Mohon tunggu...
Mutmainnah S. Sabrah
Mutmainnah S. Sabrah Mohon Tunggu... Lainnya - Mut

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Perempuan dalam Dunia Perpolitikan

9 November 2020   21:39 Diperbarui: 9 November 2020   21:57 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Namun, semua perempuan ini terpaksa menghilang ketika Soekarno jatuh akibat kudeta oleh Jenderal Soeharto.

Tanpa karya dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)---yang telah mendokumentasikan data dengan baik---generasi milenial Indonesia tidak akan pernah memahami nasib generasi sebelumnya.

Soeharto berusaha menggantikan aktivisme politik perempuan dengan "organisasi perempuan" seperti Dharma Wanita, yang berfokus pada domestikasi dan feminitas. Perempuan dipindahkan dari panggung politik atau ruang publik dan didorong ke "dapur" selama beberapa dekade.

Namun, semangat gerakan perempuan bertahan di antara perempuan Indonesia, baik yang hidup di bawah penindasan Soeharto (khususnya di Jawa) maupun perempuan asli Indonesia.

Pada tahun 1980-an, organisasi wanita seperti Kalyanamitra Foundation dan Rifka Annisa muncul di Indonesia, yang menawarkan sedikit harapan.

Dan perlahan-lahan, para wanita pribumi di seluruh Indonesia ikut bermunculan. Beberapa nama pantas mendapat perhatian: Mama Yosepha Alomang (Papua Barat), Sukinah dan Gunarti (petani Kendeng), dan Aleta Baun. Banyak yang tidak tersentuh oleh "modernitas" orde baru---kebanyakan dari mereka tidak memiliki kewajiban untuk menghadiri Dharma Wanita. Perempuan pribumi di Papua Barat misalnya, sibuk berkebun, tumbuh dalam keluarga pribumi, dan belajar rahmat kesetaraan, alih-alih kemewahan yang seharusnya "modern" dan "berpendidikan baik".

Mengikuti perkembangan ini, para perempuan Indonesia lainnya bekerja keras untuk secara bertahap mengubah budaya. Ini dimulai dengan perjuangan melawan pelecehan seksual di jalan, kemudian mengarah ke sesuatu yang lebih besar, seperti melawan perusahaan tambang emas terbesar di dunia.

Perempuan hanya dipandang sebagai 'penggembira'. Lihat bagaimana kedua kandidat presiden kadang-kadang menggunakan istilah "the power of emak-emak", namun mengagungkan "pemimpin kuat" yang ideal untuk memimpin negara.

"Emak-emak" direduksi menjadi hanya masalah membimbing laki-laki, masalah sehari-hari, dan pengasuhan anak. Mereka masih menempatkan perempuan di "dapur".

Berita baiknya adalah bahwa politik tidak terbatas. Tidak ada pengukuran atau kuota yang menjamin masalah perempuan akan diprioritaskan. Karena bahkan ketika seorang wanita menjadi anggota parlemen, apakah itu berarti dia memiliki perspektif tentang masalah-masalah wanita?

Untuk saat ini, gerakan perempuan masih terfokus pada mempengaruhi masyarakat. Di masa depan, mungkin perempuan Indonesia tidak hanya akan menduduki lebih banyak kursi di parlemen, tetapi juga posisi strategis, seperti di Kementerian Pendidikan, Lingkungan, atau Pertahanan. Atau mungkin, seorang wanita akan memimpin komisi hak asasi manusia, serikat buruh, atau bahkan menjadi ulama terkemuka.

Selalu ada peluang bagi Indonesia untuk menciptakan suasana yang lebih baik bagi perempuan di seluruh Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun