Mohon tunggu...
Mutthia Mukharoma
Mutthia Mukharoma Mohon Tunggu... -

Talk More, Do More!

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Kriminalisasi dalam Kasus PLTGU Belawan

24 Juli 2014   19:49 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:21 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir-akhir ini sering terjadi fenomena kriminalisasi dalam hukum di Indonesia. Kriminalisasi adalah proses mengangkat perbuatan yang semula bukan perbuatan pidana menjadi perbuatan yang dapat dipidana. Proses kriminalisasi ini terdapat didalam tahap formulasi dari pembaharuan hukum pidana. Beberapa contoh kasus besar mengenai kriminalisasi di Indonesia yaitu kasus IM2 dan Chevron. Baru-baru ini terdapat kasus baru yang dikriminalisasi yaitu kasus LTE PLTGU Belawan. Namun terdapat berbagai kejanggalan dalam tuntutan kejaksaan dalam kasus ini.

Berikut beberapa tuntutan kejaksaan yang dianggap berbagai pengamat tidak memiliki dasar yang cukup kuat.

Penyidik dari Kejagung menyatakan beban listrik yang tedapat PLTGU Belawan tidak sesuai dengan kontrak, ini dikarenakan pada saat penyidikan ditemukan bahwa alat tersebut hanya memikul beban 123MW. Hal ini dibantah langsung oleh Kuasa Hukum PLN, Todung Mulya. Ia menyatakan bahwa tuduhan dari kejaksaan tidak benar dikarenakan beban 123 MW yang diperoleh penyidik Kejagung bukan berasal dari hasil pengujian tetapi kejaksaan hanya menyaksikan mesin yang pada saat itu hanya memikul beban 123 MW di siang hari. Padahal berdasarkan pengujian yang sebenarnya oleh lembaga sertifikasi, daya mampu GT 2.1 mampu mencapai 140,7 MW sehingga melebihi daya mampu minimal kontrak.

Tidak hanya itu, kejaksaan yang menilai PLN merugikan keuangan negara juga tidak berdasar. Alasannya, realisasi nilai kontrak justru jauh lebih kecil dari HPS kontrak awal. Pada HPS kontrak awal dengan pemenang tender Mapn CO, tertulis sebesar Rp 645 miliar, sementara harga yang tertuang dalam kontrak hanya 431 miliar. Todung mengatakan, kerugian negara yang dituduhkan oleh jaksa mencapai Rp 2,3 triliun tersebut, kemungkinan disimpulkan jaksa dari pembayaran yang telah dilakukan kepada Mapna Co sebesar Rp 300 miliar lebih, ditambah potensi pendapatan sebesar Rp2 triliun dari pengoperasian pembangkit tersebut.

Menurut Todung, dalam pekerjaan LTE, PLN justru berhasil melakukan penghematan. Alasannya, realisasi nilai kontrak justru jauh lebih kecil dari HPS kontrak awal. Pada HPS kontrak awal dengan pemenang tender Mapna Co, tertulis sebesar Rp 645 miliar , sementara harga yang tertuang dalam kontrak hanya Rp 431 miliar .

“Dengan nilai kontrak sebesar Rp 431 miliar, justru PLN berhasil melakukan saving sebesar Rp 214 miliar (RAB Rp 645 miliar dibandingkan nilai kontrak Rp 431 miliar), sehingga tuduhan kerugian negara tidak terbukti.” kata Todung.

Masalah tuduhan merugikan negara tersebut juga disanggah oleh Pakar Hukum Universitas Indonesia, Dr Dian Simatupang. Menurut Dian, dalam kasus PLN tidak ada unsur kerugian negara. Dalam hal proyek peremajaan PLTGU Belawan ini tidak ada uang negara dalam APBN yang digunakan. Namun dana yang dipakai dalam proyek tersebut murni menggunakan anggaran dari PLN.

Kejaksaan juga menilai sistem pemilihan langsung pihak PLN dianggap ada indikasi KKN. Hal ini dibantah secara tegas oleh Dirut PLN, Nur Pamudji. Nur Pamudji yakin proses tender untuk proyek LTE PLTGU Belawan telah sesuai dengan prosedur dan tata kelola usaha yang baik. Keputusan PLN melakukan pemilihan langsung untuk mengerjakan proyek LTE secara teknik dan prosedur sudah tepat, sesuai dengan pelaksanaan Good Corporate Governance (GCG) dengan standar terbaik.

Pemilihan langsung pemegang tender ini seharusnya diapresiasi sebagai tindakan tegas dan profesional dari PLN. Pasalnya bila tidak dilakukan pemilihan langsung, krisis listrik di Medan dan Sumut akan lebih buruk lagi.

“Bila tidak dilakukan pemilihan langsung, krisis listrik di Medan dan Sumut akan lebih buruk lagi. Sebab jam operasional kedua mesin itu sudah di atas 100 ribu jam. Potensi gangguannya sangat besar bila tidak segera diremajakan sehingga berdampak pada ketersediaan listrik di Medan dan Sumatera Utara,” papar Nur Pamudji. PLN berkeyakinan telah menjalankan semua prosedur aturan dalam perkara ini, termasuk melakukan pemilihan langsung dengan Mapna Co sebagai pemenang. Langkah ini dilakukan setelah sebelumnya penunjukan langsung kepada PT Siemens, sebagai pembangun pembangkit awal, juga mengalami kegagalan karena tingginya anggaran yang diminta. Siemens sendiri menetapkan budget sebesar Rp 830 Miliar sedangkan pagu anggaran PLN sendiri hanya sebesar 645 Miliar. Selain itu, pemilihan Mapna disebabkan Siemens tidak memenuhi dan tidak menyertakan persyaratan Rejection Condition, yaitu tidak menyampaikan total waktu penyelesaian pekerjaan dan tidak menyampaikan garansi Daya Mampu/Mega Watt yang dihasilkan).

Sementara Mapna memberikan garansi dan memiliki spesifikasi peralatan dan produk yang sama dengan Siemens. Untuk diketahui, peserta pemilihan langsung dalam proyek ini adalah Siemens, Mapna, dan Ansaldo Energia. Nama terakhir belakangan menyatakan mundur.

Baru-baru ini Mantan Manager Pembangkit Sektor Belawan Ermawan Arif Budiman yang merupakan salah satu terdakwa dalam kasus ini didakwa merugikan negara Rp 23,6 miliar dalam perkara pengadaan Flame Tube untuk Gas Turbine (GT) 1.2 Sektor Belawan tahun 2007. Dalam sidang pembacaan tuntutan, Ermawan dituntut 9 tahun penjara.

Terkait dakwaan dan tuntutan jaksa tersebut, kuasa hukum PT PLN Todung Mulya Lubis menegaskan, dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) terhadap Ermawan mengada-ada, kabur (obscuur libel), dan salah alamat (error in persona). Terdakwa telah menjalankan mekanisme pekerjaan sesuai aturan yang berlaku, sehingga dakwaan jaksa tidak berdasar. Dalam dakwaan disebutkan, pengadaan Flame Tube DG10530 atas usulan terdakwa, tetapi dalam fakta persidangan tidak terbukti karena pembahasan pengadaan LTE GT 1.2 yang di dalamnya termasuk pengadaan I telah dilakukan pada Desember 2004.Pekerjaan pengadaan Flame Tube DG10530 di GT 1.2 Belawan telah dimulai sejak awal Desember 2004. Pada 9 Desember 2004, PLN Kitlur Sumut dan Siemens AG PG Jerman serta PT Siemens Indonesia rapat di PLN Sektor Belawan membahas kebutuhan LTE GT1.2. Saat itu, Ermawan belum bertugas di Medan, dan baru menerima SK Manager Sektor Belawan Juni 2005 dan serah terima jabatan pada Agustus 2005. Dengan demikian, bukan Ermawan yang mengajukan usulan pengadaan Flame Tube tersebut.

Atas banyaknya tuntutan kejaksaan yang dinilai tidak memiliki dasar dan bukti yang kuat tersebutlah menjadikan persidangan kasus ini semakin rumit dan tidak berkesudahan. Disinyalir kejaksaan sengaja memaksakan kasus tersebut agar menjadi kasus pidana korupsi.

Dikutip dari pernyataan Pengamat ekonomi Toni Prasetyantono, PLN justru berupaya transparan dan mendapatkan harga termurah dan dengan cara menyelenggarakan pemilihan langsung. Ia menyampaikan agar masyarakat dan pemerintahan mendukung upaya transparansi dan akuntabilitas yang tengah digalakkan oleh PLN. Jangan sampai upaya kriminalisasi justru akan berdampak kurang bagus bagi PLN. Kasus-kasus kriminalisasi korporasi oleh oknum penegak hukum yang belakangan marak bisa menimbulkan kerugian ekonomi yang besar. Upaya kriminalisasi akan berakibat adanya ketidakpastian hukum, sehingga menimbulkan pula ketidakpastian investasi. Walhasil, ekonomi makro pun bisa terganggu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun