Mohon tunggu...
Muza Iman
Muza Iman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Universitas Brawijaya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Permasalahan di Indonesia

15 April 2021   19:45 Diperbarui: 15 April 2021   19:49 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia merupakan negara yang merdeka sejak Bung Karno membacakan dan menandatangani naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia. 

Akan tetapi jika dilihat dari segi realitanya apakah Indonesia bisa disebut sebagai negara merdeka?. Menurut saya ada beberapa masalah di Indonesia yang membuat Indonesia bisa dikatakan sebagai negara yang belum merdeka dalam beberapa hal.

Permasalahan yang pertama adalah pemerintahan Indonesia terutama pada lembaga penyusun Undang-Undang di Indonesia yaitu Lembaga Legislatif. 

Lembaga Legislatif adalah wadah masyarakat dalam menyampaikan aspirasi mereka karena Lembaga Legislatif adalah lembaga yang mewakili rakyat dan dekat dengan rakyat. Anggota Legislatif perlu memiliki wawasan kebangsaan yang tinggi, kemampuan komunikasi yang baik dan memiliki sikap jujur agar dapat dipercaya oleh masyarakat. 

Akan tetapi dalam kenyataan, banyak Anggota legislatif di Indonesia yang tidak memiliki kemampuan-kemampuan yang disebutkan. 

Ini bisa saja terjadi karena persyaratan untuk mengikuti Pemilihan Legislatif yang kurang mampu untuk menyaring calon anggota Legislatif yang bermutu. Berikut ini adalah persyaratan untuk menjadi anggota legislatif menurut Undang-undang Nomor 8 tahun 2012  :

  1. Telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih.
  2. Bertakwa kepada Indonesia Yang Maha Esa.
  3. Bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  4. Cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia.
  5. Berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah atas, madrasah aliyah, sekolah menengah kejuruan, madrasah aliyah kejuruan, atau pendidikan lain yang sederajat.
  6. Setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945.
  7. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
  8. Sehat jasmani dan rohani.
  9. Terdaftar sebagai pemilih.
  10. Bersedia bekerja penuh waktu.
  11. Mengundurkan diri sebagai kepala daerah, wakil kepala daerah, pegawai negeri sipil, Anggota Tentara Nasional Indonesia, Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, direksi, komisaris, dewan pengawas dan karyawan pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah atau badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara, yang dinyatakan dengan surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali.
  12. Bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat/pengacara, notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), atau tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai Anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  13. Bersedia untuk tidak merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, direksi, komisaris, dewan pengawas dan karyawan pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara.
  14. Menjadi Anggota Partai Politik Peserta Pemilu.
  15. Dicalonkan hanya di 1 (satu) lembaga perwakilan; dan
  16. Dicalonkan hanya di 1 (satu) daerah pemilihan.

Dikutip dari : https://news.detik.com/berita/d-2154868/ini-dia-syarat-menjadi-caleg menurut-undang-undang

Dari Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 di atas, persyaratan yang harus dicapai oleh seseorang yang ingin menjadi calon legislatif bisa dikatakan terlalu mudah untuk seseorang yang akan memasuki Lembaga Legislatif yang memiliki kuasa untuk mengubah dan menetapkan Undang-undang dan mengemban amanat untuk mendengar suara-suara rakyat. Mungkin persyaratan yang dapat menentukan kualitas dari calon Legislatif hanyalah persyaratan Pendidikan yang minimal adalah sekolah menengah atas atau yang sederajat. Dalam beberapa partai politik, ada yang memodifikasi persyaratan pendidikan dari seorang calon Legislatif. Contohnya seperti yang dikatakan oleh Wakil Bendahara Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo bahwa untuk menjadi caleg DPR RI membutuhkan pendidikan minimal S-1 dan SMA untuk DPRD. Hal yang sama juga terjadi di Partai Persatuan Pembangunan, Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan Romahurmuziy mengatakan bahwa tingkat pendidikan sangat penting bagi caleg yang ada di luar partai dan untuk caleg internal partai persyaratannya sesuai dengan peraturan perudangan[1]. Akan tetapi tingginya pendidikan suatu calon bisa dikatakan belum cukup untuk menyaring kualitas dari sumber daya manusia yang akan menjadi calon Legislatif karena tingginya pendidikan tidak bisa mengetahui bagaimana kepribadian dan kecerdasan asli dari calon Legislatif. Menurut saya perlu adannya suatu tambahan persyaratan yang dapat mengukur kepribadian dari calon Legislatif, maupun itu dari skill komunikasi, kecerdasan, dan psikologi dari calon legislatif. Hal ini bertujuan agar pencalonan anggota legislatif di Indonesia tidak terjadi suatu permainan money politic yang banyak terjadi pada pencalonan anggota Legislatif dan menghindari terjadinya praktik KKN yang dilakukan oleh Anggota Legislatif yang dapat meresahkan rakyat.

Selain lembaga legislatifnya, masalah Indonesia yang cukup meresahkan adalah masyarakat Indonesia sendiri atau dalam kasus ini adalah netizen Indonesia. Jika buruknya lembaga legislatif di Indonesia hanya dirasakan oleh lingkup nasional, keburukan netizen Indonesia dapat dirasakan oleh lingkup Internasional. Menurut Firman Kurniawan selaku Pakar Budaya dan Komunikasi Digital, kehidupan masyarakat Indonesia dalam bermedia sosial sangatlah mengerikan. Alasan Firman mengatakan hal tersebut adalah karena banyaknya praktik dari netizen Indonesia yang merugikan netizen yang lain seperti doxing dan scamming (hoaks). Hal yang disampaikan oleh Pakar Budaya dan Komunikasi Digital itu sama dengan hasil survey yang dilakukan oleh Microsoft. Perusahan besar yang membuat operating system Windows ini melakukan survey pada 32 negara yang salah satunya adalah Indonesia mengenai etika netizen dalam berseluncur di media sosial. Hasilnya, netizen Indonesia dinyatakan menjadi salah satu netizen yang paling tidak sopan di dunia di urutan ke-29 dari 32 negara yang lain. Dengan hasil tersebut netizen Indonesia juga dinyatakan sebagai netizen paling tidak sopan di Asia Tenggara. Hasil survey tersebut juga dibuktikan dengan penyerangngan akun Instagram Microsoft dengan maki-makian dan kata-kata kotor oleh netizen Indonesia karena mereka tidak terima dengan hasil survey tersebut. Tapi bodohnya, banyak juga netizen Indonesia yang malah berbangga karena negaranya memasuki salah satu negara dengan netizen yang tidak sopan. Microsoft terpakasa untuk menutup fitur comment di Instagramnya karena tidak kuat dengan komentar tidak sopan dari netizen Indonesia. Ini mungkin bisa disebabkan karena banyak masyarakat Indonesia yang hanya memandang sesuatu dari satu sisi saja lalu mereka dengan percaya diri mengeluarkan suara mereka tanpa melihat dari sisi yang lainnya.

Setelah ketidak sopanan netizen Indonesia, masalah Indonesia yang mungkin meresahkan bagi masyarakat terutama kaum wanita adalah mengenai diskriminasi gender yang masih bisa terlihat dengan jelas di Indonesia terutama dalam lingkup ketenaga kerjaan. Dewasa ini seharusnya kedudukan gender antar pria dan wanita didalam lingkup ketenagakerjaan sudah tidak hanya didominasi oleh pria, akan tetapi peran wanita didalam lingkup ketenagakerjaan seharusnya juga sudah mendapatkan kedudukan dan juga posisi. Terutama sejak munculnya era emansipasi wanita yang dipelopori oleh R.A.Kartini yang selalu mengedepankan bahwa seorang wanita juga berhak mendapatkan posisi dan kedudukan yang seimbang dibidang pendidikan, pekerjaan, ekonomi dan sebagainya. Namun pada praktiknya banyak pertentangan mengenai kedudukan kedudukan pekerja wanita pada suatu bidang usaha atau dalam hal ini dalam bentuk konkretnya kita sebut sebagai perusahaan, dimana dalam suatu perusahaan sering terjadi pertentangan kepentingan antar pihak pekerja wanita dengan pihak pengusaha yang akhirnya berujung pada suatu pertentangan kepentingan. Di Indonesia Pertentangan kepentingan pada pihak pengusaha dan pihak pekerja wanita bisa disebabkan oleh perbedaan penafsiran yang dianut oleh pihak pengusaha dan pekerja wanita, dimana pihak pengusaha lebih banyak menggunakan logika bisnis dengan asas "no work no pay" yaitu suatu asas yang dianut dalam UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan bahwa seorang pekerja tidak akan mendapatkan upah apabila tidak bekerja. Penerapan asas"no work no pay" yang dipahami pengusaha bertolak belakang dengan pemahaman pekerja wanita karena apabila dicermati dalam UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, pekerja wanita mendapatkan berbagai macam cuti selain cuti khusus yang diatur pada Pasal 93 UU No. 13/2003 dimana cuti yang dimaksud adalah cuti haid dan cuti hamil sebagaimana yang diatur dalam Pasal 81 UU No. 13/2003 tentang ketenagakerjaan. Pemerintah perlu memerintahkan aparat-aparat atau penegak hukum untuk mengawasi tiap perusahaan, agar tidak ada perusahaan yang menyeleweng dari peraturan UU yang telah dibuat. Permasalahan yang sering dihadapi dalam hubungan industrial adalah pihak pengusaha cenderung tidak mau menerima apabila timbul cuti melahirkan bagi wanita terutama pekerja wanita dengan status PKWT, karena dengan timbulnya cuti hamil bagi pekerja wanita maka pihak pengusaha merasa rugi apabila harus mengeluarkan upah bagi seorang pekerja yang tidak melaksanakan pekerjaannya apalagi sampai 3 bulan lamanya (1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan sesudah melahirkan), karena pengusaha beranggapan bahwa ini adalah suatu diskriminasi pekerja pria yang hanya mendapatkan cuti khusus yang diatur dalam Pasal 93 ayat 4 UU No. 13/2003, padahal kedudukan pekerja wanita sudah diistimewakan dalam UU No. 13/ 2003 yang diatur tersendiri dalam pasal 76 ayat 1 dan ayat 2. Menteri Keuangan Indonesia Sri Mulyani Indrawati berkata bahwa saat ini tenaga kerja yang ada di Indonesia didominasi oleh pria. Wanita hanya sebesar 53 persen dari jumlah wanita usia kerja, sedangkan kaum pria sebesar 83 persen dalam jumlah pria usia kerja. Tidak hanya didominasi kaum pria akan tetapi jumlah gaji yang didapatkan kaum wanita dan pria juga berbeda, Sri Mulyani mengatakan bahwa perbedaan gaji antar pria dan wanita berbeda 23 persen, wanita menerima gaji 23 persen lebih rendah daripada pria dan dia juga mengatakan bahwa pekerjaan menteri yang memberi gaji yang sama antar pria dan wanita, sedangkan pekerjaan non menteri biasanya berbeda.

Indonesia merupakan negara yang merdeka jika dilihat dari pengakuan negara lain. Akan tetapi Indonesia mempunyai beberapa masalah yang membuat Indonesia bisa dikatakan sebagai negara yang belum merdeka dalam beberapa hal. Mulai dari permasalahan pemerintahan hingga permasalahan sosial. Akan tetapi, setiap masalah pasti ada solusinya dan jika ada solusi maka harus ada kontribusi dari rakyat Indonesia untuk menerapkan solusi tersebut. Jika Indonesia tidak memiliki masalah-masalah tersebut maka Indonesia adalah negara yang merdeka dari luar dan dari dalam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun