Malam yang begitu pekat membuat Nurdin kembali lagi ke pojok rumahnya untuk membelai mimpi-mimpi yang indah di sertai secangkir cinta yang pekat di otaknya.
Membangun mimpi-mimpi yang rindang dengan diiringi nyanyian hujan yang membuatnya semakin pulas dan meninggalkan alam sadarnya menuju alam kesejahtaeaanya.
Ia  memberi memberi sayonara pada anak-anaknya yang tadinya ingin bermain denganya, dan ia  hanya menjawab dengan seenggok alasan "bapak sudah lelah bekerja seharian nak, mari kita mencari rembulan di kegelapan nak .
Banyak alasan yang membuat Nurdin tidur gasik, salah satunya dia harus menjemput sang fajar esok hari agar rejakinya tak di patok ayam katanya, selain itu ia juga tak sabar melihat menguningnya padi yang ia tanam begitu dengan sabarnya.
Pagipun mulai melambai-lambai, angin luar mulai menepuk-nepuk badan rentanya agar ia sergap untuk mencari rupiah dan  agar tak kalah dari srengenge sang fajar.
"Fajar kenapa kau datang begitu cepet ? Mimpiku masih menggantung tadi, kau menggangguku tidurku jadi tak fasih " pungkasnya sambil membelai sepeda tuanya. Tiba-tiba ada sautan dari istrinya yang setia dengan kedaan menambah fasih kehidupanya yang begitu sempurna.
 Pak, ini kopi sama ubi bakarnya sudah siap, dimakan dulu ya, ibu mau ngurusin anak-anak siap-siap berangkat sekolah
Sahutan setiap pagi yang begitu sempurna dari kisah dari pak nurdin, walau ia hidup dengan semua keterbatasanya ia benar-benar menikmati hidupnya, mereka tak pernah mengeluh dengan keadaan mereka selalu bersyukur dari karunia tuhan yang maha Esa.
Surya mulai menggunung di langit Iapun mulai menggenjot sepeda tuanya menuju cahaya matahari yang menuntunnya ke arah ladang milik tetangganya yang sudah lama ia tanam, ia sudah menyewa lading tersebut sekutar 2 tahun lamanya. Tahun pertamanya gagal panen karena hujan tak mau berkompromi dengan warga dan bumi, jadi ia relakan dan ia fikir itu sebagai sedekah, walau begitu ia masih cukup yakin dengan kesempatan kedua kali ini ditambah dengan keadaan cuaca yang mendukung dan airpun cukup untuk mengaliri sawah, ini adalah momentum yang cukup bagus untuk sawahnya.
Sejauh mata memandang ia merasakan hal yang begitu ia nikmati, kebun kebun yang masih sangat asri, hutan yang begitu memukau matanya dan di selingi angin sepoi angin yang menyapanya dan terik dari matahari yang mendekapnya sedari berangkat.
 ini benar-benar waktu yang begitu sempurna bagiku untuk berangkat menuju sawah, sawah yang mulai menguning, semoga tuhan memberikan kemudahan dihari ini "
Ia termasuk seseorang yang cukup relijius, tak pernah ia lupakan tuhanya walau seditikpun, ia ingin selalu terjaga olehnya, salah satu contohnya ia tak jarang  menjadi imam dari surau di wilayah RTnya apabila ustad kodir berhalangan hadir di surau tersebut ialah yang menjadi pengganti imam di surau tersebut.
Sesampainya di ladang, matanya melotot tajam, badannya menggigil tak karuan sesaat dia membaca tulisan yang telah di tancapan bagaikan nisan besar yang berbunyi " tanah ini akan di buat hotel ", ia mengelak dan membabat habis tancapan nisan tersebut. Â Apa ini ! Ini padiku yang sudah kurawat siapa yang berani melakukan ini semua !
Setelah membabat habis baner informasi penjualan tanah ia sesegera mungkin ia pulang menanyakan hal tersebut ke tetangganya, ia mulai menggenjot sepeda tuanya yang sudah lunglai itu, ia tak perduli dengan jalan yang begitu kasar dan terjal sesekali ia terjatuh dari sepedanya akan tetapi ia kemudian bangkit dan kemudian terus menggenjot sepeda tuanya.
Sampai akhirnya sampailah dia di rumah Hj kasto selaku pemilik tanah tersebut.
 Assalamualaikum pak kasto, pak ini saya nurdin pak ( Ucap pak nurdin sambil mengetuk pintu rumah pak haji kasto )
 Ada apa ini kamu berisik sekali, ini waktunya orang masih santai nurdin  Ucap balasan haji kasto setelah keluar dari rumahnya.
Pak, pak itu pak tanah bapak itu ( ucap pak nurdin sambil terengah-engah)
 iya kenapa dengan tanahku din, sabar dulu sabar ada apa ? menenangkan pak nurdin.
 itu pak tanah bapak di tancapi nisan oleh PT katanya tanah bapak hendak dibuat hotel
 Ahahaha, Owalah itu to masalahnya din. Ya tanah itu sudahku jual tiga hari yang lalu harganya melonjak jadi tiga Miliar ! tentu aku tak bisa menolak itu semua din, maka dati itu aku terima saja tawaran itu, untungnya gede din lumayan.  cakap pak haji kasto yang membuat nurdin kaget bukan kepayang.
 loh terus bagaimana pak nanti hasil ladangnya ? padi sudah menguning pak, masa akan di jual ? nanti saya rugi dong pak ? jawab nurdin yang masih terheran-heran dengan jawaban dari pak haji kasto.
"Alah kamu ini din, memang berapa modalmu untuk sawahmu itu din, jawab ! nanti kalau uangnya sudah cair nanti aku akan tanggung modalmu yang tidak seberapa din, bahkan nanti aku kasih lebih untukmu anggaplah itu sebagai pesangon. Nah sudahlah, lebih baik kamu pulang dan urusi sepeda bututmu itu  aku masih ingin bersantai jawaban sombong dari pak kasto.
 lahh tapi pak..
Dicegatnya alasan oleh haji kasto
 sudah tidak ada tapi-tapian sana pulang cepat
Â
Dengan batin yang kecewa akhirnya nurdin kembali menggenjot sepeda bututnya menuju gubuk suramnya karena dia sudah merasa kehilangan asa untuk menghidupi keluarganya karena dia sudah berjuang keras untuk menjaga  dan merawat sawah tersebut, terlebih sawah tersebut adalah sawah yang di sewa menggunakan uang dari istrinya dia benar-banar mabuk kepayang dengan keadaan tersebut.
 Sesampainya di latar rumah dia benar-benar kalang kabut, bimbang dan bingung akan berucap apa kepada anak istrinya apabila mereka tau tentang kajadian suram hari ini.
 Aduh gusti, saya ini orang kecil gusti kenapa engau persulit jalan rejekiku ? apa yang akan hamba katakan kepada istri dan anak hamba gusti  keluh nurdin sembari menuntun  sepedanya kedalam rumah untuk ditaruh.
 Setelah ia menyenderkan sepeda tuanya akhirnya ia memberanikan diri untuk bicara dengan sumiyem yang merupakan istrinya yang tadinya sedang bersih-bersih.
 Yem, sini dulu bapak mau bicara  panggil nurdin kepada istrinya, setelah itu berbegaslah istrinya menuju ruang tamu untuk menemui nurdin.
 loh bapak ko pulang gasik pak, tumben Sambut istrinya kepada nurdin yang mengerutkan mukanya.
 loh bapak ini kenapa, ko ngajak saya ke ruang tamu ? tanya istrinya
 yem maafkan aku, kita akan kehilangan penghasilan, sawah yang kita sewa menggunakan uang tabunganmu ternayata di jual oleh pak haji kasto Nurdin memberikan penjelasan kepada iem.
 sudahlah pak sabar, iem yakin nanti akan ada jalan yang lebih baik dari semua ini, langian kita masih bisa nandur padi di belakang rumah kita walau ngga seberapa pak, iem gak papa pak jawab iem dengan tegas dan mencoba memberikan ketenangan pada nurdin.
Akhirnya mereka benar-benar prihatin dengan kondisi yang carut marut ini, mereka menggarap ladang yang begitu ciut agar mereka bisa bertahan hidup walau dengan semua yang serba pas-pasan, nurdinpun benar-benar merasa kecewa kepada orang-orang besar yang ada didesanya karena tidak bisa mengerti dan tidak bisa menghargai pangan dan mereka lebih mementingkan uang yang sebenarnya bisa hilang dalam waktu sekejap.
##
Tak terasa berbulan-bulan mereka merawat padinya yang sangat minim, walau begitu mereka bisa dikatakan untung besar karena padi yang mereka tanam memiliki kualitas yang sangat bagus dan cukup untuk dijual dan menjadi ladang dari rejeki untuk menghidupi anak dan istrinya.
 Pak, allhamdulilah padi yang kita tanah berhasil pak dan kita untung banyak dipanen tahun ini Cerita Iem kepada nurdin.
 Iya ini iem allhamdulilah walaupun tidak seberapa tetapi ini semua bisa untuk menyambung hidup dan untuk keseharian kita Jawab dari nurdin.
Tampaknya mereka benar-benar bisa memahami arti hidup yang sebenarnya, hidup akan rasa syukur dan selalu berjuang dengan kemampuan mereka.
Tak lama berselang nurdin ditugasi istrinya untuk membeli pupuk untuk kebutuhan padi yang akan mereka tanam baru-baru ini.
Bergegaslah nurdin untuk mencari pupuk, akan tetapi pada saat nurdin melintas di depan rumah pak kasto dia benar-benar kaget saat melihat pak haji kasto yang Nampak begitu pucat dan muram, tampa berfikir panjang dia mendekat.
 assalamualaikum ji, ko Nampak muram ini, bagaimana kelanjutan tanahnya ji sudah cair ?
Boro-boro cair din, ternyata aku ditipu, Â surat tanahku yang kau tanami padi itu sudah mereka bawa entah kemana din, sekarang aku hidup sengsara din Sahut dari pak Kasto.
 loh padi yang kemarin saya tanam bagaimana pak, sudah bapak panenkan sebelumnya ?
 boro-boro panen din, sudar sudah dibawa kabur dan nanti kamu lihat sendiri, sawah garapanmu sudah menjadi tanaman beton yang keras dan tidak bisa untuk pangan orang kecil kaya kita din  jawab pak kasto akan pertanyaan nurdin.
 Yang sudahlah pak sabar pak ini adalah cobaan bapak, semoga semua akan pulih dengan cepat pak, ya sudah saya lenjut mau beli pupuk dulu pak Nurdin akhirnya memutuskan untuk melanjutkan membeli pupuk untuk sawahnya.
Di perjalanan yang ditemani terik sang surya ia terus mengayuh sepeda ontelnya sembari ditemani mata sayunya yang tak kuasa ia elak saat ia mendengar berita dari pak Nurdin, ia sebenarnya begitu jengkel dengan peristiwa yang menimpanya pada saat dulu ia sudah meyewa tanah milik haji Kasto, tapi ia juga begitu kasian dengan keadaan yang sekarang menimpa haji kasto. Namun apalah daya sekarang ia hanya bisa bercengkrama dengan istri dan anak-anaknya dan harus membuang semua dendam yang ia rasakan kepada Haji Kasto.
Pada saat itulah nurdin semakin memahami arti dari kehidupan yang sebenarnya, ia merasa ia sekarang harus menjadi orang yang pandai bersyukur kepada tuhan, karena semua nikmat entah itu kecil atau besar dari rejeki itu adalah karunia dari tuhan yang Esa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H