Mohon tunggu...
Muzakky
Muzakky Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya seorang penggemar teknologi dengan minat mendalam terhadap inovasi. Selalu tertarik mengikuti perkembangan terbaru di dunia teknologi, baik dari sisi perangkat keras maupun perangkat lunak. Saya percaya bahwa teknologi adalah kunci untuk menciptakan masa depan yang lebih baik.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Penipuan Online di Indonesia: Analisis Data Mining untuk Pencegahan Efektif

6 September 2024   19:36 Diperbarui: 6 September 2024   19:39 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penipuan Online di Indonesia: Analisis Data Mining untuk Pencegahan Efektif

Penipuan online atau cyber fraud telah menjadi ancaman yang signifikan di era digital, terutama di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Dengan semakin meningkatnya penggunaan internet dan media sosial, seperti Instagram dan WhatsApp, peluang bagi penjahat siber untuk mengeksploitasi celah keamanan juga semakin besar. Berdasarkan artikel ilmiah yang ditulis oleh Sunardi dkk. Perdana Kusuma (2023), Indonesia menghadapi lonjakan kasus penipuan online yang disebabkan oleh kurangnya kesadaran pengguna tentang keamanan siber.

Dalam survei yang dilakukan terhadap 1587 partisipan, ditemukan bahwa 1220 orang telah menjadi korban penipuan online, yang menunjukkan betapa rentannya masyarakat Indonesia terhadap kejahatan siber. Fakta ini diperparah oleh kenyataan bahwa mayoritas korban (49,75%) adalah mahasiswa, yang sering kali menghabiskan lebih dari 4-8 jam sehari di internet.

Artikel ini memberikan gambaran yang jelas tentang bagaimana data mining dapat digunakan untuk memprofilkan korban penipuan online, dengan menggunakan algoritma seperti Nave Bayes, Decision Tree, dan Random Forest. Profiling korban penipuan ini sangat penting untuk meningkatkan upaya pencegahan kejahatan dunia maya, terutama karena banyak pengguna di Indonesia belum memahami pentingnya keamanan akun digital mereka.

Sebagai contoh, hanya 29,2% dari korban kejahatan siber yang melaporkan insiden yang mereka alami, mencerminkan rendahnya tingkat kesadaran dan pelaporan kejahatan siber (Alzubaidi, 2021). Dengan demikian, pendekatan berbasis data mining yang diusulkan oleh penulis dapat membantu mengidentifikasi kelompok rentan dan memfokuskan upaya intervensi untuk mengurangi insiden penipuan online di masa mendatang.

***

Pendekatan data mining yang digunakan dalam penelitian Sunardi dkk. Perdana Kusuma (2023) sangat relevan dalam konteks meningkatnya kasus penipuan online di Indonesia. Mereka memanfaatkan tiga algoritma data mining utama, yaitu Nave Bayes, Decision Tree, dan Random Forest, untuk mengklasifikasikan profil korban berdasarkan data sosiodemografis. Dengan menggunakan 1587 data partisipan yang telah dibersihkan, algoritma ini berhasil menunjukkan kinerja yang signifikan, dengan akurasi tertinggi mencapai 77,3% pada model Nave Bayes dan Decision Tree.

Metode ini tidak hanya mampu memberikan prediksi yang akurat, tetapi juga membantu mengungkap pola di balik kerentanan pengguna terhadap penipuan online. Data menunjukkan bahwa kelompok usia 23-28 tahun, yang mendominasi sekitar 35% dari korban, menjadi sasaran utama para penjahat siber. Hal ini menunjukkan bahwa kaum muda, yang sering kali lebih aktif di media sosial dan kurang menyadari risiko keamanan, lebih rentan menjadi korban.

Selain itu, ditemukan bahwa 726 korban (sekitar 59,4%) adalah perempuan, yang menyoroti adanya kesenjangan kesadaran keamanan antara pengguna pria dan wanita di Indonesia.Penelitian ini juga menyoroti peran media sosial sebagai platform utama untuk penipuan, dengan Instagram dan WhatsApp menjadi alat yang paling sering digunakan oleh penjahat siber. Sebanyak 699 pengguna Instagram dan 691 pengguna WhatsApp telah menjadi korban. Fakta ini mencerminkan perlunya edukasi lebih lanjut mengenai penggunaan fitur keamanan di media sosial, seperti autentikasi dua langkah dan pengelolaan kata sandi yang aman.

Dalam konteks global, tingkat kesadaran keamanan dunia maya di Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara lain. Misalnya, penelitian oleh Alzubaidi (2021) menunjukkan bahwa hanya 31,7% pengguna di Arab Saudi yang menggunakan Wi-Fi publik tanpa proteksi, sementara di Indonesia, jumlah pengguna yang tidak mempedulikan keamanan data pribadi melalui media sosial masih jauh lebih besar. Hal ini menunjukkan adanya kebutuhan mendesak untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya keamanan digital.

Meskipun artikel ini memberikan kontribusi yang besar dalam memahami profil korban penipuan online di Indonesia, masih ada ruang untuk perbaikan. Misalnya, penelitian di masa depan dapat memperluas cakupan dengan melibatkan lebih banyak variabel, seperti perilaku online yang lebih spesifik dan preferensi penggunaan aplikasi. Selain itu, studi longitudinal juga dapat dilakukan untuk memahami bagaimana kebiasaan digital pengguna berkembang seiring waktu, dan bagaimana perubahan tersebut mempengaruhi kerentanan mereka terhadap kejahatan siber.

***

Secara keseluruhan, penelitian yang dilakukan oleh Sunardi dkk. Perdana Kusuma (2023) memberikan wawasan yang sangat penting dalam memahami profil korban penipuan online di Indonesia. Dengan menggunakan algoritma data mining seperti Nave Bayes, Decision Tree, dan Random Forest, mereka berhasil mengidentifikasi faktor-faktor demografis yang mempengaruhi kerentanan pengguna internet terhadap kejahatan siber. Dengan tingkat akurasi mencapai 77,3%, pendekatan ini terbukti efektif dalam memberikan prediksi yang dapat digunakan untuk pencegahan.

Namun, upaya ini tidak berhenti pada hasil penelitian saja. Untuk mengatasi masalah yang lebih besar, diperlukan tindakan yang lebih konkret, seperti kampanye kesadaran keamanan siber secara nasional dan peningkatan perlindungan pada platform media sosial yang banyak digunakan oleh korban. Dengan mengedukasi masyarakat, terutama kelompok usia muda dan perempuan yang paling rentan, Indonesia dapat mengurangi jumlah korban penipuan online di masa mendatang.

Penelitian ini adalah langkah awal yang baik, tetapi ke depannya, upaya kolaboratif antara pemerintah, penyedia layanan digital, dan masyarakat sangat dibutuhkan untuk menciptakan lingkungan digital yang lebih aman dan terlindungi. Dengan profil korban yang semakin jelas, kita kini memiliki alat untuk fokus pada pencegahan, melindungi masyarakat dari ancaman dunia maya yang semakin kompleks.

Referensi

Sunardi, Fadlil, A., & Kusuma, N. M. P. (2023). Comparing data mining classification for online fraud victim profile in Indonesia. INTENSIF: Jurnal Ilmiah Penelitian dan Penerapan Teknologi Sistem Informasi, 7(1). https://doi.org/10.29407/intensif.v7i1.18283

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun