Maryam duduk di beranda memandang langit biru yang cerah tapi tidak dengan hatinya. Dia terluka tapi tidak berdarah. Lamunannya kembali ke masa 15 tahun silam awal ia mengenal suaminya Joni.Â
Joni sosok yang sempurna. Gagah, baik, perhatian, memiliki jabatan di pemerintahan. Perempuan manapun pasti akan tertarik dengannya termasuk Maryam. Joni menjadi pengawas di kec Cimanyen, sebuah kecamatan yang sejuk nan indah, tidak pula jauh dari ibu kota, di kecamatan ini pula Joni bertemu dengan Maryam.Â
Bukan cita-cita Maryam untuk menjadi yang kedua, inginnya seperti orang lain menjadi satu-satunya. Namun suratan nasib berkata lain. Joni laki-laki yang telah beristri berkenalan dengan Maryam, wanita singgle beranak satu.Â
Joni mengakui jika ia telah beristri, namun rumah tangganya berada diujung perceraian. Joni terlihat baik dan sopan, ia bersungguh-sungguh meyakinkan Maryam untuk menjadi pendamping hidupnya pengganti istrinya yang kini rumah tangganya berada diujung tanduk.Â
Selama satu setengah bulan Maryam dan Joni pendekatan, hingga akhir memutuskan untuk menikah, pernikahan mereka pun diketahui istri tuanya. Suka duka menjadi istri kedua sungguh luar biasa. Dicap sebagai perusak rumah tangga orang, pelakor, label ini melekat selama perjalanan hidupnya dengan suami. Bukan hanya label penderitaan batin pun ia terima dari perlakuan suami yang tidak adil.Â
Joni lebih condong kepada istri tua, pembagian hari pun tidak merata, Maryam kebagian dua hari sabtu dan minggu, lima harinya jatah untuk istri tua.Â
Alasan Joni bahwa rumah tangganya dengan yang tua diujung tanduk hanya modus semata, Maryam yang polos baru menyadari setelah pernikahannya terjadi, mau mundur pun tak mungkin ia tidak mau menjadikan pernikahan sebagai sebuah permainan. Ijab kobul yang telah terucap sebagai bukti sahnya ia menjadi istri.Â
Pun tidak mau gagal untuk kedua kalinya. Pengalaman pahit membesarkan anak tanpa seorang ayah cukup sekali Maryam rasakan. Maryam tidak mau anaknya kurang kasih sayang dari bapaknya, cukup anak pertama dengan suaminya dahulu yang tidak pernah merasakan belaian kasih sayang sang bapak. Untuk kedua putrinya jangan sampai terjadi.Â
Maryam bertahan selama ini karena ia sudah dikaruniai dua putri dengan Joni, Joni yang dulu bak pahlawan. Aslinya ternyata kasar, meski tidak pernah main fisik, tapi ucapannya dan kata-katanya menusuk jantung. Ketika lagi marah barang yang ada disekitarnya bisa melayang terbang ditangannya.Â
Sungguh aneh begitu dalam pikiran Maryam, seharusnya menjadi istri muda itu enak, selalu di nomor satukan, lah ini Boro-boro, nafkah lahir pun tidak pernah ia dapatkan. Joni hanya memberikan jatah buat kedua anaknya saja, selain itu tidak sama sekali.Â