil berlutut, dan memeluk lutut suaminya. Imas menangis. Walau perbincangan itu telah dipersiapkan berpekan-pekan lamanya. Ia terharu. Menyesal. Sesak ingin pingsan rasanya.

            Lama kedua manusia itu tidak bersuara. Pak Marna merenung dan meneteskan air mata. “Mas, bapak menyadari dan ikhlas atas alasanmu tadi. Tetapi isteri lain atau wanita yang kubayar untuk merawatku pasti tidak seikhlas yang kamu kerjakan Mas.  ” Bukan saja hartaku akan habis, rasanya nyawaku juga………..akan berakhir, tetapi kapan?”        Imas menangis sesenggukan. “Mas, kamu pantas aku ceraikan, kamu sangat menderita………dan wajar kamu menginginkan anak---wajar”

            “Calon-calon yang kudengar—janganlah, mereka itu semuanya buaya, penipu---dan kamu akan terkecoh saja nanti”     Imas hanya terdiam.     “Tetaplah kamu bersama bapak di sini, seperti anak-ku sendiri---tetapi kamu berpikirlah yang aman, bapak ada usul, ini telah bapak pikirkan berbulan-bulan”.     Imas masih memeluk paha suaminya dan meletakkan kepalanya  di lutut Pak Marna.

            “Bapak telah lama mengenal Udin, ia anak yatim piatu---rajin, patuh dan  sekarang ia telah bisa menjadi mekanik, semua truk dan mobil kita ia yang memeliharanya. Ia anak jujur, anak Jawa Timur, ia tidak mempunyai sanak keluarga di sana, maka ia jarang pulang lebaran ke sana            Mereka terdiam. Menerawang dengan pikiran masing-masing.

            “Kamu telah mengenalnya lama to. Pacaranlah dengannya. Bapak menjamin ia calon terbaikmu. Ia masih bujangan”   Imas memang mengenal Udin. Ia lugu, mereka selama ini berjarak karena bersikap seperti majikan dengan anak buah.

            “Pacaranlah dengannya, bapak ikhlas “.

            “Suruh anak-anak bereskan kamar bapak di lantai bawah paling ujung di depan kolam, bapak akan pindah ke sana”.   Imas mengadahkan wajahnya. Mereka tersenyum. Dan Imas mengecup lembut lutut suaminya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun