Mohon tunggu...
Sigith Prabowo
Sigith Prabowo Mohon Tunggu... -

i'm the master of my fate, and i'm the captain of my life [Nelson Mandela]

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Mendidik Anak tanpa Kekerasan

17 Januari 2011   08:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:29 562
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="ilustrasi"][/caption] kemarin saya sempat terdiam kala membaca sebuah artikel di yahoonews. beritan tentang salah seorang artis yang ternyata sempat memenjarakan ketiga anaknya, bahkan salah satunya dimasukkan ke Rumah sakit Jiwa (RSJ). sang artis beralasan bahwa hal itu dilakukan demi mendidik sang anak. agar anak-anaknya patuh dan tidak berbuat yang tidak diinginkan olehnya. dan juga, hal ini dilakukan sebagai cara untuk menghukum si anak dari kesalahan-kesalahannya. langsung muncul sebuah pertanyaan dalam benak saya, apakah dengan "kekerasana" akan membuat si anak menjadi anak "ideal"? jawaban saya tidak. mengapa? karena anak, terutama anak yang masih "bocah" seperti anak-anak si artis, akan menyimpan semua hal buruk yang diterimanya hingga nanti dia dewasa, bahkan sampai tua. okela si anak menjadi "patuh", tetapi itu lebih karena takut, bukan karena sadar akan kesalahannya. dan pengalaman buruk yang diterimanya akan menjadi sebuah bom waktu yang siap meledak setiap saat. sebuah gangguan psikologis pun bisa muncul karena nya. atau bahkan malah si anak menjadi seorang kriminal di kemudian hari. karena jika melihat dari sisi psikologi, anak-anak merupakan fase perkembangan "meniru". nah, kejadian-kejadian buruk yang dialaminya bisa jadi akan terulang di kemudian hari, bukan sebagai korban, tetapi sebagai pelaku. sebab, si anak meniru apa yang terjadi padanya di masa kecil. contoh yang lain adalah seorang anak yang mengalami perpecahan kepribadian menjadi 16 pribadi yang berbeda. anak bernama sybil (bisa dicari bukuny di toko buku jika ingin cerita lengkapnya) mengalami split personality karena semenjak kecil mengalami kekerasan dalam rumah tangga oleh ibunya. dia hanya bisa nyaman ketika bersama neneknya. tetapi kala sang nenek wafat, sybil seolah kehilangan pegangan hidup. dan semua rasa tertekan yang dipendamnya (karena ada si nenek) lepas begitu saja karena kehilangan orang yang bisa menenangkannya. sehingga muncul 16 kepribadian yang semuanya berbeda. nah, dari dua contoh di atas bisa kiranya kita mengambil pelajaran dalam mendidik anak. utamanya mendidik anak itu dengan menanamkan pemahaman dan ketegasan. bukan dengan menanamkan "ketakutan". boleh saja kita keras terhadap anak, tetapi setelah itu anak harus diberi pemahaman mengapa dia sampai di kerasi. tetapi selagi sang anak bisa diberikan pemahaman, jangan mendahulukan kekerasan. dan ketegasan berbeda dengan kekerasa. itu yang perlu diingat. selain itu, mendidik dengan memberi contoh adalah cara yang baik. karena anak-anak merupakan makhluk yang gemar melakukan imitasi (karena itu merupakan masa perkembangannya), maka contoh yang baik dari orang tua serta lingkungan merupakan hal terbaik yang akan menjadikan si anak pribadi yang matang. salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun