Dua puluh lima
tahun bergulir
Dan aku terlahir
bersama selarik puisi
ayahku, itu....
Aku mencintaimu
Meski selongsong peluru
merobek dadaku
Aku mencintaimu
Meski aliran darah
melumuri sekujur tubuhku
Aku mencintaimu
Telah kurobek
kain berwarna biru
Agar merah dan putih
berkibar di atas tanahku....
Ayah,
telah kuterima dan kubaca
selarik puisi yang tertulis
di atas kertas
yang dipenuhi darahmu
itu...
Aku cinta tanah air
Meski tanahku telah digusur
Atas nama
pembangunan infrastruktur
Aku cinta tanah air
Meski air yang kuminum
Kerap kali
berasal dari airmata
Biar,
Biar kujabat dengan takdir
Akan kujalani
dengan peluit yang terampil
di bibir
Seperti kesetiaan yang aku jaga
Meski seumur hidup
Aku hanya melihat
Cut Nyak Dien dan M.H. Thamrin
dalam dompetku
yang lusuh....
Astungkara
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H