Mohon tunggu...
Muhammad Wislan Arif
Muhammad Wislan Arif Mohon Tunggu... profesional -

Hobi membaca, menulis dan traveling. Membanggakan Sejarah Bangsa. Mengembangkan Kesadaran Nasional untuk Kejayaan Republik Indonesia, di mana Anak-Cucu-Cicit-Canggah hidup bersama dalam Negara yang Adil dan Makmur --- Tata Tentram Kerta Raharja, Gemah Ripah Loh Jinawi. Merdeka !

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Serial Mini Cerpen (02)

26 November 2009   01:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:11 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku tidak pernah membayangkan ia bisa menangis demikian, kubiarkan ia menangis dengan membungkuk-kan tubuhnya ke tangan kursi rodanya. Dia masih bisa berbicara jelas, Cuma barangkali memori-nya lemah. Mengapa ia menghubungkan dirinya dengan kota Miri ?

"Kalau aku sehat ingin aku ke sana, Don" Tampak ia ringkih sekali---ke-macho-an dan kegagahan-nya telah lenyap.

"Ya, kau akan ku bawa ke sana. Sehatkan badan-mu"

"Don, lama ini dalam kenangan-ku Don, timbul tenggelam, pahit---pahit sekali. Aku beruntung dipertemukan denganmu Don"

"Tuhan memberi kesempatan bagiku". Ia menangis dalam, badan-nya bergoncang hebat. Aku hanya memeluk dan mengelus tubuhnya. Orang berkerumun melihat adegan ini. Kami berada di apotik Rumah Sakit . Aku tercekam dalam keharuan yang dalam. Karena orang ini adalah orang hebat---sekarang ia rapuh. Apa yang harus kuperbuat ?

Ia mengangkat wajahnya, matanya merah basah, disekanya wajahnya. "Don, kalau kamu ke Miri lagi. Aku harap cobalah cari kuburan anggota pleton-ku. Kuburan mereka di tepi pantai yang pasirnya putih di selatan Miri, dari kota kira-kira lima belas kilo meter". Aku, Don Quixote juga heran mengapa aku pernah sampai ke tempat itu, memang pemandangan-nya indah ke arah Laut Cina Selatan. Tetapi sunyi tidak ada bangunan, sepi entah ke arah mana jalan aspal ke selatan menyusur pantai indah itu. Aku benar-benar heran mengapa dulu aku tercekam memandang ke arah kuburan di tepi pantai itu.

"Ini amanat-ku Don---semua orang tahu di situ ada kuburan sukarelawan Indonesia tiga orang, jenazah pahlawan !"

Apa yang diceritakan Martens, mudah tergambar dibenak-ku. Pleton sukarelawan yang menyusup ke Miri itu dipimpin Martens. Mereka gugur atau tertangkap tentera Inggris. Mungkin di masa Dwikora, pantai itu memang tempat penyusupan yang strategis dan dekat dengan Kilang Minyak Serawak, Kalimantan Utara. Kisah operasi Dwikora memang heroik, berani, tetapi siapa menyatatnya, siapa yang mampu mengenangnya, kecuali mereka yang secara psikologis mengalami kegagalan operasi semacam itu.

Untuk kedua kali aku berdiri di tempat itu, kali ini lebih dekat ke kuburan---tidak satu pun orang Miri tahu dan mengerti di situ ada jasad Sukarelawan Indonesia terkubur. Aku menangis seperti Martens, di kuburan putera bangsa-ku. Aku percaya dan yakin memang ada jasad mereka di sana. Aku bacakan Al Fateha dan tahlil untuk arwah teman seperjuangan sahabatku. Martens Matanduk !

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun